BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persoalan membaca dan
menulis memang merupakan fenomena tersendiri. Kini menjadi semakin hangat
dibicarakan para orang tua yang memiliki anak usia taman kanak-kanak (TK) dan
sekolah dasar karena mereka khawatir anak-anaknya tidak mampu mengikuti
pelajaran di sekolahnya nanti jika sedari awal belum dibekali keterampilan membaca
dan menulis.
Selama ini taman
kanak-kanak didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-anak memasuki
masa sekolah yang dimulai di jenjang sekolah dasar. Kegiatan yang dilakukan di
taman kanak-kanak pun hanyalah bermain dengan mempergunakan alat-alat bermain edukatif.
Pelajaran membaca dan menulis tidak diperkenankan di tingkat taman kanak-kanak,
kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah
anak-anak memasuki TK B.
Akan tetapi, pada
perkembangan terakhir hal itu menimbulkan sedikit masalah, karena ternyata
pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika asumsinya anak-anak
lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung. Karena tuntutan itulah, akhirnya
banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca bagi
murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa
membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan menulis sebelum
masuk sekolah dasar. Beberapa anak mungkin berhasil menguasai keterampilan
tersebut, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan.
Karena itulah, disini
kami akan membahas tentang asas-asas psikologis apa saja yang mempengaruhi
perkembangan keterampilan membaca dan menulis, agar nantinya proses
pembelajaran bisa disesuaikan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Asas-asas apa sajakah yang berpengaruh dalam
keterampilan membaca dan menulis?
2.
Bagaimanakah tahap-tahap pengajaran keterampilan
membaca yang sesuai dengan asas psikologis?
3.
Bagaimanakah tahap-tahap pengajaran keterampilan
menulis yang sesuai dengan asas psikologis?
1.3 Tujuan Masalah
1.
Mengetahui asas-asas apa sajakah yang
berpengaruh dalam keterampilan membaca dan menulis
2.
Mengetahui tahap-tahap pengajaran keterampilan
membaca yang sesuai dengan asas psikologis
3.
Mengetahui tahap-tahap pengajaran keterampilan
menulis yang sesuai dengan asas psikologis
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asas-asas psikologi
dalam keterampilan membaca dan menulis
Asas-asas yang mempengaruhi
kemajuan kemampuan membaca anak adalah asas psikologis. Asas ini mencakup
motivasi, minat, dan kematangan sosial, emosi, penyesuaian diri, dan juga dari
sisi neurologisnya.
1.
Motivasi
Motivasi mempunyai peranan penting
dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan
mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi dapat dibandingkan dengan mesin dan
kemudi pada mobil (Gage dan Barliner, 1984: 372). “Motivation is the concept we
use when we describe the force action on or within an organism to intiate and
direct behavior” demikian menurut H.L. Petri (Petri, Herbert L, 1986: 3).
Motivasi dapat merupakan tujuan dan alat dalam pembelajaran. Sebagai tujuan
motivasi merupakan salah satu tujuan dalam mengajar. Sebagai alat motivasi
merupakan salah satu faktor seperti halnya intelegensi dan hasil belajar
sebelumnya yang dapat menentukan keberhasilan belajar siswa dalam bidang
pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan.
Motivasi
mempunyai kaitan yang erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat terhadap
sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik perhatiannya dan dengan
demikian timbul motivasinya untuk mempelajari bidang studi tersebut. Karenanya
,bahan-bahan pelajaran yang disajikan hendaknya disesuaikan dengan minat siswa
dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Depdiknas (2003)
mengemukakan beberapa prinsip motivasi dalam belajar membaca:
a.
Kebermaknaan
b.
Pengetahuan
dan keterampilan prasyarat
c.
Model
d.
Komunikasi
terbuka
e.
Keaslian
dan tugas yang menantang, latihan yang tepat dan efektif
f.
Kondisi
dan konsekuensi yang menyenangkan
g.
Keragaman
pendekatan
h.
Mengembangkan
beberapa kemampuan
i.
Melibatkan
sebanyak mungkin indera
2.
Minat
Minat baca ialah keinginan
yang kuat disertai usaha-usaha seseorang untuk membaca. Orang yang mempunyai
minat membaca yang kuat akan diwujudkannya dalam kesediaannya untuk mendapat
bahan bacaan dan kemudian membacanya atas kesadarannya sendiri.
Frymeir (dalam Crawley dan
Mountain, (1995) mengidentifikasi tujuh faktor yang mempengaruhi perkembangan
minat anak.
a.
Pengalaman
sebelumnya; anak tidak akan mengembangkan minatnya terhadap sesuatu jika mereka belum pernah mengalaminya.
b.
Konsepsinya
tentang diri; sebaliknya, anak akan menerima jika informasi itu dipandang
berguna dan membantu meningkatkan dirinya.
c.
Nilai-nilai;
d.
Mata
pelajaran yang bermakna
e.
Tingkat
keterlibatkan tekanan
f.
Kekompleksitasan
materi pelajaran
3.
Kematangan
sosiol dan emosi serta penyesuaian diri.
4. Neurologis.
Neurologis ini berhubungan erat dengan otak setiap orang dan
system yang ada di dalamnya. Ada hubungan yang erat antara neurologis dan
linguistic yang menjadi sebuah kajian Neuropsycholinguiistics yang dibentuk
oleh kata-kata neuro, psyche dan linguistics. Dalam hal ini perlu dijelaskan
hanyalah kata neuro yang mengandung acuan yang relative sama dengan nerve yang
berarti “saraf” dan psyche yang berarti pikiran dan mentalis. Dalam system
manusia, otak merupakan pusat saraf, pengendalian pikiran dan mekanisme organ
tubuh manausia, termasuk mekanisme yang mengatur pemrosesan bahasa. Menurut
chaer (2003;7), neuropsikolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa, berbahasa
dan otak manusia.
Sementara itu, kebanyakan kalangan ilmuwan dan praktisi
pembelajaran bahasa lebih mengenal bidang kajian itu sebagai psikolinguistik,
meskipun sebenarnya ada unsur pembedanya. Salah satu definisi psikolinguistik
atau yang dipilih menjadi psikologi bahasa (psychology of language) adalah
kajian mengenai factor psikologis dan neurobiologist yang memungkinkan manusia
memperoleh, menggunakan dan memahami bahasa. Secara lebih konkret,
psikolinguistik adalah kajian tentang proses dan reprentasi kognitif yang
berada dibalik penggunaan bahasa. Psikolinguistik terbagi atas empat bidang
kajian yaitu: 1) produksi bahasa, 2) pemahaman bahasa, 3) leksikon dwibahasa,
dan 4) prilaku bahasa yang menyimpang. Psikolinguistik mencangkup proses
kognitif yang memungkinkan seseorang menghasilkan kalimat yang gramatikal dan
bermakna dari kosa kata atau tata bahasa dan memahami ujaran kata, teks dan
lain-lain yang diujarkan. Psikolinguistik bersifat interdisipliner dan dikaji
oleh ahli dari berbagai disiplin ilmu, seperti psikologi, sains kognisi dan
linguistic.
Faktor
neurologis membahas tentang kaitan antara otak manusia dengan bahasa. Neurologi
mempunyai kaitan erat dengan bahasa karena kemampuan manusia berbahasa ternyata
bukan hanya karena lingkungan tetapi karena kodrat neurologis yang dibawanya
sejak lahir. Betapa besar peranan otak kita di dalam pemerolehan, pemahaman dan
pemakaian bahasa. Proses bahasa itu dimulai dari enkode semantik, enkode
gramatika, dan enkode fonologi, lalu dilanjutkan dengan dekode fonologi, dekode
gramatikal, dan diakhiri dengan dekode semantik. Semua proses ini dikendalikan
oleh otak yang merupakan alat pengatur dan pengendali gerak semua aktifitas
manusia (Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik 2003) tanpa otak dengan
fungsi-fungsinya yang kita miliki sekarang ini, mustahillah manusia dapat
berbahasa. Pada bahasan ini akan disajikan struktur dan organisasi otak manusia
untuk memberikan jawaban terhadap masalah pemerolehan, pemahaman,dan pemakaian
bahasa, serta akibat-akibat yang akan timbul bila ada gangguan pada otak.
Apabila input yang masuk adalah dalam bentuk lisan, maka bunyi itu
ditanggapi di lobe temporal, khususnya oleh korteks primer pendengaran. Setelah
itu diterima, dicerna dan diolah, selanjutnya bunyi bahasa tadi dikirim ke
daerah wernicke untuk diinterpretasikan. Bila masukan tadi perlu ditanggapi
secara verbal, maka interpretasi itu dikirim ke daerah broca melalui fasikulus
akurat.
2.1 Keterampilan
Membaca
Di samping kemampuan untuk berbahasa
manusia juga mempunyai kemampuan lain yang spesifik: membaca. Manusia dapat
menuangkan apa yang ada dalam pikirannya pada secarik kertas dan kemudian
disimpan untuk sehari-hari, sebulan, setahun, atau bahkan lebih dari itu.
1.2.1
Tahap dalam membaca
Empat tahap dalam berbahasa yang sampai
kini masih dianggap benar adalah tahap mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis. Dua tahap yang pertama berkaitan dengan bahasa lisan dan dua tahap
terakhir dengan bahasa tulisan. Tahap-tahap yang dimunculkan pada saat
psikolinguistik belum lahir ini ternyata mempunyai landasan psikologis yang
kuat. Dari apa yang telah kita pelajari pada bab-bab sebelum bab ini kita
ketahui bahwa komprehensi selalu mendahului produksi. Anak mulai berbahasa
dengan mendengarkan lebih dahulu, barulah kemudian dia mulai berbicara. Dua
tahap berikutnya, mambaca dan menulis, bukanlah merupakan persyaratan hidup
karena tanpa dapat membaca atau menulis manusia masih bisa tetap dapat
mempertahankan hidupnya.
1.2.2 Perkembangan
keterampilan membaca
Belajar membaca mencakup pemerolehan kecakapan yang dibangun pada
ketrampilan sebelumnya. Jeanne Chall (1979) mengemukakan ada lima tahapan dalam
perkembangan kemampuan membaca, dimulai dari ketrampilan pre-reading hingga ke
kemampuan membaca yang sangat tinggi pada orang dewasa.
Tahap 0, dimulai dari masa sebelum anak masuk kelas pertama, anak-anak
harus menguasai prasyarat membaca, yakni belajar membedakan huruf dalam
alfabet. Kemudian pada saat anak masuk sekolah, banyak yang sudah dapat
“membaca” beberapa kata, seperti “Pepsi”, “McDonalds”, dan “Pizza Hut.”
Kemampuan mereka untuk mengenali simbol-simbol populer ini karena
seringnya melihat di televisi atau pun di sisi jalan serta meja makan.
Hal ini mengindikasikan bahwa mereka dapat membedakan antara pola huruf,
meskipun belum dapat mengerti kata itu sendiri. Pengetahuan anak-anak
tentang huruf dan kata saat ini secara umum lebih baik ketimbang beberapa
generasi sebelumnya, hal ini dikarenakan pengaruh acara televisi
anak seperti “Sesame Street.”
Tahap1, mencakup tahun pertama di kelas satu. Anak belajar kecakapan
merekam fonologi, yaitu keterampilan yang digunakan untuk menerjemahkan
simbol-simbol ke dalam suara dan kata-kata. Kemampuan ini diikuti
dengan tahap kedua pada kelas dua dan tiga, di mana anak sudah belajar membaca
dengan fasih. Di akhir kelas tiga, kebanyakan anak sekolah sudah menguasai
hubungan dari huruf-ke-suara dan dapat membaca sebagian besar kata dan kalimat
sederhana yang diberikan.
Perubahan dari “learning to read” menuju “reading
to learn” dimulai dalam tahap 3, dimulai dari kelas 4 sampai kelas 8.
Anak-anak pada tahap ini sudah bisa mendapatkan informasi dari materi tertulis,
dan ini direfleksikan dalam kurikulum sekolah. Anak-anak di kelas ini
diharapkan belajar dari buku yang mereka baca. Jika anak belum menguasai “
how to” membaca ketika kelas empat, maka kemajuannya membaca untuk
kelas selanjutnya bisa terhambat.
Tahap 4, dimulai pada saat sekolah tinggi, direfleksikan dengan
kemampuan baca yang sangat fasih. Anak menjadi semakin dapat memahami
beragam materi bacaan dan menarik kesimpulan dari apa yang mereka baca.
1.2.3 Kemampuan membaca
dan perkembangan kognitif
Phonemic awareness, adalah salah
satu skill yang dapat memprediksikan kemampuan membaca di kemudian
hari, Phonemic awareness adalah pengetahuan tentang huruf yang dapat
dipisahkan dari suara. ‘kesadaran ini belum muncul pada anak-anak prescholl.
Penelitian telah menunjukkan bahwa sensitivitas anak-anak terhadap ritme akan
berujung pada kesadaran fonem, yang sebaliknya mempengaruhi kemampuan baca dan
menjadikannya lebih mudah bagi anak-anak untuk mengenali kata-kata tertulis
baik yang bersuara ataupun yang mirip (misalnya, cat dan at). Anak yang sedari
kecil memiliki kemampuan phonemic awareness yang baik dapat
dipastikan kemampuan membacanya juga baik.
Phonologic Recoding. Alasan bahwa kesadaran
Phonologis merupakan predictor untuk kemampuan baca awal adalah karena kemampuan
baca awal yang secara umum melibatkan penyuaraan kata-kata. Proses phonologic
recodingini merupakan dasar dari mayoritas program instruksi membaca di AS
saat ini. Anak-anak diajarkan mendengar huruf dan mencoba mencocokkan antara
huruf dan suara.
Kemampuan baca yang
benar-benar fasih tidak dilakukan dengan menyuarakan setiap huruf namun dengan
secara langsung mendapatkan arti keseluruhan kata dari memori (keseluruhan kata
yang berdasar visual).
Kunci bagi kemampuan
baca yang fasih adalah proses automatization (otomatisasi), yakni
pemerolehan arti kata tanpa melakukan usaha (otomatis). Kemampuan mengakses
arti kata, memperluas sumberdaya terbatas dari seseorang dalam proses ini
sangat penting bagi kemampuan baca yang terampil. Ketika terlalu banyak sumberdaya
mental digunakan hanya untuk mendapatkan arti kata individual, maka terlalu
sedikit sumberdaya yang tertinggal untuk memenggal akta-kata dan memahami arti
yang lebih besar dari suatu teks.
1.2.4 Pengajaran Membaca
Ada dua pendekatan
penting pada instruksi membaca (reading instruction) dan komentar
tentang bagaimana bukti penelitian dipertimbangkan dalam topik ini. Pada
dasarnya (dan secara sederhana) instruksi membaca dapat dipikirkan sebagai,
baik itu (1) proses bawah ke atas (bottom-up process), anak-anak
mempelajari komponen-komponen individu suatu bacaan (mengidentifikasi huruf,
korespondensi suara-huruf [letter-sound correspondence]) dan
meletakkannya bersamaan untuk memperoleh makna; atau (2) proses atas ke bawah (top-down
process), tujuan, pengetahuan latar belakang, dan ekspektasi anak-anak
menentukan informasi apa yang dipilih dari teks. Proses terakhir ini
merupakan suatu perspektif konstruktifis, mengingat kembali ide-ide Piaget.
Tentu saja, membaca yang terampil melibatkan bottom-up dan top-down
process, pembuatan tiap dikotomi artifisial. Namun demikian, reading
instruction, terutama pada tingkat awal, sering menekankan satu terhadap
lainnya, dan oleh karena itu dikotomi memiliki beberapa dasar dalam realitas.
Kurikulum yang
menekankan bottom-up process ditunjukkan melalui metode fonik
(phonics method). Di sini, anak-anak diajar korespondensi suara- huruf
spesifik, sering kali independen pada tiap konteks “yang penuh makna”.
Kurikulum yang menekankan top-down process ditunjukkan melalui pendekatan
bahasa-menyeluruh (whole-language approach). Menurut Marilyn Adams dkk.,
“whole-language approach menekankan bahwa pembelajaran dilabuhkan
pada dan dimotivasikan oleh makna. Selanjutnya, dikarenakan pemaknaan dan
kepemaknaan yang penuh (meaningfulness) perlu didefiniskan secara
internal dan tidak pernah melalui pernyataan (pronouncement),
pembelajaran dapat efektif hanya pada seberapa jauh pembelajaran secara
kognitif dikendalikan oleh siswa”. Oleh karena itu, kurikulum bahasa-menyeluruh
(whole-language curricula) menekankan pada ketertarikan membaca (reading
interesting) dan teks penuh makna (meaningful text) sejak dini.
Ruang kelas di mana bahasa keseluruhan diajarkan, lebih cocok berpusat pada
siswa (student centered) dibandingkan dengan berpusat pada guru (teacher
centered), memiliki integrasi membaca dan menulis dalam keseluruhan
kurikulum, memiliki penghindaran latihan bahasa, dan memiliki kesempatan kecil
dalam hal pengelompokan kemampuan secara kaku.
Bukti penelitian yang
didiskusikan semestinya membuat gamblang pentingnya pemrosesan level dasar (bottom-up)
dalam pembelajaran membaca. Keterampilan fonologis merupakan prediktor tunggal
terbaik kemampuan membaca (dan ketidakmampuan membaca). Kemampuan tersebut
tidak berkembang secara spontan, dan biasanya mengeksplisitkan instruksi.
Kurikulum yang mengabaikan phonics, mengabaikan tentang bagaimana “bermaknanya”phonics membuat
pengalaman membaca, sedang meresikokan melek huruf pada kebanyakan siswanya.
1.2 Keterampilan
Menulis
Menulis adalah sesuatu yang terpenting
yang ada pada kehidupan kita, karena kitabah merupakan ungkapan tertulis yang
dituangkan oleh penulis. Pengertian kitabah menurut bahasa adalah kumpulan
makna yang tersusun dan teratur. Dan makna kitabah secara epistimologi
adalah kumpulan dari kata yang tersusun dan mengandung arti, karena kitabah
tidak akan terbentuk kecuali dengan adanya kata yang beraturan. Dan dengan
adanya kitabah manusia bisa menuangkan expresi hatinya dengan bebas sesuai
dengan apa yang difikirkannya. Dengan menuangkan ungkapan yang tertulis
diharapkan para pembaca dapat mengerti apa yang ingin penulis ungkapkan.
1.3.1 Tahap Perkembangan Menulis Anak
Buncil (2010) menyebutkan tahapan menulis anak, antara lain:
Tahap 1: Coretan-Coretan Acak. Mulai membuat coretan; random scribbling; Coretan awal; coretan acak; coretan-coretan seringkali digabungkan seolah-olah “krayon” tidak pernah lepas dari kertas. Warna-warna coretan dapat dikelompokkan bersama dan menyatu atau terpisah dalam kelompok-kelompok setiap halaman. Coretan dapat satu warna atau beberapa warna.
Tahap 1: Coretan-Coretan Acak. Mulai membuat coretan; random scribbling; Coretan awal; coretan acak; coretan-coretan seringkali digabungkan seolah-olah “krayon” tidak pernah lepas dari kertas. Warna-warna coretan dapat dikelompokkan bersama dan menyatu atau terpisah dalam kelompok-kelompok setiap halaman. Coretan dapat satu warna atau beberapa warna.
Tahap 2: Coretan Terarah. Coretan terarah dimunculkan dalam bentuk garis
lurus ke atas atau mendatar yang diulang-ulang; garis-garis, titik-titik,
bentuk lonjong, atau lingkaran (huruf tiruan) mungkin terlihat tidak berhubungan
dan menyebar secara acak di seluruh permukaan kertas.
Tahap 3: Garis dan Bentuk Khusus diulang-ulang, (Menulis Garis Tiruan)
Diwujudkan melalui bentuk, tanda, dan garis-garis yang terarah; dapat terlihat mengarah dari sisi kiri ke kanan halaman dengan huruf-huruf yang sebenarnya atau titik-titik sepanjang garis; dapat mengarah dari atas ke bawah halaman kertas.
Diwujudkan melalui bentuk, tanda, dan garis-garis yang terarah; dapat terlihat mengarah dari sisi kiri ke kanan halaman dengan huruf-huruf yang sebenarnya atau titik-titik sepanjang garis; dapat mengarah dari atas ke bawah halaman kertas.
Tahap 4: Latihan Huruf-Huruf Acak atau Nama. Huruf-huruf muncul
berulang-ulang diwujudkan dari namanya; beberapa dapat diakui dan yang lainnya
sebagai simbol; dapat mengambang di atas kertas, digambarkan di dalam garis,
ditulis dalam gambar sederhana yang sudah dikenalnya missalnya rumah, saling
berhimpit di atas yang lainnya secara berulang-ulang. Huruf-huruf nama mungkin
saling tertukar , dan/atau ditulis di atas dan dibawah. Latihan nama dapat
menggunakan huruf besar atau yang lainnya kecil, contoh-contoh yang abstrak
atau benar.
Tahap 5: Menulis Nama. Nama mungkin yang pertama, terakhir, atau gabungan
dan tulisan dapat muncul berulang-ulang dalam berbagai warna alat-alat tulis
(spidol,ayon, pensil); nama dapat ditulis di depan atau sebagai cerminan
pikiran, di dalam kotak dengan latar belakang atau bayangan berwarna; nama
dapat ditulis di atas kertas dengan gambar di bawah; rangkaian angka-angka dan
abjad dapat dimasukkan.
Tahap 6: Mencontoh Kata-Kata di Lingkungan. Menulis kata-kata dari
lingkungan secara acak dan diulang-ulang dalam berbagai ukuran, orientasi dan
warna; termasuk nama anggota keluarga lainnya.
Tahap 7: Menemukan Ejaan. Usaha pertama untuk memeriksa dan mengeja
kata-kata dengan menggabungkan huruf yang bermacam-macam untuk mewujudkan
sebuah kata seperti yang digambarkan berikut ini:(1)1Huruf konsonan awal (D
mewakili Dinosaurus). (2) Huruf konsonan awal dan akhir (DS mewakili
DinoSaurus). (3) Huruf konsonan tengah (DNS mewakili DiNoSaurus). (4) Huruf
awal, tengah, konsonan akhir dan huruf hidup dituliskan pada tempatkan.
Tahap 8: Ejaan Umum. Usaha-usaha mandiri untuk memisahkan huruf dan
mencatatnya dengan benar menjadi kata lengkap.
1.3.1
Kesulitan Menulis (Disgrafia)
Gangguan disgrafia mengacu kepada anak
yang mengalamai hambatan dalam menulis, meskipun intelegensianya normal (bahkan
ada yang di atas rata-rata) dan dia tidak mengalami gangguan dalam motorik
maupun visual. Gangguan ini juga bukan diakibatkan oleh masalah ekonomi dan
sosial tetapi merupakan hambatan neurologis dalam kemampuan menulis, yang
meliputi hambatan fisik, seperti: tidak dapat memegang pensil dengan benar atau
tulisannya jelek. Anak dengan gangguan disgrafia mengalami kesulitan dalam
mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya secara otomatis saat
menulis huruf dan angka. Berikut ini ciri-ciri yang bisa dikenali dari
penderita disgrafia.
a. Tidak
konsisten dalam membuat bentuk huruf.
b. Penggunaan
huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
c. Ukuran
dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
d. Kesulitan
dalam mengomunikasikan satu ide, pangetahuan, atau pemahamannya dalam bentuk
tulisan.
e. Sulit
memegang pensil dengan mantap. Biasanya posisi tangan hampir menempel dengan
kertas.
f. Berbicara
kepada diri sendiri ketika sedang menulis atau malah terlalu memperhatikan
tangan yang dipakai untuk menulis
g. Cara
menulis tidak konsisten dan tidak mengikuti alur.
h. Walaupun
hanya diminta menyalin contoh tulisan, anak tetap mengalami kesulitan.
1.3.2
Penanganan disgrafia
Dari delapan ciri disgrafia yang bisa
dikenali, para psikolog sudah menguraikan beberapa tahapan penanggulangan yang
bisa dilakukan.
a. Pahami
keadaan anak
Upayakan
untuk tidak membandingkan anak yang mengalami gangguan ini dengan anak lain
yang normal. Membanding-bandingkannya hanya akan membuat anak merasa stres dan
frustasi.
b. Menyajikan
tulisan cetak
Berikan
kesempatan kepada anak untuk belajar menuangkan ide-idenya dengan menggunakan
media komputer. Penggunaan komputer memungkinakan anak bisa memanfaatkan sarana
korektor ejaan agar dia mengetahui kesalahannya secara langsung.
c. Bangun
rasa percaya diri anak
Berilah
pujian pada saat yang tepat dan wajar pada setiap usaha yang dilakukan anak.
Selain itu, jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan hal-hal yang sedang
dilakukan anak karena itu akan membuatnya merasa rendah diri dan frustasi. Jika
ini yang terjadi, akan terjadi kontradiksi dengan upaya penanggulangan
hambatannya dan ini akan sulit kembali membangun rasa percaya diri anak.
d. Latih
anak terus menulis
Upayakan setiap
peristwa menjadi saat-saat latihan bagi anak untuk menulis. Berikan tugas-tugas
yang menarik, seperti: menulis surat untuk teman, untuk orang tua, menulis
dalam selembar kartu pos, dan yang sejenisnya. Upaya-upaya ini akan
meningkatkan kemampuan menulis anak disgrafia dan membantunya menunangkan
konsep abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk tulisan nyata.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Asas-asas yang
berpengaruh dalam keterampilan membaca dan menulis:
a.
Motivasi
b.
Minat
c.
Kematangan
sosiol dan emosi serta penyesuaian diri
d.
Neurologis
3.2 Tahap-tahap pengajaran
keterampilan membaca yang sesuai dengan asas psikologis:
Tahap
0, dimulai dari masa
sebelum anak masuk kelas pertama, anak-anak harus menguasai prasyarat membaca,
yakni belajar membedakan huruf dalam alphabet
Tahap1, mencakup tahun
pertama di kelas satu. Anak belajar kecakapan merekam fonologi, yaitu
keterampilan yang digunakan untuk menerjemahkan simbol-simbol ke dalam suara
dan kata-kata.
Perubahan
dari “learning to read” menuju “reading to learn” dimulai
dalam tahap 3, dimulai dari kelas 4 sampai kelas 8.
tahap
4, dimulai pada saat
sekolah tinggi, direfleksikan dengan kemampuan baca yang sangat fasih.
3.3
Tahap-tahap pengajaran keterampilan menulis yang
sesuai dengan asas psikologis:
Tahap
1: Coretan-Coretan Acak.
Tahap
2: Coretan Terarah.
Tahap
3: Garis dan Bentuk Khusus diulang-ulang, (Menulis Garis Tiruan)
Tahap
4: Latihan Huruf-Huruf Acak atau Nama.
Tahap
5: Menulis Nama.
Tahap
6: Mencontoh Kata-Kata di Lingkungan.
Tahap
7: Menemukan Ejaan.
Tahap
8: Ejaan Umum.
0 comments:
Post a Comment