Sunday, January 15, 2012

Pendidikan Agama Yang Menerapkan Konsep-konsep Psikologi Pendidikan


 Bab I
Pendahuluan
Perkembangan psikologi agama pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, baik dalam keluarga, sekolah, ataupun dimasyarakatnya. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama, akan semakin banyak unsur agamanya, maka, sikap, tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajran agama.
Dalam hal itu meskipun para ahli belum memiliki kesepakatan tentang asal-usul jiwa keagamaan pada manusia, namun pada umumnya mereka mengakui peran pendidikan dalam menanamkan rasa dan sikap keberagamaan pada manusia, dengan kata lain pendidikan dini8lai mempunyai peran penting dalam upaya menanamkan rasa keagamaan pada anak. Kemudian mellaui pendidikan pula dilakukan pembentukan sikap keagamaan tersebut.
Oleh karena itu kami sebagai penulis akan membahas tiga faktor pendidikan  yang dapat menumbuhkan psikologi dan rasa keberagamaan pada anak. Diantaranya meliputi: pendidikan keluarga, pendidikan kelembagaan, dan pendidikan dimasyarakat.













Bab II
Pembahasan
1. Pendidikan keluarga
Setiap orang tua dan semua guru ingin membina anak agar menjadi orang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang yang sehat serta akhlak yang terpuji. Dan semuanya itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik yang formal (di sekolah), maupun yang informal (di rumah orang tua), setiap pengalaman yang dilalui anak, baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadinya. Orang tua adalah Pembina pribadi yang pertama dalam kehidupan anak, kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka itu merupakan unsur-unsur pendidikan secara tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk kedalam pribadi anak yang sedang tumbuh itu.[1]
Dalam pembentukan pribadi anak, hubungan orang tua sesama mereka juga sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa anak. Hubungan yang serasi, penuh pengartian dan kasih sayang itu akan membawa kepada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka dan mudah dididik. Banyak percekcokan dan perselisihan akan membawa anak kepada pertumbuhan pribadi yang sukar dan tidak mudah dibentuk, karena ia tidak mendapatkan suasana yang baik untuk berkembang, sebab selalu terganggu oleh suasana oran tuanya. Dan masih banyak lagi faktor-faktor tidak langsung dalam keluarga yang dapat mempengaruhi pembinaan pribadi anak. Disamping itu tentunya juga banyak pengalaman anak yang mempunyai nilai pendidikan baginya, yaitu pembinaan-pembinaan yang tertentu yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya baik melalui latihan-latihan, perbuatan, misalnya kebiasaan dalam makan minum, buang air, mandi, tidur dan lain sebagainya, itu semua merupakan unsur pembinaan pribadi dan psikologi anak.[2]        
Dalam dunia pendidikan, barang kali sangat sulit untuk mengabaikan peran keluarga didalamnya. Karena memang anak-anak sejak bayi hingga usia sekolahmemiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Gilbert Higest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki oleh anak-anak sebagian besar itu terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari keluarga Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua.orang tua adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anak karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan anugerah oleh tuhan berupa naluri sebagai orang tua. Naluri ini timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anaknya hingga  secara moral keduanya terbebani bertanggung jawab untuk memelihara, melindungi dan membimbing keturunan mereka[3].
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama menurut W.K.Clark berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan manusia demikian rumit dan kompleknya. Namun demuikian melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat didalamnya. Melalui jalinan-jalinan unsur-unsur ini dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu dapat berkembang.  Dan dalam kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Maka tak mengherankan jika rasul menekankan tanggung jawab itu kepada orang tua.[4]
2. Pendidikan Kelembagaan
Selain pendidikan keluarga, ada juga pendidikan yang bersifat kelembagaan (sekolah), dimana anak didik bisa berinteraksi langsung dengan guru. Sekolah sebagai kelembagaan kelanjutan dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka , maka mereka menyerahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah. Namun sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa keagamaan para anak. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan young, walaupun latar belakang pendidikan agama dilingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak, barang kali pendidikan yang diberikan di kelembagaan pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Kenyataan sejarah menunjukkan tentang kebenaran hal itu. Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberikan pengaruh pada pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namaun demikian besar kecilnya pengaruh yang dimaksud sangat tergantung dengan berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama, sebab pendidikan agama pada hakekatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan agama lebih dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntutan agama[5]
Pendidikan agama hendaknya dapat mewarnai kepribadian anak, sehingga agama itu benar-benar menjadi bagian dari kepribadiannya yan akan menjadi pengendali dalam kehidupannya dikemudian hari.untuk mencapai pembinaan itumaka pendidikan agama hendaknya diberikan oleh guru yan gbenar-benar tercermin agama itu dalam sikap, tingkah laku, cara berbicara dan lain sebagainya. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan agama akan sukses, apabila ajran agama itu hidup dan tercermin dalam guru agam itu. Oleh karena itu guru harus menyadari, bahwa pendidikan agama bukanlah sekedar mengajarkan pengetahuan agama dan melatih keterampilan anak dalam melaksanakan ibada. Akan tetapi pendidikan agama jauah lebih luas daripada itu. Ia pertama bertujuan untuk membentuk kepribadian anak sesuai dengan ajaran agama. Yaitu pembinaan mental, sikap dan akhlak, jauh lebih penting daripada pandai menghafal dalil-dalil dan hukum-hukum agama, yang tidak diresapkan  dan dihayatinya dalam hidup[6]
Satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar bagi setiap pendidik atau guru yang kompeten dan profesional adalah melaksanakan profesinya sesuai dengan kaadaan peserta didik, dalam hal ini, tidak mengurangi peranan didaktik dan metodik psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang berupaya memahami keadaan dan perilaku manusia, termasuk para siswa yan satu dengan yang lain itu berbeda. Itu sangat penting bagi guru disemua jenjang kependidikan. Jenjang kependidikan ini meliputi wajib belajar sembilan tahun. Para pendidik khususnya para guru sekolah sangat diharapkan memiliki pengetahuan psikologi pendidikan yang sangat memadai agar dapat mendidik para siswa melalui proses belajar mengajar yang berdaya guna dan berhasil guna. Pengetahuan mengenai psikologi pendidikan bagi para guru berperan penting dalam menyelenggarakan pendidikan di sekolah-sekolah. Hal ini disebabkan eratnya hubungan antara psikologi khusus tersebut dengan pendidikan, seerat dengan kegiatan pengajaran.[7]
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama dilingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Dalam kontek ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima, memahami, menghayati, serta mau mengamalkan apa yang diberika atau disampaikannya.[8]
Hendaknya setiap pendidik khususnya guru harus menyadari bahwa dalam pembinaan pribadi anak sangat diperlukan pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan sesuai dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan tersebut akan membentuk sikap tertentu bagi anak, yang lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat,akhirnya tidak tergoyahkan lagi karena telah masuk pada dirinya. Dan guru juga harus mendekatkan ajaran agama itu dengan kehidupan sehari-hari. Mendekatkan anak kepada tuhan, karena dengan menonjolkan sifat dan pengasih dan penyayangnya setiap anak hendaknya dapat merasakan bahwa ia termasuk yang disayangi oleh tuhan. Dan guru sendiri harus menampakkan sikap kasih sayang itu dan melatih untuk saling menyayangi satu sama lain, melalui tindakan-tinadakan yang dirasakan dan dilakukan langsung oleh anak, seperti saling tolong menolong satu sama lain dan lain sebagainya.[9]  
Oleh karena itu guru harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan itu dikaitkan dengan kehidupan sehar-hari. Jadi tidak terbatas dengan kegiatan yang bersifat hafalan semata. Dan penerimaan siswa terhadap materi yang diberikan itu sangat tergantung dengan hubungan antara meteri dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima itu pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahlian dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifat yang sejalan dengan dengan ajaran agama seperti jujur, dan dapat dipercaya.[10]
Namun demikian ada juga faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar mengajar dan penerimaan serta daya serap anak didik terhadap mteri yang diajarkan oleh guru agama dalam pendidikan kelembagaan diantaranya:
  1. Faktor yang berasal ari luar diri anak didik, dalam hal ini masih dibagi menjadi dua yaitu:
v  Faktor-faktor non-sosial, dan
v   Faktor sosial
  1. Faktor yang berasal dari dalam diri anak didik itu sendiri, ini juga dibagi menjadi dua bagian yaitu:
v   Faktor fisiologis, dan
v   Faktor psikolog
1. Faktor non sosial dalam belajar   
Faktor ini boleh dikatakan tidak terbilang jumlahnya misalnya: suhu, udara, cuaca, waktu (pagi, siang atau malam), lokasi (letaknya, pergedungannya), alat-alat yang dipakai untuk belajar dan lain sebagainya. Dan ada juga faktor lain yang harus diatur sedemikian rupa agar proses belajar mengajar dapat maksimal yaitu: letak sekolah atau tempat belajarnya tidak terlalu dekat dengan kebisingan atau ramai jalan
2. Faktor sosial dalam belajar
Yang dimaksud dengan faktor sosial disini adalah faktor manusia (sesama manusia) baik manusia itu ada (hadir) atau kehadirannya itu dapat disimpulkan misalnya: satu kelas sedang mengerjakan ujian dan terdengar yang lain ramai disamping kelas, maka hal itu akan mengganggu konsentrasi anak yang lagi mengerjakan ujian.
3. Faktor fisiologis dalam belajar
Faktor ini dibagi menjadi dua yaitu: tonus jasmani pada umumnya, dan keadaan fungsi-fungsi fisiologis.
a. Tonus jasmani pada umumnya
Keadaan tonus pada umumnya ini dapat dikatakan melatar belakangi aktivitas belajar mengajar, keadaan jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang lemah
b. Keadaan fungsi jasmani tertentu terutama pancaindera
Pancaindera dapat dikatakan sebagai gerbang masuknya pengaruh kedalam individu, karena orang mengenal dunia sekitarnya dan belajar dengan mempergunakan pancainderanya. Baiknya berfungsinya pancaindera merupakan salah satu syarat dapatnya belajar belajar itu bias berjalan dengan baik.
4. Faktor-faktor psikologis dalam belajar
Faktor ini sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan yang lain namun ada satu hal, yaitu hal yang dapat mendorong aktivitas belajar mengajardan itu merupakan alas an dilakukannya perbuatan belajar itu. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang untuk berlajar itu adalah sebagai berikut:
ü  Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas
ü  Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan berkeinginan untuk maju
ü  Adanya untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman
ü  Adanya kebutuhan dan kecintaan dan penerimaan dalam dalam hubungan dengan orang lain  
Dalam proses belajar mengajar, semua faktor diatas itu tidak bias terlepas satu sama lainnya, karena itu merupakan hal yang komplek dan saling terkait. Selanjutnya yang besar pengaruhnya dalam belajarnya anak didik adalah cita-cita. Cita-cita merupakan pusat dari bermacam-macam kebutuhan. Artinya kebutuhan-kebutuhan itu biasanya disentralisasikan disekitar cita-cita itu, sehingga dorongan tersebut mampu memobilisasikan energi psikis untuk belajar.[11]
3. Pendidikan di masyarakat
masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah keluarga, pendidikan kelembagaan (sekolah), dan pendidikan masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka. Dalam pembentukan jiwa keagamaan anak itu membutuhkan bimbingan atau asuhan harus secara teratus dan terus menerus. Oleh karena itu lingkungan masyarakat akan memberi dampak dalam pertumbuhan perkembangan itu. Jika pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak mecapai usia dewasa, namun pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama waktu tertentu. Sebaliknya asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini pula terlihat besarnya pengaruh masyarkat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis . jiwa keagamaan yan memuat norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan pula pada orang lain.[12]
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilai kesopanan atau nilai-nilai yang berkaitan dengan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih efektif jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung  tinggi nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, hasil penelitian Masri Singarimbin terhadap kasus kumpul kebo di mojolama. Ia menemukan 13 kasus kumpul kebo, ini ada hubungannya dengan sikap toleran masyarakat terhadp hidup bersama sebelum nikah. Dan mungkin kasus seperti itu akan lebih kecil di lingkungan masyarakat yang menentang pola hidup seperti itu. Dari situ terlihat hubungan antara lingkunagn dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan santri barang kali akan lebih memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan di bandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan.dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung pada seberapa jauh masyarakat atau lingkungan tersebut menjunjung nilai-nilai atau norma-norma agama itu sendiri.[13]  























Bab III
Kesimpulan
Dalam pembentukan jiwa keagamaan bagi anak didik itu terdapat tiga komponen pendidikan yang dapat menumbuhkan hal itu yaitu: pendidikan keluarga, pendidikan kelembagaan (sekolah), dan pendidikan masyarakat. Pada mulanya pertumbuhan psikologi anak itu berkembang melalui peranan pernting keluarga, kerna memang sejak bayi anak itu berkumpul dengan orang tuanya, dalam hal ini yang mempunyai peran utama adalah orang tua (bapak dan ibu), kemudia setelah mendapatkan pendidikan keluarga, anak anak diserahkan ke pendidikan kelembagaan (sekolah) untuk mendapatkan pengetahuan tentang kegamaan, dalam hal ini peran aktif guru yang professional sangat dibutuhkan, karena terbentuk atau tidaknya jiwa psikologis anak sangat tergantung pada seorang guru. Sorang guru harus bias memahamkan.anak didiknya tentang materi agama yang disampaikan agar anak bias menghayati dan mengamalkan apa yang disampaikan oleh guru tersebut. Setelah mendapatkan pendidikan keluanga, dan pendidikan kelembagaan, maka dalam pentukan jiwa anak, pendidikan masyarakat juga sangat mempengaruhi akan pertumbuhan tersebut, karena dalam masyarakatlah anak itu bergaul. Dengan siapa siapa dia bergaul, dan lingkungan tempat tinggal juga ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa anak.











DAFTAR PUSTAKA

Dradjat Zakiah, Ilmu jiwa agama, Bulan bintang, Jakarta, 1996

Jalaluddin, Psikologi agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997

Purwanto Ngalim, Psikologi pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002

Syah Muhibbin, Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru, PT Rosdakarya, Bandung, 1995

Suryabrata Sumadi, Psikologi pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001  


[1] Zakiah daradjat, ilmu jiwa agama, hal 56
[2]  ibid, hal 56-57
[3] jalaluddin,psikologi agama,hal 204
[4] ibid, hal 204
[5] ibid, hal 206-207
[6] Zakiah daradjat, ilmu jiwa agama, hal 107
[7] muhibbin syah, psikologi pendidikan dengan pendekatan baru, hal 15-16
[8] jalaluddin, psikologi agama, hal 204
[9] Zakiah daradjat, ilmu jiwa agama, hal 61-62
9 jalaluddin,psikologi agama,hal 205
[11] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, hal 233-238
[12] Jalaluddin,Psikologi agama,hal 208-209
[13] Ibid hal 209

0 comments:

Post a Comment