BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Akhir-akhir ini selaras
dengan terjadinya proses sekularisasi dan dehumanisasi akibat modernisasi,
muncul tuntutan agar kedua pendekatan studi islam dan sains tidak di kotomikan
dalam mengkaji islam, tetapi di integrasikan atau di interkoneksikan. Pada
prinsipnya, sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, islam memang tidak mengenal
dikotomi antara agama dan ilmu (sains), jasmani dan rohani, rasio dan empiris,
dunia dan akhirat.
Gagasan tentang
integrasi ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum bukan merupakan
fenomena baru dalam khazanah epistemologi keilmuan islam.Pada asanya, islam
memang tidak mendikhotomi antara ilmu agam dan ilmu umum. Pada era golden age
(masa keemasan) islam periode Abbasiyah, kedua ilmu pengetahuan ini tetap
terintegrasi hingga kemudian di buyarkan oleh redupnya dinamika peradaban islam
menyusul terjadinya spesialisasi ilmu pengetahuan modern yang bersembnyi di
balik politik kolonialisasi dan imperialisasi dunia islam.
Pada era modern
islam pasca kolonial hingga sekarang, gagasan ilmu pengetahuan yang integratif
bergaung kembali dalam berbagai konsep, semisal islamisasi ilmu pengetahuan,
saintifikasi Al-Qur’an, objektifikasi ajaran islam, dll. Keseluruhan konsep
ini, grand theme sebenarnya menghendaki atau mengidealkan ilmu pengetahuan
islam tidak sekedar menjadi media dakwah, tapi di kembalikan kepada
koetentikanya sebagai sistem ilmu pengetahuan yang memiliki fungsi
transformatif dan responsif terhadap isu-isu modern sejalan dengan tuntutan
kebutuhan aktual masyarakat.
Bukan masanya
sekarang disiplin ilmu–ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan
intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya.
Perlu ada integrasi–interkoneksi antara elemen-elemen pengetahuan tersebut. M. Amin
Abdullah seorang cendekia muslim menjadi tokoh yang berjasa dalam
pengembangan gagasan integrasi–interkoneksi ini, sehingga berimplikasi dalam
banyak hal,perubahan konsep IAIN menjadi UIN diantaranya.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulis kemudian merumuskan masalah sebagai
berikut:
- Apa yang menjadi landasan terciptanya integrasi-interkoneksi?
- Apa pengertian studi islam integrasi-interkoneksi?
- Kenapa studi islam di integrasi-interkoneksikan?
- Bagaimana model integrasi-interkoneksi?
- Siapakah M. Amin Abdullah itu?
- Tujuan Penelitian
- Untuk mengetahui landasan diciptakannya integrasi-interkoneksi
- Untuk mengetahui pengetian studi islam integrasi-interkoneksi
- Untuk mengetahui alasan studi islam di integrasi-interkoneksi
- Untuk mengetahui model-model integrasi-interkoneksi
- Untuk mengetahui profil singkat M. Amin Abdullah dan corak pemikirannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Integrasi-Interkoneksi
Hal-hal yang melandasi integrasi-interkoneksi antar ilmu agama dan sains M.Amin Abdullah adalah sebagai
berikut:
1.
Landasan
Normatif-Teologis,
Landasan
normatif-teologis secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu cara memahami
sesuatu dengan menggunakan ajaran yang diyakini berasal dari Tuhan (Allah SWT)
sebagaimana terdapat di dalam wahyu yang diturunkan-Nya. Kebenaran
normatif teologis bersifat mutlak karena sumbernya berasal dari Tuhan (Allah
SWT). Landasan
ini akan memperkokoh bangunan keilmuan ilmu-ilmu umum (sains-teknologi dan sosial-humaniora). [1]
Al-Qur’an tidak membedakan antara
ilmu-ilmu agama (islam) dan ilmu-ilmu umum (sains-teknologi dan sosialhumaniora). Ilmu-ilmu agama (islam) dan ilmu-ilmu umum
(sains-teknologi dan sosialhumaniora) tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan Allah SWT berfirman di dalam surat Al- Qashash
ayat ke-77, yang artinya “Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri akherat, dan janganlah
kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa
kita tidak boleh memisahkan antara kepentingan kehidupan akherat
(ilmu-ilmu agama) dan kepentingan kehidupan di dunia (ilmu-ilmu umum). Firman Allah dalam al-qur’an surat Al- Qashash ayat
ke-77 di atas didukung oleh sabda rasulullah SAW yang artinya “bekerjalah
kamu untuk duniamu seolaholah kamu akan hidup selamanya dan dan
bekerjalah untuk akheratmu seolaholah kamu akan meninggal esok hari
(HR Ibnu Asakir)
Al-Qur’an selain
berisi ayat-ayat tentang ilmu ilmu agama juga berisi ayat-ayat tentang ilmu
umum temasuk konsep-konsep dalam matematika, sebagai contoh Q.S. 35:1,
37:147,18:25, 29:14, dan lain lain. Al-qur’an juga memuat tentang metode
pengembangan ilmu pengetahuan termasuk ilmu matematika, sebagai contoh Q.S.
2:31 (definisi) dan Q.S. 6: 74-79 (riset). Selanjutnya
mengenai perintah untuk melakukan penelitian (suatu kegiatan yang penting di dalam
pengembangan sains), secara umum dapat dilihat antara lain dalam firman-Nya
pada surat Yunus, ayat ke-101 “Katakanlah Muhammad: lakukanlah nadzor
(penelitian dengan menggunakan metode ilmiah) mengenai apa-apa yang ada di
langit dan bumi.
Perintah lebih khusus terdapat
dalam surat al-Ghosiyah, ayat ke-17–20 yang artinya: “Apakah mereka tidak
memperhatikan onta, bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana
ia ditinggikan. Dan gunung, bagaimana ia ditancapkan. Dan bumi bagaimana ia
dihamparkan”. Ayat-ayat tersebut
merupakan ayat-ayat metode ilmiah, yang memerintahkan kepada umat manusia untuk
selalu meneliti. Kegiatan
penelitian yang mencakup pengamatan, pengukuran, dan analisa data telah membawa
perubahan besar dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk ilmu
matematika. “niscaya Allah akan meninggikan orangorang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu amalkan”. (Q.S. Al
Mujadilah : 11)[2]
2.
Landasan
Historis,
Perkembangan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan
didominasi oleh ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu umum termasuk
ilmu matematika kurang berkembang karena tekanan dari ilmu-ilmu agama. Pada masa ini hubungan
antara ilmu ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum tidak harmonis.
Pada abad modern, tekanan dari
ilmu-ilmu agama mulai berkurang bahkan hamper tidak ada. Berkurangnya/hilangnya
tekanan ilmu-ilmu agama, menyebabkan berkembangnya ilmu-ilmu umum secara pesat.
Tidak adanya sentuhan
agama pada ilmu-ilmu umum, mengakibatkan ilmu-ilmu umum berkembang dengan
mengabaikan norma-norma
agama dan etika kemanusiaan.
Belajar dari
perkembangan keilmuan di atas, pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu
agama maupun ilmu-ilmu umum termasuk ilmu matematika harus berjalan beriringan,
tidak boleh satu disiplin ilmu mendominasi disiplin ilmu yang lain. Dengan
memadukan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, tujuan akhir dari ilmu
pengetahuan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan menjaga
kelestarian alam dapat tercapai
3.
Landasan
Filosofis
Secara ontologis, obyek studi
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum termasuk ilmu matematika, memang
dapat dibedakan. Ilmu-ilmu agama mempunyai obyek wahyu, sedangkan ilmu-ilmu
umum mempunyai obyek alam semesta beserta isinya. Tetapi kedua obyek tersebut sama-sama berasal dari Tuhan (Allah SWT),
sehingga pada hakekatnya antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum termasuk
ilmu matematika, ada kaitan satu dengan yang lain.
Secara epistemologis,
ilmu-ilmu agama (islam) dibangun dengan pendekatan normatif, sedangkan
ilmu-ilmu umum dibangun dengan pendekatan empiris. Tetapi, wahyu yang bersifat
benar mutlak itu sesuai dengan fakta empiris. Dengan
demikian baik pendekatan normatif maupun pendekatan empirik, kedua-duanya
digunakan dalam membangun ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum.[3]
Secara aksiologis,
ilmu-ilmu umum bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup di dunia,
sedangkan ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan umat
manusia di dunia dan akhirat. Sehingga ilmu-ilmu umum termasuk ilmu matematika
perlu diberi sentuhan ilmu-ilmu agama sehingga tidak hanya kebahagiaan dunia
yang diperoleh tetapi juga kebahagiaan di akhirat.
4.
Landasan
kultural
Keberadaan kampus islam di Indonesia, dalam hal ini UIN, berbeda
dengan kebudayaan Arab tempat Islam diturunkan dan kebudayaan Barat tempat
berkembangnya ilmu pengetahuan. Proses
pendidikan tidak boleh
mengabaikan budaya lokal, baik dalam menerjemahkan Islam maupun pengembangkan
ilmu pengetahuan.
Jika UIN hanya
mengembangkan tafsir nilai-nilai keislaman berdasarkan qur’an dan Hadist
(hadlarah al-Nash) dan ilmu pengetahuan (hadlarah al-’Ilm) maka
UIN tidak menghasilkan sarjana yang menghasilkan kontribusi nyata kepada
masyarakat Indonesia. Sehingga diperlukan
mendialogkan kedua hadlarah di atas dengan hadlarah falsafah yang
konsen dengan aspek praktis kontekstual dalam kultur lokal masyarakat[4]
5.
Landasan
Psikologis
Paradigma integrasi-interkoneksi
yang ditawarkan UIN dimaksudkan untuk membaca dan memahami kehidupan manusia
yang kompleks secara padu dan holistik.Hal ini akan terwujud dengan menyiapkan
dan mencetak mahasiswa menjadi sosok pribadi muslim yang utuh.
Potensi dari Allah aspek
psikologis yang harus dicapai Hadlarah al-Nash hati Iman / Aqidah yang
kuat Hadlarah al-’Ilm akal Ilmu / wawasan yang luas, Hadlarah
al-Falsafah Jasad / badan Amal / kinerja yang produktif. Sosok mahasiswa
yang diharapkan yaitu memiliki iman dan aqidah yang kuat, tertanam menghunjam
dalam hati yang kokoh. Memiliki
ilmu pengetahuan yang luas, tidak hanya keilmuan di bidangnya saja. Memiliki amal dan
kenerja yang produktif, memberi kemanfaatan kepada lingkungan masyarakatnya[5]
Pertentangan ketiga ranah/domain
tersebut dalam diri seseorang dapat menimbulkan keterpecahan kepribadian (personality
disorder / split personality) Terjadi konflik antara
yang diyakini dengan yang dipikirkan juga dengan yang dihadapi dalam realitas
kehidupan “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu
yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (Ash-Shof : 2-3)
B. Pengertian Studi Islam
Integrasi-Interkoneksi
Studi islam
integrasi-interkoneksi adalah kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, baik objek
bahasan maupun orientasi metodologinya dan mengkaji salah satu bidang keilmuan
dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya serta melihat kesaling-terkaitan
antar berbagai disiplin ilmu tersebut.[6]
Jika di telusuri lebih jauh,gagasan
tentang integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum ini sebenarnya tidak lepas
dari rangkaian panjang pergulatan aktualisasi diri umat islam terhadap proses modernisasi dunia yang
tengah berlangsung dalam skala global. Islam dan tantangan miodernitas
merupakan tema paling menonjol dalam agenda pembaharuan pemikiran islam yang di
dengungkan oleh para mujaddid islam sepanjang sejarah.
Kekuatan tema ini terutama
berkaitan erat dengan realitas kemunduran dan keterbelakangan umat islam dalam
berbagai aspek kehidupan vis a vis kemajuan dunia barat.Salah satu fokus
garapan para pembaharu dalam proses modernisasi islam adalah bidang pendidikan. Bidang pendidikan ini di pandang sebagai
sektor paling terbelakang yang menghambat laju percepatan modernisasi di dunia
islam,akibat pola pikir umat yang terkondisikan oleh anggapan bahwa antara
agama yang bersumber dari wahyu dan sains yang bersumber dari hasil pikiran
manusia merupakan dua entitas berbeda yang tidak berkaitan satu sama lain.
Akibat pemahaman
terbelah ini, karakter pendidikan islam yang semula tidak memisahkan antara
kebutuhan terhadap agama dengan ilmu, iman dengan amal, serta dunia dengan
akhirat lalu kemudian mengalami kemujudan yang berdampak pada penjajahan dunia islam atas
supremasi barat.
Horizon
Jaring
Laba-Laba Keilmuan
Teoantroposentrik-Integralistik
dalam
Universitas Islam Negeri[7]
Sebagai
contohnya,dalam konsep integrasi-interkoneksi yang di kembangkan oleh UIN, secara
detail di ungkap bahwa dalam kasus UIN yang nota-bene merupakan lembaga
pendidikan islam variabel multi-dimensi keilmuannya tidak hanya beurusan dengan
realitas hidup dan realitas manusia sebagaimana dalam ilmu-ilmu “umum”, namun
juga menyangkut realitas teks sebagaimana khas ilmu-ilmu agama atau lebih tepatnya
“ilmu-ilmu keislaman”.
Dengan menimbang
variabel-variabel ini, maka ideal integrasi-interkoneksi yang di gagas oleh UIN
mensyaratkan dialektika antara variabel-variabel tersebut dalam praksis
integrasi-interkoneksi. Brand yang diusung oleh UIN untuk menyebut dialektika
ini adalah Hadarat al-Nash, Hadarat al-‘ilm dan Hadarat al-falsafah. Hadarat
al-Nash berarti kesediaan untuk menimbang kandungan isi teks keagamaan sebagai
wujud komitmen keagamaan/keislaman. Hadarat al-‘ilm berarti kesediaan untuk
profesional, objektif, inovatif dalam bidang keilmuan yang di geluti; dan
akhirnya Hadarat al-falsafah berarti kesediaan untuk mengkaitkan muatan
keilmuan dengan tanggung jawab moral etik dalam praksis kehidupan riil di
tengah masyarakat.
Maka kesimpulannya
adalah Hadarat al-Nash adalah jaminan identitas keislaman, Hadarat al-‘ilm
adalah jaminan profesionalitas-ilmiah, dan Hadarat al-falsafah adalah jaminan
bahwa muatan keilmuan yang di kembangkan bukan “menara gading”yang berhenti di
“langit akademik”, tetapi memberi kontribusi positif-emansipatif yang nyata
dalam kehidupan masyarakat.
C. Kenapa Studi Islam Di
Integrasi-Interkoneksikan
Dalam diskursus
ilmu pengetahuan modern, bidang-bidang terpisah secara tegas dan jelas. Biologi,
Fisika, Psikologi, Geografi dan lain sebagainya, merupakan contoh bidang-bidang
yang di maksud. Setiap bidang mewakili dimensi kehidupan tertentu dan para
ilmuan dari masing-masing bidang ‘hanya’ fokus pada bidang yang di gelutinya. Dengan
kata lain, para ilmuan ini mereduksi realitas hanya sebatas bidang yang menjadi
lahannya. Hal ini sebenarnya bukan permasalahan besar, karena kenyataannya
realitas hidup memang multi-dimensi dan multi-aspek. Kiranya mustahil bagi
seseorang untuk mampu menguasai seluruh bidang keilmuan tersebut secara sama
mendalam.
Meskipun sebenarnya
kenyataan spesialisasi dan reduksi ini dapat di katakan sifatnya niscaya karna
keterbatasan manusiawi, namun dampak negatif dari kenyataan ini ternyata tidak
terlalu menyenangkan. Dikotomi ilmu agama-ilmu umum, hegemoni bidang ilmu
tertentu terhadap bidang lainnya, superior-inferior feeling dari masing-masing
bidang ilmu, hirarki ilmu utama-ilmu komplementer, adalah akibat-akibat laten
yang harus di tanggung dari kenyataan spesialisasi di atas. Lebih jauh ternyata
dampak ini kemudian merambah ke dunia sosial, dunia pendidikan, dunia politik,
dan lain lain, sehingga tidak jarang muncul konflik di ranah sosial maupun
politik akibat adanya ekslusifisme dari masing-masing bidang ilmu.
Pada akhirnya
secara psikologis banyak orang yang mengalami kegelisahan luar biasa karena
antara dunia yang dia alami, yang multi-dimensi, dengan keilmuan yang dia
hayati, yang hanya satu dimensi dan yang satu-satunya dia pahami, ternyata
tidak sejalan. Orang yang menghayati ilmu fiqih saja pasti gelisah ketika
berhadapan dengan kenyataan sosial yang berbeda dengan isi ilmunya.Orang yang
menghayati ilmu ekonomi saja pasti gelisah karena berhadapan dengan “logika
zakat dan sedekah” ala fiqih. Orang yang menghayati ilmu geografi saja pasti
gelisah ketika berhadapan dengan adanya ruang baru yang di sebut dengan “dunia
virtual” atau “dunia maya”.
Paradigma
integrasi-interkoneksi hakekatnya ingin menunjukkan bahwa antara berbagai
bidang keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang
yang di bidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam
semesta yang sama, hanya saja dimensi dan fokus perhatian yang di lihat oleh
masing-masing disiplin berbeda. Oleh karena itu, rasa superior, ekslusifitas,
pemilihan secara dikotomis merhadap bidang-bidang keilmuan yang di maksud hanya
akan merugikan diri sendiri, baik secara psikologis maupun secara
ilmiah-akademis. Betapapun setiap orang ingin memiliki pemahaman yang lebih
utuh dan komprehensif, bukannya pemahaman yang parsial dan reduktif. Maka
dengan menimbang asumsi ini seorang ilmuan perlu memilikivisi integrasi-interkoneksi.
D. Model Integrasi-Interkoneksi
Model-model
integrasi-interkoneksi Amin Abdullah,[8]
yaitu:
1.
Informatif
, Suatu disiplin ilmu
memberikan informasi kepada disiplin ilmu yang lain. Misalnya: Ilmu
Islam (Al-qur’an) memberikan informasi kepada ilmu saintek bahwa matahari
memancarkan cahaya sedangkan bulan memantulkan cahaya (Q.S. Yunus: 5)
2.
Konfirmatif (klarifikatif), Suatu disiplin ilmu memberikan penegasan kepada
disiplin ilmu lain. Contoh: Informasi tentang tempat-tempat (manaazil)
matahari dan bumi dalam Q.S. Yunus: 5, dipertegas oleh ilmu saintek (orbit
bulan mengelilingi matahari berbentuk elips).
3.
Korektif
, Suatu disiplin ilmu mengoreksi disiplin ilmu yang lain. Contoh: Teori Darwin yang mengatakan bahwa manusia-kera-tupai
mempunyai satu induk, dikoreksi oleh Al-qur’an.
1. Paralelisasi: menyamakan konotasi dari
ilmu-ilmu yang berbeda
2. Similarisasi: menyamakan teori-teori dari
ilmu-ilmu
3. Komplementasi: Saling mengisi dan saling
memperkuat
4. Komparasi: membandingkan konsep teori
diantara ilmu-ilmu
5. Induktifikasi: mendukung teori ilmu
dengan instrumen dari ilmu lain
Skema tiga lingkaran
terkait ini merupakan proyek keilmuan yang didengungkan oleh visi dan misi
perubahan IAIN ke UIN. Perubahan IAIN menjadi universitas Islam merupakan
langkah positif dalam rangka pengembangan jangkauan wilayah studi keislaman.
Hal ini berarti jangkauan ilmu-ilmu Islam menjadi semakin luas. Skema di atas
menunjukkan bahwa masing-masing bangunan sektor keilmuan menyadari akan
kekurangan-kekurangan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya
bersedia untuk berdialog, bekerjasama dan memanfaatkan metode dan pendekatan
yang digunakan oleh gugusan ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan
yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu
dan lainnya. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari
waktu ke waktu dengan kesediaan mengorbankan kepentingan egoisme sektoral
keilmuan sehingga yang terlihat adalah mengedepankan kebersamaan dalam ilmu
pengetahuan.[10]
Bangunan keilmuan
yang selalu terkait selaras dan sejajar tersebut menjadi icon percontohan
aplikasi keilmuannya yakni di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang saat itu
dipimpin oleh tokoh pencetus ide interkonesi
dan integrasi. Jika dibandingkan dengan bangunan keilmuan yang berkembang di
UIN Jakarta melalui figur sentral Harun Nasution, kajian Islam di IAIN masih
terbatas hanya pada pengajaran agama yang fiqh oriented. Disamping itu
pengajaran agama baik filsafat, tasawuf maupun sejarah terbatas pada pemikiran
tokoh-tokoh tertentu saja. Pemahaman Islam yang demikian itu parsial dan hanya
melihat Islam secara sempit saja. Oleh karena itu ia mengusulkan untuk membuat
suatu pedoman inti yang melihat Islam secara komprehensif. Gagasan tersebut
untuk pengenalan Islam secara komprehensif, dengan melihat Islam dari berbagai
aspeknya diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional untuk pengajaran Islam.
Pemikiran Harun saat itu dianggap tidak lazim dan pada awal mulanya menjadi
kontroversi. Bagi sebagian kalangan utamanya mereka yang terdidik dalam pola
fikir tradisional, pandangan-pandangan Harun Nasution dianggap tidak
bersesuaian dengan pola pemikirn tradisional dan ini terjadi karena dipengaruhi
oleh konsep-konsep Barat.[11]
Sebenarnya, ilmu
merupakan media dalam kehidupan untuk membimbing manusia menuju ke jalan tugas
utamanya, oleh karena itu haruslah secara keseluruhan dipelajari dan diajarkan
dalam rangka menggapai kesuksesannya. Segala keilmuan menurut paradigma ini
harus terintegrasi dalam proses tugas kemanusiaan dalam hidup sebagai khalifah
maupun sebagai hamba Allah yang mencakup pengenalan area keilmuan, penekanan
terhadap pemahaman potensi-potensi manusia yang dimiliki dan aplikasi
dinamisnya, konsentrasi dalam perencanaan serta evaluasi hasil, adanya makna
dalam aktivitasnya serta adanya pengaturan hubungan positif dengan semua pihak
yang memiliki keterkaitan dengan pelaksaan tugas tersebut.[12]
Pada
akhirnya, paradigma interkonektif-integratif dalam idealitas dan realitasnya
diharapkan mampu membentuk pola pikir komunikatif-efektif yang dapat mencairkan
pola pikir dikotomis dan memberikan suasana yang penuh damai antar disiplin
keilmuan
E. Sekilas M. Amin Abdullah
Amin Abdullah lahir
di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Lulus dari SD Negeri
Margomulyo pada tahun 1966, Amin Abdullah, kemudian melanjutkan studinya di
Kulliyat al-Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor, Ponorogo (lulus
pada tahun 1972), dan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut
Pendidikan Darussalam (IPD) (lulus pada tahun 1977).[13]
Selepas pendidikan di Gontor, Amin Abdullah melanjutkan pendidikanya ke
Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(lulus tahun 1982) dan kemudian, dengan beasiswa Departemen Agama dan
Pemerintah Republik Turki, dia bersekolah melanjutkan program doktor dalam bidang
Filsafat Islam, di Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences,
Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1985-1990) dan
kemudian, pada tahun 1997-1998, dia mengikuti Program Post-Doctoral di McGill
University, Kanada
Amin Abdullah
adalah sosok pemikir yang produktif. Disertasinya yang berjudul The Idea of
University of Ethical Norms in Ghazali and Kant diterbitkan di Turki (Ankara:
Turkiye Diyanet Vakfi, 1992).[14]
Karya-karya ilmiah lainnya yang diterbitkan, antara lain Falsafah Kalam di Era
Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Dinamika Islam Kultural:
Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000), Antara
al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), serta
Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius (Jakarta: PSAP Muhammadiyah,
2005). Sedangkan karya terjemahan yang diterbitkan adalah Agama dan Akal
Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali,
1985), Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989).
Selain publikasi,
kompetensi akademik Amin Abdullah juga tampak dalam aktifitas akademik yang dia
ikuti, seperti Seminar internasional yang diikuti, antara lain: “Kependudukan
dalam Dunia Islam”, Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992,
tentang “Dakwah Islamiyah”, Pemerintah Republik Turki, Oktober 1993; Lokakarya
Program Majelis Agama ASEAN (MABIM), Pemerintah Malaysia, di Langkawi, Januari
1994; “Islam and 21st Century”, Universitas Leiden, Belanda, Juni 1996;
“Qur’anic Exegesis in the Eve of 21st Century”, Universitas Leiden, Juni 1998,
”Islam and Civil Society: Messages from Southeast Asia“, Tokyo Jepang, 1999;
“al-Ta’ri>h} al- Islami>y wa Azamah al-huwaiyah”, Tripoli, Libia, 2000;
“International anti-corruption conference”, Seol, Korea Selatan, 2003; Seminar
“New Horizon in Islamic Thought”, London, Agustus, 2003; “Gender issues in
Islam”Kuala Lumpur, Malaysia, 2003; “Dakwah and Dissemination of Islamic
Religious Authority in Contemporarry Indonesia”, Leiden, Belanda, 2003.
“Interfeith Dialogue: Conflict and Peace,” The Luthern World Federation (LWF)
Kopenhagen Denmark, Oktober 2003; “New Direction of Islamic Thought and
Practice: Equality and Plurality”, Yogyakarta, Indonesia, Juni 2004; “Religious
Harmony: Problems, Practice and Education”, Yogyakarta, Indonesia, Oktober
2004; “The Idea (L) of an Indonesian Islamic University: Contemprary
Perspectives”, Yogyakarta, Indonesia, 9-11 Desember 2004; “University Teaching
of Islamic Studies at the International Level: Concept, Policy and Trends”,
Songkla, Southern Thailand, 19-20 Maret 2005;”International
Rudolf-Otto-Symposion”, Philipps Universitat Marburg, Jerman, 8-10 Mei 2005. [15]
Ketika kuliah di
Turki, Amin Abdullah menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia
(PPI), Turki, 1986-1987. Pada masa liburan musim panas, dia pernah bekerja
part-time pada Konsulat JenderalRepublik Indonesia, Sekretariat Badan Urusan
Haji, di Jeddah (1985 dan 1990), Mekkah (1998), dan Madinah (1989), Arab Saudi.
Tahun 1993-1996, dia menjabat Asisten Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga; 1992-1995 menjabat Wakil Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan
Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Tahun 1998-2001 sebagai
Pembantu Rektor I (Bidang Akademik) IAIN Sunan Kalijaga dan pada Januari 1999
mendapat kehormatan menjadi Guru Besar dalam Ilmu Filsafat dari IAIN Sunan
Kalijaga. Dari tahun, Amin Abdullah 2002-2005 sebagai Rektor IAIN/UIN Sunan
Kalijaga.Tahun 2005-2010 sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk
Periode kedua.
Sementara itu, dalam organisasi
kemasyarakatan, dia menjadi Ketua Divisi Ummat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa
Yogyakarta, 1991-1995. Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh 1995,
diberi amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam,
Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000). Kemudian terpilih sebagai salah satu
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Wakil Ketua (2000-2005). Kini, disamping sebagai
mengajar di beberapa universitas, seperti di Fakultas Ushuluddin dan Program
Doktor Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, IAIN Sunan Ampel
Surabaya, Universitas Islam Indonesia, Universitas Gajah Mada, Amin Abdullah
juga menjabat sebagai staf ahli Menteri Agama Republik Indonesia (2011-).[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Paradigma baru yang dibangun oleh Amin Abdullah dengan
integratif-interkonektif ini memang sangat relevan dengan kebutuhan zaman saat
ini. Koneksitas ini diharapkan mampu menjawab kebuntuan dalam keilmuan islam
dan lebih jauh lagi dapat menjawab kompleksitas problem kemanusiaan di era
globalisasi. Namun paradigma ini tidak mudah untuk diaplikasikan, hal ini bisa
dilihat ketika paradigma ini coba diterapkan dalam pengembangan perguruan
tinggi agama yang mengejawantah dengan perubahan IAIN
menjadi UIN ternyata banyak menimbulkan kerancuan terutama bagi program-program
studi yang muncul kemudian, dan hal ini menurut harus segera dicarikan solusi,
sehingga tujuan ideal dari integrasi dan interkoneksi ini dapat terwujud.
Perubahan IAIN ke UIN mengisyaratkan akan adanya keilmuan
yang mmpertimbangkan dari aspek lain dan tidak hanya memandang teks saja yang
tidak berhubungan dua wajah keilmuan lain. Dalam konteks ini, paradigma
keilmuan UIN memandang bahwa antara ilmu-ilmu qauliyyah/hadarah al-nash dengan
ilmu-ilmu kauniyyah-ijtia’iayyah/hadarah al-‘ilm, maupun dengan hadarah
al-falsafah berintegrasi dan berinterkoneksi satu sama lain.
Dengan demikian, perlunya mengubah paradigma (shifting
paradigm) dan pandangan dunia (world view) tentang realitas alam dari
pendekatan tunggalnya yang bersifat empiris dan materialistis yang mengabaikan
nilai etika dan agama, menjadi pandang yang bersifat kualitatif, berdasarkan
nilai (value-based), holistik, dan integralistik.Konsepsi baru ini sekaligus
sebagai penyempurnaan dalam proses retafikasi dan verifikasi suatu realitas
alam sebagai bagian dari metode ilmiah.Dan pembaca secara hermeneutik terhadap
realitas qauliyah dan kauniyah akan sangat membantu dalam mengekplorasi
nilai-nilai yang terkandung secara kontekstual pada keduanya. Pembaca inilah
“yang mungkin” di maksud dengan kandungan makna perintah IQRA’.
Semoga uraian rintisan ini memberikan rangsangan untuk
mengembangkan berbagai disiplin keilmuan yang telah ada maupun yang akan di
buka di UIN kelak, sebagai upaya pencarian (discovery) dan tanggung jawab islam
terhadap pengembangan ilmu-ilmu.
[2]
Abdurrahman,Muhammad ‘Imaduddin dan Mukjizat Al-Qur’an
dan As-Sunnah Tentang IPTEK.Jakarta: GIP,1997
[3]
M. Amin Abdullah dkk, Integrasi
Sains-Islam Mempertemukan Epistimologi Islam dan Sains. 2004. (Yogyakarta: Pilar
Religia).hlm 11
[4] Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga,2004
[7] M.
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Paradigma
Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) hlm 107
[10] M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi…,
hlm. 405
[11] Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi
Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 42-43
[12] Machasin, Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman: Sebuah Catatan
Kecil, Makalah Lokakarya Penyusunan Desain Keilmuan Integratif di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 9 Mei 2004, hlm. 372
[13] M. Amin
Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multi Religius (Jakaarta:
PSAP Muhammadiyah, 2005), hlm. 191.
[14] M. Amin
Abdullah, dkk., Seri Kumpulan Pidato Guru Besar: Rekonstruksi Metodologi
Ilmu –ilmu keislaman (Yogyakarta: SUKA Press, 2003), hlm. 363.
[15] Suharyanta
& Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif. Jurnal Mukaddimah,
Vol. 18, No. 1, 2012
boleh minta naskah makalahnya ? saya dosen uin malang trmksh
ReplyDeleteSilahkan ambil copy saja pak .. saya di luar kota. Itu tugas kuliah saat di UIN Malang dulu,
ReplyDeleteTaufiqurrohman
izin minta jaring laba-laba buat referensikarya ilmiah
ReplyDelete