BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Sejarah Bani Umayyah mengalami banyak distorsi yang
dilakukan oleh pemerintahan Bani Abbas, musuh politik Bani Umayyah, dimana
sejarah Islam mulai ditulis sejak masa pemerintahan mereka. Distorsi ini juga
dilakukan oleh kalangan Syiah dan Khawarij, musuh tradisional mereka. Juga dari
kalangan awam yang yang menceritakan sejarah melalui cara oral. Sehingga
pemerintah Bani Umayyah harus mengalami banyak tuduhan dan tudingan dalam
berbagai bentuknya.[1]
Hal tersebut mengakibatkan literatur sejarah lebih banyak
memfokuskan pandangannya pada kelemahan sisi manusiawi diantara pimpinan
mereka. Pandangan negatif tentang Utsman bin Affan, Abu Sufyan, dan Muawiyyah
lebih banyak terekspos dibanding jasa-jasanya. Tragedi yang terjadi pada masa
itupun lebih ditonjolkan, seperti tragedi meninggalnya Husein di Karbala dan
peristiwa Hurah dihalalkannya kehormatan Madinah Al-Munawwaroh.
Disisi yang lain Nabi Muhammad SAW telah bersabda: “Manusia terbaik adalah
manusia yang berada pada masaku, kemudian generasi setelah mereka, lalu
generasi setelah mereka” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Bin Majah dan Ahmad bin
Hanbal). Sedangkan masa Bani Umayyah memimpin adalah masa yang sangat dekat
dengan masa Khulafaur Rasyidin.
Maka dari paparan di atas, perlu kiranya
penulis menggambarkan perihal kebijakan dan prestasi yang telah
dicapai selama kekuasaan Bani Umayah secara
objektif.
- RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulis kemudian merumuskan masalah sebagai
berikut:
- Apa saja kebijakan-kebijakan penting yang diambil para Khalifah Bani Umayah?
- Apa saja prestasi-prestasi yang dicapai di masa Daulah Bani Umayyah?
- TUJUAN PENELITIAN
- Apa saja kebijakan-kebijakan penting yang diambil para Khalifah Bani Umayah
- Untuk mengetahui prestasi-prestasi yang dicapai di masa Daulah Bani Umayyah
Tonton juga video karya siswa kami, lagu Aisyah istri Rasulullah versi Arab
BAB II
PEMBAHASAN
- SEKILAS BANI UMAYYAH
Nama ”Bani Umayah” berasal dari nama ” Umayah bin Abdi Syam bin Abdi Manaf”,
yaitu salah seorang dari pemimpin Qurays di zaman Jahiliyah.[2] Bani Umayah merupakan keturunan Umayah,
yang masih memiliki ikatan famili dengan para pendahulu Nabi. Naiknya bani
Umayah ke puncak kekuasaan, dimulai oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, salah
seorang keturunan bani umayah dan salah seorang sahabat Nabi, dan ia menjadi
bagian penting dalam setiap masa pemerintahan para khulafaur-rasyidun.[3]
Awal pendirian Daulah
ini berawal dari masalah tahkim yang menyebabkan perpecahan di kalangan
pengikut Ali, yang berakhir dengan kematiannya. Sepeninggal Ali itu sebenarnya
masyarakat secara beramai-ramai membaiat Hasan, putra Ali, menjadi khalifah.
Tetapi Hasan kurang berminat untuk menjadi khalifah. Karena itu setelah Hasan
berkuasa beberapa bulan, dan Mu’awiyah meminta agar jabatan khalifah diberikan
kepadanya, Hasan dengan memberikan beberapa persyaratan, dengan rela jabatan
itu dilimpahkan kepada Mu’awiyah. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah
amul jama’ah, atau tahun persatuan umat islam.[4]
Peristiwa
Amul Jama’ah yang terjadi pada tanggal 25 Rabiul Awwal 41 H/661 M, menjadi
hitungan awal berdirinya Daulah Bani Umayyah. Sedangkan akhir Daulah ini
ditandai dengan kekalahan khalifah Marwan bin Muhammad di Perang Zab pada bulan
Jumadil Ula tahun 132 H/749 M.[5]
Dengan demikian, Daulah Bani
Umayyah ini berlangsung selama 91 tahun. Pemerintah ini dikuasai oleh dua
keluarga dan diperintah oleh 14 orang Khalifah. Dua keluarga tersebut adalah
keluarga Abu Sufyan dan keluarga Bani Marwan.[6]
PARA KHALIFAH DINASTI UMAYAH[7]
NO
|
NAMA
|
MASA BERKUASA
|
1
|
Mu’awiyah I bin Abi
Sufyan
|
41 -60 H/661-679 M
|
2
|
Yazid I bin Mu’awiyah
|
60-64 H/679-683 M
|
3
|
Mua’wiyah II bin Yazid
|
64 H/683 M
|
4
|
Marwan I bin Hakam
|
64-65 H/683-684 M
|
5
|
Abdul Malik bin Marwan
|
65-86 H/684-705 M
|
6
|
Al-Walid I bin Abdul Malik
|
86-96 H/705-714 M
|
7
|
Sulaiman bin Abdul Malik
|
96-99 H/714-717 M
|
8
|
Umar bin Abdul Aziz
|
99-101 H/717-719 M
|
9
|
Yazid II bin Abdul
Malik
|
101-105 H/719-723 M
|
10
|
Hisyam bin Abdul Malik
|
105-125 H/723-742 M
|
11
|
Al-Walid II bin Yazid II
|
125-126 H/742-743 M
|
12
|
Yazid II bin Walid
|
126 H/743 M
|
13
|
Ibrahim bin Al-Walid II
|
126-127 H/743-744 M
|
14
|
Marwan II bin Muhammad
|
127-132 H/744-750 M
|
Menurut Ahmad Amin dalam bukunya Fajr Islam, menjelaskan bahwa
kemapanan peradaban Bani Umayyah hanya terjadi Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik
bin Marwan dan Umar bin Abd al-Aziz. Namun demikian menurut Ahmad Amin, secara
umum peradaban Islam pada masa dinasti ini berkuasa telah sampai pada
puncaknya, dibandingkan peradaban pada masa-masa sebelumnya.[8]
B. KEBIJAKAN
DAN PRESTASI-PRESTASI BANI UMAYYAH
Terdapat banyak kebijakan yang diambil para khalifah Bani
Umayyah. Dalam pemerintahan yang ditempuh selama 90 tahun ini banyak kebijakan diambil
dan memberi pengaruh besar terhadap dinamika kehidupan islam selanjutnya. Diantara
kebijakan-kebijakan dan prestasi-prestasi penting pada masa daulah ini berkuasa
adalah sebagai berikut:
1. Memindah ibu kota dari Madinah ke Damaskus (Syiria)
Setelah
Muawwiyah menjadi khalifah, ia
mulai menata pemerintahannya. kebijakan ini dilakukan untuk mengantisipasi
tindakan-tindakan yang timbul dari reaaksi pembentukan kekuasaannya. khususnya
dari kelompok yang tidak menyukainya. Langkah awal yang diambilnya adalah
memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus.[9]
Hal ini dapat dimaklumi, karena
jika dianalisa setidaknya ada 2 faktor yang
menyebabkan Muawwiyah mengambil langkah ini, yaitu karena di Madinah sebagai
pusat pemerintahan khulafaurrasyidin sebelumnya, masih terdapat sisa-sisa
kelompok yang antipati terhadapnya. Ini akan mengganggu stabilitas kekuatannya,
selain itu di Madinah dia kurang memiliki pengikut yang kuat di fanatik, sedang
di Damaskus pengaruhnya telah menciptakan nilai simpatik masyarakat, basis
kekuatannya cukup kuat.[10]
2.
Merubah Sistem
Pemerintahan Menjadi Monarki Absolut
Pada masa-masa Awal Mu’awiyah menjadi
penguasa kekuasaan masih berjalan secara demokratis, tetapi setelah berjalan
dalam beberapa waktu, Mu’awiyah mengubah model pemerintahnya dengan model
pemerintahan monarchiheredetis (kerajaan turun temurun).[11]
Muawiyah bin Abu Sufyan
dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan,
namun Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata
tersebut dimana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang
diangkat oleh Allah padahal tidak ada
satu dalil pun dari al-Qur'an dan Hadits Nabi yang mendukung pendapatnya.[12]
Perubahan model dan pola pemerintahan tersebut
menunjukkan bahwa Mu’awiyah telah memulai
mengubah paradigma pemerintahan dari yang demokratis (di zaman itu) menjadi
dinastian, yang menempatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang mutlak dipegang oleh
keluarga besar Mu’awiyah. Ia telah mulai melakukan revolusi suksesi kekuasaan
dengan logika yang belum pernah dilakukan oleh para khalifah sebelumnya. Abu
Bakar terpilih dengan cara aklamasi, Umar, Ustman dan Ali juga demikian adanya.
Keempat Khalifah tersebut bukan atas dasar dinastian.
Sejak Abu Bakar sampai Ali, suksesi kepemimpinan dilaksanakan
dengan cara musyawarah untuk menentukan posisi puncak sebagai khalifah. Pada
masa khalifah ar-rasyidun tradisi musyawarah benar-benar dilaksanakan
dengan baik, sesuai dengan apa yang disebutkan dalam al-Qur’an. Menurut
Taqiyuddin Bin Taimiyah, bagi seorang waliyul amri, syura merupakan sesuatu
yang tidak bisa dinafikan, karena Allah telah memerintahkan kepada Nabi untuk
selalu bermusyawarah.[13]
Namun demikian, pada masa Dinasti Umayyah suksesi
pemerintahan tidak lagi menempatkan tradisi musyawarah sebagai bagian integral
dalam proses suksesi kepemimpinan. Mu’awiyah telah mengubah pola suksesi kekhalifahan
dengan logika turun temurun, yang dimulai ketika
Mu’awiyah mewajibkan kepada seluruh rakyatnya untuk menyatakan kesetiaan kepada
Yazid, putera Mu’awiyah.[14]
Perintah ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan
bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba
dibangun oleh Mu’awiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas
musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Mu’awiyah telah
merubah model kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regerisasi
kekuasaan dengan cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada
di luar garis keturunan Mu’awiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan
kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah Umat Islam, karena system
dinasti hanya membenarkan satu kebenaran bahwa suksesi hanya bisa diberikan
kepada keturunan dalam dinasti tersebut.
Perubahan konsep suksesi kepemimpinan yang dilakukan oleh
Mua’wiyah telah melahirkan penolakan yang kuat dari kubu-kubu yang tidak searah
dengan kubu Mu’awiyah. Deklarasi pergantian kekuasaan kepada Yazid oleh
Mu’awiyah, selain telah menyalahi kebiasaan kekuasaan para penguasa Arab,
tetapi telah melahirkan kekecewaan dari musuh-musuh politik Mu’awiyah, sehingga
menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat dan seringkali
melahirkan konflik perang antar saudara, Husein bin Ali
di Kufah tahun 680 M, Mukhtar di Kufah tahun 685 M, dan Abdullah bin
Zubair di Makkah tahun 692 M. Khalifah Yazid melakukan perlawanan keras dengan
pemberontak. Hal ini kemudian melahirkan tragedi-tragedi seperti tragedi
meninggalnya Husein di Karbala, peristiwa Hurah dihalalkannya kehormatan
Madinah Al-Munawwaroh dan diserangnya Ka’bah dengan Manjaniq. [15]
3.
Penguatan
Militer dan Kebijakan Ekspansi
Pada masa Bani Umayyah organisasi
militer terdiri dari Angkatan Darat (al-Jund), Angkatan Laut
(al-Bahriyah), dan Angkatan Kepolisisan (asy- Syurthah). Berbeda
dengan masa Usman, yang bala tentara atasa dasar kesadaran sendiri, pada masa
ini ada tekanan penguasa. Bahkan pada masa Abdul Malik bin Marwan diberlakukan
Undang-Undang Wajib Militer (Nidzom at-Tajdid Al-Ijbari). Pada waktu itu
aktifitas bala tentara diperlengkapi dengan kuda, baju besi, pedang dan panah.
[16]
Penguatan militer yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah itu tidak
lain dikarenakan kebijakan ekspasionis, yaitu kebijakan perluasan wilayah
kerajaan. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti
pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali,
dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan
menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul.
Sedangkan
angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium,
Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan
kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan
mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad,
Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India
dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.[17]
Ekspansi
ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul-Malik.
Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban.
Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang
lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara
menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah
Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,
dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib)
dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan
nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan
demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol,
Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain
seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru
setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah
karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat
kekejaman penguasa.[18]
Di
zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan
Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia
mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang
Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi
terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah
tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga
jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke
beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani
Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika
Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan,
dan Kirgistan di Asia Tengah.[19]
Gambar [1]
Peta Wilayah Kekuasaan Bani Umayyah[20]
![]() |
Disamping perluasan wilayah yang
dilakukan, militer juga difungsikan oleh muawwiyah untuk menjadi tentara
pelindung raja (Hijaban). Kebijakan ini dilakukan muawwiyah berkaca dari
sejarah, agar terbunuhnya khalifah oleh para pemberontak tidak terulang
sebagaimana 3 khulafaurrasyidin sebelumnya.
4. Penataan Administrasi Negara
Saat Muawiyah menjabat kekhalifahan
diantara langkah strategis yang dilakukan adalah peningkatan pengelolaan
administrasi negara.[21]
Apa yang dilakukan Muawiyah tersebut kemudian terus disempurnakan oleh
khalifah-khalifah setelahnya. Hal-hal tersebut meliputi:
a. Merancang Pola Pengiriman
Surat (Post). Mu’awiyah yang mengawali kebijakan ini kemudian dimatangkan
lagi pada masa Malik bin Marwan. Proyek al-Barid (pos) ini, semakin ditata
dengan baik, sehingga menjadi alat pengiriman yang baik pada waktu itu.[22]
b. Meresmikan Lambang
Kerajaan. Sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin tidak pernah membuat lambang Negara
baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya.
Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
c. Membentuk Lembaga Pemerintahan, yaitu:
1)
An-Nizam al-Siyasi : lembaga
politik
2)
An-Nizam al-Mali : lembaga
keuangan
3)
An-Nizam al-Idari : lembaga tata
usaha negara
4)
An-Nizam al-Qada’i : lembaga
kehakiman
5)
An-Nizam al-Harbi : lembaga
ketentaraan
6)
Diwan al-Kitabah : lembaga
sekretaris negara
d. Membentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Diwan al-Kitabah) untuk untuk mengurus berbagai urusan
pemerintahan,[23] meliputi:
1)
Katib al-Rasail : sekretaris administrasi
2)
Katib al-Kharraj : sekretaris keuangan
3)
Katib al-Jundi : sekretaris tentara
4)
Katib as-Syurthah : sekretaris kepolisian
5)
Katib al-Qadhi : sekretaris kehakiman
5. Kemajuan di Bidang Arsitektur
Bani Umayyah mencatat suatu pencapaian yang gemilang di
bidang seni, terutama seni bangunan (Arsitektur).[24]
Teknik arsitektur merupakan hal yang sangat diperhatikan pada masa ini diantaranya
karena pengaruh dari Byzantium. Diantara bangunan penting yang dibangun dengan
teknik arsitektu tinggi yaitu:
- Masjid Damaskus
Masjid ini awalnya adalah Gereja st. John berasal dari
sebuah kuil Romawi, dikelilingi tembok dirombak pada jaman Kristen. Kemudian
al-Walid (705-15) mengambil alih dan menjadikannya masjid, hingga sekarang
terkenal dengan nama masjid Agung Damaskus. Tembok keliling dirombak sehingga
terbentuk pola Hypostyle yaitu berupa
sebuah sahn yaitu halaman dalam
berbentuk segi empat dikelilingi oleh bagian bangunan beratap. Sisi terpanjang
sekitar 150 M, tegal lurus sumbu arah kiblat, sisi terpendeknya sekitar 95 M
berimpit dengan arah kiblat. Luas masjid sekitar 14.250 M2 , denga
bentuk denah tersebut, susunan jamaah dalam bersembahyang, melebar ke arah kiblat. Konstruksi, bentuk dan ornament-ornamen bagian depan sangat
jelas mendapat pengaruh arsitektur Romawi.[25]
Gambar [2]
Masjid Damaskus di Malam Hari[26]
![]() |
- Masjid Agung di Kufah (Irak)
Tercatat Ziyad bin Abih, salah seorang gubernur dari pemerintahan
Umayyah, masjid direnovasi dan perluas dengan ruang-ruang beratap datar
disangga oleh kolom-kolom batu. Menurut Tabari (838-923) seorang sejarawan dan
teolog, penentuan luas masjid dengan cara memerintahkan seseorang untuk
melempar tombak ke empat arah mata angin, yang diarah kiblat (selatan) kemudian
ditempatkan dinding kiblat, dengan cara ini ternyata dinding dan lajur
kolom-kolom tepat ke arah kiblat. Denah masjid Kufa, berpola hypostyle seperti masjid Nabi. Di tengah
terdapat halaman dalam atau sering disebut sahn
atau zulla, dikelilingi oleh riwaq, haram atau ruang sembahyang yang
utama. Selain dinding luar yang sangat tebal, di dalam tidak ada dinding. Denah
terbentuk oleh dinding keliling tebal ini, hamper bujur sangkar, panjang
masing-masing dinding sisi tidak banyak berbeda, lebih kurang 125 M. selain
merenovasi Masjid agung, Ziyad bin abih pada waktu bersamaan juga membangun
istana, berfungsi selain sebagai tempat tinggal juga menjadi tempat administrasi pemerintahan. Bangunan
sejenis ini kemudian disebut dar
al-Imara, yang artinya rumah gubernur. Istana menempel dengan masjid,
sebagian dinding utara istana, menjadi satu dengan dinding selatan masjid.
Konon hal ini agar gubernur atau khalifah dapat masuk ke masjid tanpa melalui
jamaah lainnya.[27]
Gambar [3]
Masjid Agung Kufah Saat Ini[28]
![]() |
- Kubah Batu Karang (dome of the rock)
Abul Malik penguasa V (685-705) salah
seorang pemimpin terkuat dari Dinasti Umayyah mempunyai perhatian besar pada
Jerussalem. Dia membangun Kubah Batu (dome of the rock atau qubat al saka)di
Jerussalem, higga saat ini menjadi salah satu monumen Islam terbesar. Kubah
Batu karang terletak di atas buki karang dari Gunung Moriah dibangun antara
tahun 687-692. Gunung Moriah diidentifikasikan sebagai tempat Nabi Ibrahim akan
mengorbankan putranya Nabi Ismail untuk dipersembahkan kepada Allah kemudia
dihentikan oleh malaikat.[29]
Gambar [4]
![]() |
6. Gerakan Penerjemahan dan Arabisasi
Selain itu, gerakan penerjemahan ke
dalam bahasa Arab (Arabisasi buku), juga dilakukan, terutama pada masa khalifah
Marwan. Pada saat itu, ia memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran
karya Aaron, seorang dokter dari iskandariyah, ke dalam bahasa Siriani,
kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Arab. Demikian pula, Khalifah memerintahkan
menerjemahkan buku dongeng dalam bahasa sansakerta yang dikenal dengan Kalilah
wa Dimnah, karya Bidpai. Buku ini diterjemahkan oleh Abdullah bin
Al-Muqaffa. Ia juga telah banyak menerjemahkan banyak buku lain, seperti
filsafat dan logika, termasuk karya Aristoteles :Categoris, Hermeneutica,
Analityca Posterior serta karya Porphyrius :Isagoge[31].
Gerakan
Arabisasi juga bukan hanya dilakukan pada penerjamahan, tetapi juga dalam
konteks kebijakan pemerintahan. Pada masa Abd. Malik (685-705 M) mulai diperkenalkan
bahasa Arab untuk tujuan-tujuan administrasi, mata uang gaya baru
dipetkenalkan, dan hal ini memiliki arti yang sangat penting, karena mata uang
merupakan symbol kekuasaan dan identitas.[32]
Sebab, mata uang baru inipun dicetak dengan menggunakan kata-kata semata,
memproklmasikan dengan bahasa Arab keesaan Tuhan dan kebenaran agama Islam.
Gambar [5]

Proses Arabisasi semakin komplit dengan adanya pertumbuhan kaligrafi pada masa
tersebut. Ia adalah Qutbah Al Muharrir, kaligrafi umayyah pertama yang paling
lama bertahan dengan kecakapan luar biasa. Qutbah punya nama terhormat dalam
banyak literature Arab, karena berhasil mewariskan 4 jenis kaligrafi penting,
yaitu Thumar, Jalil, Nishf, dan Tsuluts.. Dia juga dikenal menulis
sejarah dan bunga rampai Arab dan sangat masyhur terutama karena menghias
miharab Masjid Nabawi dengan beragam ayat Al Qur’an yang ditulis dengan fan
Jalil yang indah.
Selain Qutbah, para kaligrafer kenamaan lainnya adlah Khalid bin Al Hayyaj, Khasynam dan Malik bin Katsir. Khalid bin Hayyaj
sangat terkenal sebagai kaligrafer resmi Khalifah Al Walid bin Abdil Malik yang
telah menulis banyak mushaf Al Qur’an berukuran besar dengan fan Thumar dan
Jalil.[34]
7.
Kemajuan
Pengetahuan dan Sastra
Para
penguasa Bani Umayyah yang sangat berorientasi keakraban itu sangat mendorong
kenyatan baru yang meupakan fenomena kebangkitan sastra dan pemikiran,
khususnya yang berhubungan dengan syair-syair jahiliah dan adat istiadat arab
pra-islam itu. dalam hal ini, penguasa Bani Umayyah ingin menciptakan Kufah dan
Bashrah sebagai alternatif bagi Mekkah dan Madinah di masa jahiliah dalam
lapangan sastra dan adat istiadat.
Dengan dukungan dari penguasa
itu, pada masa pemerintahan abd al-Malik bin Marwan, Kufah dan Basrah berkembang
menjadi kota-kota ilmu pengetahuan. perkembangan lebih lanjut adalah hdirnya
orang-orang muslim dari negeri tetangga, seperti persia, syiria dan kota-kota
irak lainnya, disamping untuk menuntut ilmuy juga untuk mencari kebeuntungan di
sua kota yang sedang berkembang itu, baik lapangan perdagangan maupun lapangan
industri. oleh karena itu, dua kota ini menjadi kota yang penduduknya mejemuk
(heterogen), yang mau tidak mau mengalami proses arabisasi, karena bahasa arab
ketika itu merupakan bahasa negera dan sekaligus bahasa agama.[35]
Daulah ini juga mendirikan
pusat kegiatan ilmiah di Kufah dan Bashrah yang akhirnya memunculkan nama- nama
besar seperti Hasan al-Basri, Bin Shihab al-Zuhri dan Washil bin Atha. Bidang
yang menjadi perhatian adalah tafsir, hadits, fikih, dan kalam.
Penyair-penyair Arab baru bermunculan setelah perhatian mereka terhadap
syair Arab Jahiliyah dibangkitkan. Mereka itu adalah Umar Bin Abi Rabiah (w.
719 m.), Jamil al-Udhri (w. 701 M.), Qays Bin al-Mulawwah (w. 699 M.)
yang lebih dikenal dengan nama Majnun Laila, al-Farazdaq (w 732M.), Jarir (w.
792 M) dan al-Akhtal (w. 710 M.).
Waktu dinasti ini telah mulai dirintis
jalan ilmu naqli ; berupa filsafat dan eksakta. Dan ilmu pengetahun
berkembang dalam tiga bidang, yaitu bidang diniyah, tarikh, dan filsafat.
Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan selama pemerintahan dinasti
Umayah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granda dan lain sebagainya.
Sehingga secara perlahan ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu : pertama,
Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu
al-Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi),
Al-Ulumul Dkhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi
: ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari
Persia dan Romawi. Kedua : Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu
yang telah ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat,
seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal.[36]
Pada masa Daulah Umayah, gerakan sastra dan seni juga
sempat muncul dan berkembang, yaitu pada masa khalifah Abdul Malik, setelah
al-Hujjaj berhasil menundukkan bin Zubair di Hijaz. Di negeri itu telah muncul
generasi baru yang bergerak di bidang sastra dan seni. Pada masa itu muncul
tokoh Umar bin Abi Rabi’ah, seorang penyair yang sangat mashur, dan muncul
perkumpulan penyanyi dan ahli musik, seperti Thuwais dan Bin Suraih serta
al-Gharidl.[37]
Demikian juga, pada masa dinasti Umayah, sudah mulai
dirancang tentang undang-undang yang bersumber dari al-Qur’an, sehingga
menuntut masyarakat mempelajari tentang tafsir al-Qur’an. Salah seorang ahli
tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut adalah Bin Abbas. Pada waktu
itu beliau telah menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat dan isnad, kemudian
kesulitan-kesulitan dalam mengartikan al-Qur’an dicari dalam al-hadist, yang
pada gilirannya melahirkan ilmu hadist.
Pada saat itulah kitab tentang ilmu hadist sudah mulai
dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadist yang terkenal pada masa
itu, antara lain : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin
Syihab az-Zuhri, Bin Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami
al-Makky, Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.
Dalam bidang hadist ini, Umar bin Abd Aziz secara
khusus memerintahkan Bin Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadist. Oeh karena itu,
Bin Syihab telah dianggap sanat berjasa dalam menyebarkan hadist hingga
menembus berbagai zaman. Sejak saat itulah perkembangan kitab-kitab hadist mulai
dilakukan.[38]
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Bani Umayah
merupakan salah satu penguasa Islam yang cukup masyhur seperti yang
penguasa-penguasa muslim yang lain. Bahkan pada masa ini, perubahan demi
perubahan dilakukan, setidaknya keberanian Bani Umayah untuk keluar dari
tradisi Arab dalam masalah pergantian kepemimpinan serta pemindahan pusat
kekuasaan dari Jazirah Arab ke Damaskus (luar jazirah Arab) menjadi bukti
sederhana tentang dinamika yang terjadi pada masa Bani Umayah berkuasa.
Terdapat banyak kebijakan yang diambil
para khalifah Bani Umayyah. Dalam pemerintahan yang ditempuh selama 90 tahun
ini banyak kebijakan diambil dan memberi pengaruh besar terhadap dinamika
kehidupan islam selanjutnya. Diantara kebijakan-kebijakan dan prestasi-prestasi
penting pada masa daulah ini adalah sebagai berikut:
1.
Pemindahan ibu kota dari Madinah ke
Damaskus (Syiria)
2.
Perubahan sistem pemerintahan menjadi
Monarki Absolut
3.
Penguatan militer dan kebijakan
ekspansi
4.
Penataan administrasi dan tata
pemerintahan
5.
Pembangunan fisik yang megah
6.
Gerakan penerjemahan dan arabisasi
7.
Kemajuan pengetahuan dan sastra
Menilik prestasi-prestasi tersebut,
laiknya Bani Umayah menjadi bagian penting
dan menarik dalam sejarah umat Islam, yang harus terus dijadikan sebagai
pengalaman sangat berharga. Hal itu dikarenakan tidak semua yang dilakukan Bani Umayah itu
buruk, seperti
yang umumnya terekspos, tetapi juga memiliki sisi penting yang harus ditiru
oleh umat Islam. Kekuasaan Bani Umayah yang hampir seabad lamanya dalam
memimpin umat Islam, tetaplah sebuah prestasi yang harus diapreasi secara
kritis. Lebih-lebih
kebijakan positif dan prestasi tersebut bisa ditransformasikan oleh umat Islam
pada zaman sekarang.
[1] Sejarah Islam (Sejak Nabi
Adam Hingga Abad XX). Ahmad Al-‘Usairy. Jakarta Timur: Akbar Media.2010 Hal 182
[5] Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam (Sejak Nabi Adam
Hingga Abad XX) (Jakarta Timur: Akbar Media, 2010), hlm 184
[8] Ajid Thohir. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam. (Jakarta: Raja Grafindo.2004), hlm 37
[9] Syed Mahmuddunasir, Islam Its Concept and History (New Delhi: lahoi
Fine Arr Press, 1985), hlm 151
[12] Dinasti Bani Umayyah : (Perkembangan
Politik, Gerakan Oposisi, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kejatuhan Dinasti), Mohammad Suhaidi RB
[13] Taqiyuddin Bin
Taimiyah, As-Syiyasah As-Syar’iyah fi Islah Ar-Ra’iyah (Mesir, Darul
Kitab al-Gharbi, 1951), hlm. 169
[16] Ali Sodikin dkk. Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa
Klasik Hingga Moden. (Yogyakarta: Lesfi. 2009), hlm 76
[25] Yulianto
sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen
Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm.56-57
[38] Drs. Badri
Khaeruman, M.Ag, Otentisitas Hadist : Studi Kritis Atas Kajian Hadst
Kontemporer (Bandung, Rosda, 2004), hlm. 39
lengkap sekali artikelnya. Makasih ya...
ReplyDeleteizin copy artikelnya. Untuk tugas, insya Allah. Jazakumullah.
ReplyDeleteizin copy artikelnya, gan. Untuk tugas, Jazakallah
ReplyDeleteIzin copy untuk tugas syukron
ReplyDelete