Bab I
Pendahuluan
Perkembangan psikologi
agama pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, baik
dalam keluarga, sekolah, ataupun dimasyarakatnya. Semakin banyak pengalaman
yang bersifat agama, akan semakin banyak unsur agamanya, maka, sikap, tindakan,
kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajran agama.
Dalam hal itu meskipun
para ahli belum memiliki kesepakatan tentang asal-usul jiwa keagamaan pada
manusia, namun pada umumnya mereka mengakui peran pendidikan dalam menanamkan
rasa dan sikap keberagamaan pada manusia, dengan kata lain pendidikan dini8lai
mempunyai peran penting dalam upaya menanamkan rasa keagamaan pada anak.
Kemudian mellaui pendidikan pula dilakukan pembentukan sikap keagamaan
tersebut.
Oleh karena itu kami
sebagai penulis akan membahas tiga faktor pendidikan yang dapat menumbuhkan psikologi dan rasa
keberagamaan pada anak. Diantaranya meliputi: pendidikan keluarga, pendidikan
kelembagaan, dan pendidikan dimasyarakat.
Bab II
Pembahasan
1. Pendidikan keluarga
Setiap orang tua dan
semua guru ingin membina anak agar menjadi orang baik, mempunyai kepribadian
yang kuat dan sikap mental yang yang sehat serta akhlak yang terpuji. Dan
semuanya itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik yang formal (di
sekolah), maupun yang informal (di rumah orang tua), setiap pengalaman yang
dilalui anak, baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun perlakuan yang
diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadinya. Orang tua adalah Pembina
pribadi yang pertama dalam kehidupan anak, kepribadian orang tua, sikap dan
cara hidup mereka itu merupakan unsur-unsur pendidikan secara tidak langsung,
yang dengan sendirinya akan masuk kedalam pribadi anak yang sedang tumbuh itu.[1]
Dalam pembentukan
pribadi anak, hubungan orang tua sesama mereka juga sangat mempengaruhi
pertumbuhan jiwa anak. Hubungan yang serasi, penuh pengartian dan kasih sayang
itu akan membawa kepada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka dan mudah
dididik. Banyak percekcokan dan perselisihan akan membawa anak kepada pertumbuhan
pribadi yang sukar dan tidak mudah dibentuk, karena ia tidak mendapatkan
suasana yang baik untuk berkembang, sebab selalu terganggu oleh suasana oran
tuanya. Dan masih banyak lagi faktor-faktor tidak langsung dalam keluarga yang
dapat mempengaruhi pembinaan pribadi anak. Disamping itu tentunya juga banyak
pengalaman anak yang mempunyai nilai pendidikan baginya, yaitu
pembinaan-pembinaan yang tertentu yang dilakukan oleh orang tua terhadap
anaknya baik melalui latihan-latihan, perbuatan, misalnya kebiasaan dalam makan
minum, buang air, mandi, tidur dan lain sebagainya, itu semua merupakan unsur
pembinaan pribadi dan psikologi anak.[2]
Dalam dunia
pendidikan, barang kali sangat sulit untuk mengabaikan peran keluarga didalamnya.
Karena memang anak-anak sejak bayi hingga usia sekolahmemiliki lingkungan
tunggal, yaitu keluarga. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Gilbert Higest
menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki oleh anak-anak sebagian besar itu
terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak bangun tidur hingga ke saat akan
tidur kembali anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari keluarga Keluarga
menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan
pendidiknya adalah kedua orang tua.orang tua adalah pendidik kodrati. Mereka
pendidik bagi anak-anak karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan anugerah
oleh tuhan berupa naluri sebagai orang tua. Naluri ini timbul rasa kasih sayang
para orang tua kepada anak-anaknya hingga
secara moral keduanya terbebani bertanggung jawab untuk memelihara,
melindungi dan membimbing keturunan mereka[3].
Pendidikan keluarga
merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama
menurut W.K.Clark berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk
diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan manusia
demikian rumit dan kompleknya. Namun demuikian melalui fungsi-fungsi jiwa yang
masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat didalamnya.
Melalui jalinan-jalinan unsur-unsur ini dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama
itu dapat berkembang. Dan dalam kaitan
itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan
pada anak. Maka tak mengherankan jika rasul menekankan tanggung jawab itu
kepada orang tua.[4]
2. Pendidikan Kelembagaan
Selain pendidikan keluarga, ada juga pendidikan yang bersifat
kelembagaan (sekolah), dimana anak didik bisa berinteraksi langsung dengan
guru. Sekolah sebagai kelembagaan kelanjutan dari pendidikan keluarga. Karena
keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka , maka mereka
menyerahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah. Namun sulit untuk mengungkapkan
secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui
kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa keagamaan para anak.
Berdasarkan penelitian Gillesphy dan young, walaupun latar belakang pendidikan
agama dilingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada
anak, barang kali pendidikan yang diberikan di kelembagaan pendidikan ikut
berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Kenyataan sejarah
menunjukkan tentang kebenaran hal itu. Pendidikan agama di lembaga pendidikan
bagaimanapun akan memberikan pengaruh pada pembentukan jiwa keagamaan pada
anak. Namaun demikian besar kecilnya pengaruh yang dimaksud sangat tergantung
dengan berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama,
sebab pendidikan agama pada hakekatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena
itu pendidikan agama lebih dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan
yang selaras dengan tuntutan agama[5]
Pendidikan agama
hendaknya dapat mewarnai kepribadian anak, sehingga agama itu benar-benar
menjadi bagian dari kepribadiannya yan akan menjadi pengendali dalam
kehidupannya dikemudian hari.untuk mencapai pembinaan itumaka pendidikan agama
hendaknya diberikan oleh guru yan gbenar-benar tercermin agama itu dalam sikap,
tingkah laku, cara berbicara dan lain sebagainya. Atau dengan singkat dapat
dikatakan bahwa pendidikan agama akan sukses, apabila ajran agama itu hidup dan
tercermin dalam guru agam itu. Oleh karena itu guru harus menyadari, bahwa
pendidikan agama bukanlah sekedar mengajarkan pengetahuan agama dan melatih
keterampilan anak dalam melaksanakan ibada. Akan tetapi pendidikan agama jauah
lebih luas daripada itu. Ia pertama bertujuan untuk membentuk kepribadian anak
sesuai dengan ajaran agama. Yaitu pembinaan mental, sikap dan akhlak, jauh
lebih penting daripada pandai menghafal dalil-dalil dan hukum-hukum agama, yang
tidak diresapkan dan dihayatinya dalam
hidup[6]
Satu hal yang tidak
bisa ditawar-tawar bagi setiap pendidik atau guru yang kompeten dan profesional
adalah melaksanakan profesinya sesuai dengan kaadaan peserta didik, dalam hal
ini, tidak mengurangi peranan didaktik dan metodik psikologi sebagai ilmu
pengetahuan yang berupaya memahami keadaan dan perilaku manusia, termasuk para
siswa yan satu dengan yang lain itu berbeda. Itu sangat penting bagi guru
disemua jenjang kependidikan. Jenjang kependidikan ini meliputi wajib belajar
sembilan tahun. Para pendidik khususnya para guru sekolah sangat diharapkan
memiliki pengetahuan psikologi pendidikan yang sangat memadai agar dapat
mendidik para siswa melalui proses belajar mengajar yang berdaya guna dan
berhasil guna. Pengetahuan mengenai psikologi pendidikan bagi para guru
berperan penting dalam menyelenggarakan pendidikan di sekolah-sekolah. Hal ini
disebabkan eratnya hubungan antara psikologi khusus tersebut dengan pendidikan,
seerat dengan kegiatan pengajaran.[7]
Fungsi sekolah dalam
kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan anak, antara lain sebagai pelanjut
pendidikan agama dilingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri
anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Dalam kontek ini guru
agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima, memahami,
menghayati, serta mau mengamalkan apa yang diberika atau disampaikannya.[8]
Hendaknya setiap
pendidik khususnya guru harus menyadari bahwa dalam pembinaan pribadi anak
sangat diperlukan pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan
sesuai dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan tersebut akan
membentuk sikap tertentu bagi anak, yang lambat laun sikap itu akan bertambah
jelas dan kuat,akhirnya tidak tergoyahkan lagi karena telah masuk pada dirinya.
Dan guru juga harus mendekatkan ajaran agama itu dengan kehidupan sehari-hari.
Mendekatkan anak kepada tuhan, karena dengan menonjolkan sifat dan pengasih dan
penyayangnya setiap anak hendaknya dapat merasakan bahwa ia termasuk yang
disayangi oleh tuhan. Dan guru sendiri harus menampakkan sikap kasih sayang itu
dan melatih untuk saling menyayangi satu sama lain, melalui tindakan-tinadakan
yang dirasakan dan dilakukan langsung oleh anak, seperti saling tolong menolong
satu sama lain dan lain sebagainya.[9]
Oleh karena itu guru
harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan
yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama
yang diberikan itu dikaitkan dengan kehidupan sehar-hari. Jadi tidak terbatas
dengan kegiatan yang bersifat hafalan semata. Dan penerimaan siswa terhadap
materi yang diberikan itu sangat tergantung dengan hubungan antara meteri
dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima itu
pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara
lain memiliki keahlian dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifat yang sejalan
dengan dengan ajaran agama seperti jujur, dan dapat dipercaya.[10]
Namun demikian ada
juga faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar mengajar dan penerimaan
serta daya serap anak didik terhadap mteri yang diajarkan oleh guru agama dalam
pendidikan kelembagaan diantaranya:
- Faktor yang berasal ari luar diri anak didik, dalam hal ini
masih dibagi menjadi dua yaitu:
v Faktor-faktor non-sosial, dan
v Faktor
sosial
- Faktor yang berasal dari dalam diri anak didik itu sendiri, ini juga dibagi menjadi dua bagian yaitu:
v Faktor
fisiologis, dan
v Faktor
psikolog
1. Faktor non sosial dalam belajar
Faktor ini boleh
dikatakan tidak terbilang jumlahnya misalnya: suhu, udara, cuaca, waktu (pagi,
siang atau malam), lokasi (letaknya, pergedungannya), alat-alat yang dipakai
untuk belajar dan lain sebagainya. Dan ada juga faktor lain yang harus diatur
sedemikian rupa agar proses belajar mengajar dapat maksimal yaitu: letak
sekolah atau tempat belajarnya tidak terlalu dekat dengan kebisingan atau ramai
jalan
2. Faktor sosial dalam belajar
Yang dimaksud dengan
faktor sosial disini adalah faktor manusia (sesama manusia) baik manusia itu
ada (hadir) atau kehadirannya itu dapat disimpulkan misalnya: satu kelas sedang
mengerjakan ujian dan terdengar yang lain ramai disamping kelas, maka hal itu
akan mengganggu konsentrasi anak yang lagi mengerjakan ujian.
3. Faktor fisiologis dalam belajar
Faktor ini dibagi
menjadi dua yaitu: tonus jasmani pada umumnya, dan keadaan fungsi-fungsi
fisiologis.
a. Tonus jasmani pada umumnya
Keadaan tonus pada
umumnya ini dapat dikatakan melatar belakangi aktivitas belajar mengajar, keadaan
jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang lemah
b. Keadaan fungsi jasmani tertentu
terutama pancaindera
Pancaindera dapat
dikatakan sebagai gerbang masuknya pengaruh kedalam individu, karena orang
mengenal dunia sekitarnya dan belajar dengan mempergunakan pancainderanya.
Baiknya berfungsinya pancaindera merupakan salah satu syarat dapatnya belajar
belajar itu bias berjalan dengan baik.
4. Faktor-faktor psikologis dalam
belajar
Faktor ini sebenarnya
tidak terlalu berbeda dengan yang lain namun ada satu hal, yaitu hal yang dapat
mendorong aktivitas belajar mengajardan itu merupakan alas an dilakukannya
perbuatan belajar itu. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Arden N. Frandsen
mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang untuk berlajar itu adalah sebagai
berikut:
ü Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki
dunia yang lebih luas
ü Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia
dan berkeinginan untuk maju
ü Adanya untuk mendapatkan simpati dari orang
tua, guru, dan teman-teman
ü Adanya kebutuhan dan kecintaan dan penerimaan
dalam dalam hubungan dengan orang lain
Dalam proses belajar
mengajar, semua faktor diatas itu tidak bias terlepas satu sama lainnya, karena
itu merupakan hal yang komplek dan saling terkait. Selanjutnya yang besar
pengaruhnya dalam belajarnya anak didik adalah cita-cita. Cita-cita merupakan
pusat dari bermacam-macam kebutuhan. Artinya kebutuhan-kebutuhan itu biasanya
disentralisasikan disekitar cita-cita itu, sehingga dorongan tersebut mampu
memobilisasikan energi psikis untuk belajar.[11]
3. Pendidikan di masyarakat
masyarakat merupakan
lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa
lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah
keluarga, pendidikan kelembagaan (sekolah), dan pendidikan masyarakat.
Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang
positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan
mereka. Dalam pembentukan jiwa keagamaan anak itu membutuhkan bimbingan atau
asuhan harus secara teratus dan terus menerus. Oleh karena itu lingkungan
masyarakat akan memberi dampak dalam pertumbuhan perkembangan itu. Jika
pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak mecapai usia dewasa, namun
pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa
masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama waktu
tertentu. Sebaliknya asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup. Dalam
kaitan ini pula terlihat besarnya pengaruh masyarkat terhadap pertumbuhan jiwa
keagamaan sebagai bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam
pertumbuhan psikis . jiwa keagamaan yan memuat norma-norma kesopanan
menghendaki adanya norma-norma kesopanan pula pada orang lain.[12]
Dalam ruang lingkup
yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilai kesopanan atau
nilai-nilai yang berkaitan dengan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih
efektif jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh,
hasil penelitian Masri Singarimbin terhadap kasus kumpul kebo di mojolama. Ia
menemukan 13 kasus kumpul kebo, ini ada hubungannya dengan sikap toleran
masyarakat terhadp hidup bersama sebelum nikah. Dan mungkin kasus seperti itu
akan lebih kecil di lingkungan masyarakat yang menentang pola hidup seperti
itu. Dari situ terlihat hubungan antara lingkunagn dan sikap masyarakat
terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan santri barang kali akan lebih memberi
pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan di bandingkan dengan masyarakat lain
yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan.dengan
demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan
sangat tergantung pada seberapa jauh masyarakat atau lingkungan tersebut
menjunjung nilai-nilai atau norma-norma agama itu sendiri.[13]
Bab III
Kesimpulan
Dalam pembentukan jiwa
keagamaan bagi anak didik itu terdapat tiga komponen pendidikan yang dapat
menumbuhkan hal itu yaitu: pendidikan keluarga, pendidikan kelembagaan
(sekolah), dan pendidikan masyarakat. Pada mulanya pertumbuhan psikologi anak
itu berkembang melalui peranan pernting keluarga, kerna memang sejak bayi anak
itu berkumpul dengan orang tuanya, dalam hal ini yang mempunyai peran utama
adalah orang tua (bapak dan ibu), kemudia setelah mendapatkan pendidikan
keluarga, anak anak diserahkan ke pendidikan kelembagaan (sekolah) untuk
mendapatkan pengetahuan tentang kegamaan, dalam hal ini peran aktif guru yang
professional sangat dibutuhkan, karena terbentuk atau tidaknya jiwa psikologis
anak sangat tergantung pada seorang guru. Sorang guru harus bias
memahamkan.anak didiknya tentang materi agama yang disampaikan agar anak bias
menghayati dan mengamalkan apa yang disampaikan oleh guru tersebut. Setelah
mendapatkan pendidikan keluanga, dan pendidikan kelembagaan, maka dalam
pentukan jiwa anak, pendidikan masyarakat juga sangat mempengaruhi akan
pertumbuhan tersebut, karena dalam masyarakatlah anak itu bergaul. Dengan siapa
siapa dia bergaul, dan lingkungan tempat tinggal juga ikut berpengaruh dalam
pembentukan jiwa anak.
DAFTAR PUSTAKA
Dradjat Zakiah, Ilmu jiwa agama, Bulan
bintang, Jakarta, 1996
Jalaluddin, Psikologi agama, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997
Purwanto Ngalim, Psikologi pendidikan,
PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002
Syah Muhibbin, Psikologi pendidikan
dengan pendekatan baru, PT Rosdakarya, Bandung, 1995
Suryabrata Sumadi, Psikologi
pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
[1] Zakiah daradjat, ilmu jiwa agama, hal 56
[2] ibid, hal 56-57
[3] jalaluddin,psikologi agama,hal 204
[4] ibid, hal 204
[5] ibid, hal 206-207
[6] Zakiah daradjat, ilmu jiwa agama, hal 107
[7] muhibbin syah, psikologi pendidikan dengan pendekatan baru,
hal 15-16
[8] jalaluddin, psikologi agama, hal 204
[9] Zakiah daradjat, ilmu jiwa agama, hal 61-62
[11] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, hal 233-238
[12] Jalaluddin,Psikologi agama,hal 208-209
[13] Ibid hal 209
0 comments:
Post a Comment