Saturday, April 11, 2020

PEMIKIRAN TENTANG PENGEMBANGAN SISTEM PENDIDIKAN BERBASIS INTEGRASI ISLAM DAN SAINS


A. Pendahuluan
Ide tentang integrasi Islam dan sains belakangan ini sering didengungkan seiring dengan keinginan sebagian besar umat Islam untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam yang selama ini dirasa masih tertinggal. Disamping itu kemerosotan moral yang menjangkit dunia pendidikan diduga salah satunya disebabkan minimnya siswa tersentuh sisi afektif, mata pelajaran umum adalah profan dan netral dilihat dari sudut religi.
Memang pada dasarnya, Islam tidak mendikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Pada era golden age (masa keemasan) islam periode Abbasiyah, kedua ilmu pengetahuan ini tetap terintegrasi hingga kemudian di buyarkan oleh redupnya dinamika peradaban Islam menyusul terjadinya spesialisasi ilmu pengetahuan modern yang bersembunyi di balik politik kolonialisasi dan imperialisasi dunia islam.
Seiring perkembangan zaman, gagasan ilmu pengetahuan yang integratif bergaung kembali dalam berbagai konsep, semisal islamisasi ilmu pengetahuan, saintifikasi Al-Qur’an, objektifikasi ajaran islam dan lain-lain. Keseluruhan konsep ini, grand theme sebenarnya menghendaki atau mengidealkan ilmu pengetahuan islam tidak sekedar menjadi media dakwah, tapi di kembalikan kepada koetentikanya sebagai sistem ilmu pengetahuan yang memiliki fungsi transformatif dan responsif terhadap isu-isu modern sejalan dengan tuntutan kebutuhan aktual masyarakat.
Maka sudah barang tentu konsep integrasi tersebut perlu diterapkan dan dikembangkan dalam dunia pendidikan, yang merupakan instrumen terbaik dalam membangun peradaban.. Untuk itu praktik pendidikan Islam harus mengembangkan integrasi ilmu untuk menjadikan pendidikan lebih menyeluruh (integral holistik). Karena pada hakikatnya, Islam tidak pernah mengenalkan- istilah dualisme-dikotomik keilmuan seperti itu. Dua macam keilmuan; umum dan agama, ditempatkan pada posisi dan porsi yang berimbang

B.  Landasan Pengembangan Sistem Pendidikan Berbasis Integrasi Islam dan Sains
Dari hasil telaah Muhaimin menyimpulkan bahwa dikotomi ilmu pengetahuan hingga memunnculkan islamisasi ilmu pengetahuan (pendidikan) merupakan saah satu dari empat wacana yang berkembang dalam pemikiran pengembangan Islam saat ini. [1] Maka tentu diperlukan landasan yang kuat dalam upaya merubah pandangan dikotomis pada ide integrasi Islam dan sains.
Beberapa hal yang melandasi pentingnya melakukan pengembangan sistem pendidikan yang mengintegrasikan Islam dan sains adalah sebagai berikut:
1.    Landasan Normatif-Teologis,
Dilihat dari aspek normatif-teologis, doktrin Islam pada dasarnya mengajarkan kepada pemeluknya untuk memasuki islam secara kaffah (menyeluruh) sebagai lawan dari berIslam yang parsial (QS Al-Baqarah [2]: 208). Islam yang kaffah menggarisbawahi terwadahinya berbagai aspek kehidupan dalam Islam.
Ajaran tersebut mengandung makna bahwa untuk menjadi aktor beragama yang loyal, concern dan commitment dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam segala aspek kehidupannya, serta bersedia dan mampu berdedikasi sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan dan bidang keahliannya masing-masing dalam perspektif Islam untuk kepentingan kemanusiaan.
Takwa ini terwujud dalam dua sikap, yaitu itba’ syari’at Allah (mengikuti fundamental doctrine dan fundamental values yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah) dan sekaligus itba’ sunnatillah (mengikuti aturan-aturan dan hukum-hukum Allah SWT yang berlaku di alam semesta)[2]
Thanthawy Jauhary dalam al-Jawahir fiy Tafsir Al-Quran menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat penjelasan tentang alam semesta dan fenomena-fenomenanya secara eksplisit tidak kurang dari 750 ayat.[3] Pada umumnya ayat-ayat ini memerintahkan  manusia untuk memperhatikan, mempelajari dan meneliti alam semesta.. Bahkan ajakan Al-Qur’an diatas dialamatkan kepada seluruh manusia tanpa membedakan warna kulit, profesi, waktu dan tempat.[4]
Perintah untuk melakukan penelitian (suatu kegiatan yang penting di dalam pengembangan sains), secara umum dapat dilihat antara lain dalam firman-Nya pada surat Yunus, ayat ke-101  “Katakanlah Muhammad: lakukanlah nadzor (penelitian dengan menggunakan metode ilmiah) mengenai apa-apa yang ada di langit dan bumi.
Perintah lebih khusus terdapat dalam surat al-Ghosiyah, ayat ke-17–20 yang artinya: “Apakah mereka tidak memperhatikan onta, bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung, bagaimana ia ditancapkan. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan”. Ayat-ayat tersebut merupakan ayat-ayat metode ilmiah, yang memerintahkan kepada umat manusia untuk selalu meneliti. Kegiatan penelitian yang mencakup pengamatan, pengukuran, dan analisa data telah membawa perubahan besar dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk ilmu matematika. “niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu amalkan”. (Q.S. Al Mujadilah : 11)[5]
2.    Landasan Yuridis
Termaktub di dalam rumusan muqadimah UUD 1945, Pasal 28 ayat 1 UUD 1945, Pasal 31 UUD 1945, dan Pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dinyatakan dengan tegas bahwa pelaksanaan pendidikan berorientasi pada tujuan pembentukan manusia Indonesia yang seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung jawab.
Pada konteks ini, kurikulum sebagai ruh pendidikan haruslah mengusung nilai dan pesan Islam sebagai ruh dalam setiap kegiatan sekolah. Maksudnya, desain kurikulum harus mengintegrasikan nilai kauniyah dan qauliyah dalam bangunan kurikulum, yang terimplementasi bukan semata mempelajari materi-materi Islam dalam konteksnya sebagai ‘ulum syar’iyah (fiqh, ibadah, akhlaq, dan aqidah), melainkan diporsikan sebagai pelajaran agama Islam yang mampu memberikan kerangka pengetahuan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan dalam konteks kehidupan masa kini dan masa akan datang.
Maka merujuk pada kurikulum 2013, dapat diketahui bahwa struktur kurikulum satu missal di SD/MI lalu dirampingkan menjadi delapan, yaitu Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan Prakarya, dan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan[6]
Ditinjau dari aspek epistemologik religius, strukturisasi dan klasifikasi kurikulum di atas menunjukkan masih ada dikotomi keilmuan antara pelajaran umum dan pelajaran agama. Pelajaran umum, seperti PKn, matematika, IPA, IPS, dan seterusnya, sedangkan pelajaran agama, seperti al-Qur’an Hadis, Aqidah. Akhlak, Fiqh, dan SKI, di mana seakan-akan muatan religius itu hanya ada pada mata pelajaran-mata pelajaran agama, sementara mata pelajaran umum semuanya adalah profan dan netral dilihat dari sudut religi
Seharusnya, dalam sistem pendidikan yang terintegrasi, tidak ada pengkotak-kotakkan ilmu ke wilayah umum dan agama, walau klasifikasi ilmu ke dalam ilmu eksakta, ilmu sosial, dan ilmu humaniora tetap saja ada, namun pengklasifikasian dilakukan terhadap objek ilmu-ilmu itu sendiri, bukan pengklasifikasian dari segi peran dan fungsinya.[7]
3.    Landasan Historis
Menurut Harun Nasution, ketika kerajaan-kerajaan Eropa di Barat mengalami kemajuan serta mulai mengadakan penetrasi ke dunia Islam di Timur dan pada abad 19 sebagian besar dunia Islam berada di bawah kolonialisme Barat, maka pemikiran-pemikiran Barat banyak masuk ke dunia Islam dan berpengaruh dalam bidang kehidupan. Pemikiran Barat yang ketika itu banyak dipengaruhi oleh paham sekularisme, termasuk lembaga pendidikan di Indonesia yang banyak diwarnai oleh sistem pendidikan kolonial Belanda, yang lebih menekankan pada pendidikan intelektual dan mengabaikan pendidikan agama. Setelah dunia Islam memerdekakan diri dari kolonialisme tersebut, maka sistem pendidikan itu tidak banyak mengalami perubahan, sehingga peserta didik yang dihasilkannya tidak sesuai dengan jiwa Islam.[8]
Disisi yang lain, kaum Islam tradisional juga terjebak pada isolasi diri terhadap keilmuan yang dikaji. Pandangan bahwa ilmu agama (seperti tafsir, fiqih dan hadits) merupakan jalan tol menuju Tuhan masih terus melekat. Sehingga penyelidikan ilmiah lebih lanjut terhadap kajian-kajian Islam mengalami kemandegan. Perkembangan sains dan teknologi yang sedemikian pesat kurang direspon dengan inovasi-inovasi kurikulum. Alhasil hal ini berdampak pada kurangnya kegunaan keilmuan yang dipelajari, karena kurang bisa menjawab tantangan hidup masyarakat modern.
Pada abad akhir ini tekanan dari ilmu-ilmu agama mulai berkurang bahkan hampir tidak ada. Berkurangnya tekanan ilmu-ilmu agama, menyebabkan berkembangnya ilmu-ilmu umum secara pesat.  Tidak adanya sentuhan agama pada ilmu-ilmu umum, mengakibatkan ilmu-ilmu umum berkembang dengan mengabaikan norma-norma agama dan etika kemanusiaan.[9]
Bertolak dari perkembangan keilmuan di atas, pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu sains harus berjalan beriringan, tidak boleh satu disiplin ilmu mendominasi disiplin ilmu yang lain. Dengan memadukan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, tujuan akhir dari ilmu pengetahuan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan menjaga kelestarian alam dapat tercapai.
4.    Landasan Filosofis
Secara ontologis, obyek studi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum memang dapat dibedakan. Ilmu-ilmu agama mempunyai obyek wahyu, sedangkan ilmu-ilmu umum mempunyai obyek alam semesta beserta isinya. Tetapi kedua obyek tersebut sama-sama berasal dari Tuhan (Allah SWT), sehingga pada hakekatnya antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, ada kaitan satu dengan yang lain.
Secara epistemologis, ilmu-ilmu agama (islam) dibangun dengan pendekatan normatif, sedangkan ilmu-ilmu umum dibangun dengan pendekatan empiris. Tetapi, wahyu yang bersifat benar mutlak itu sesuai dengan fakta empiris. Dengan demikian baik pendekatan normatif maupun pendekatan empirik, kedua-duanya digunakan dalam membangun ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum.[10]
Secara aksiologis, ilmu-ilmu umum bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup di dunia, sedangkan ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan umat manusia di dunia dan akhirat. Sehingga ilmu-ilmu umum perlu diberi sentuhan ilmu-ilmu agama sehingga tidak hanya kebahagiaan dunia yang diperoleh tetapi juga kebahagiaan di akhirat.
5.    Landasan Psikologis
Manusia merupakan subyek dalam kehidupan, sebab sebagai makhluk ciptaa Tuhan dialah yang selalu melihat, bertanya, berpikir dan mempelajari segala sesuatu yang ada dalam kehidupannya.[11] Potensi dari Allah aspek psikologis yang harus dicapai Hadlarah al-Nash hati Iman/Aqidah yang kuat Hadlarah al-’Ilm akal Ilmu/wawasan yang luas, Hadlarah al-Falsafah Jasad/ badan Amal/kinerja yang produktif. Sosok insane muslim yang diharapkan yaitu memiliki iman dan aqidah yang kuat, tertanam menghunjam dalam hati yang kokoh.  Memiliki ilmu pengetahuan yang luas, tidak hanya keilmuan di bidangnya saja. Memiliki amal dan kenerja yang produktif, memberi kemanfaatan kepada lingkungan masyarakatnya.
Pertentangan ketiga ranah/domain tersebut dalam diri seseorang dapat menimbulkan keterpecahan kepribadian (personality disorder / split personality) Terjadi konflik antara yang diyakini dengan yang dipikirkan juga dengan yang dihadapi dalam realitas kehidupan “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (Ash-Shof : 2-3) [12]
C.      Pengertian Pengembangan Sistem Pendidikan Berbasis Integrasi Islam Dan Sains
Pendidikan diartikan sebagai latihan mental, moral dan fisik yang bisa menghasilkan manusia berbudaya tinggi maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan bagi manusia menyerupai makanan yang berfungsi memberi vitamin bagi pertumbuhan manusia.
Ajaran islam tidak memisahkan antara iman dan amal saleh. Oleh karena itu pendidikan islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Dan karena ajaran islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka pendidikan islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat. [13]
Kata ilmu pengetahuan atau sains dalam bahasa Indonesia mempunyai beberapa padanan kata dalam bahasa asing antara lain; science (dalam bahasa Inggris), wissenscaft (Jerman) atau wetenschap (Belanda).[14] Sains secara harfiah adalah Ilmu yang teratur (sistematik) yang dapat diuji kebenarannya. Juga bermakna Ilmu yang berdasarkan kebenaran atau kenyataan semata (fisika, kimia dan biologi). [15]
Sedangkan secara istilah, Sains pada hakikatnya adalah teorisasi tehadap fenomena alam jagad raya, khususnya fenomena alam yang bersifat fisik kebendaan yang dapat dikuantitatifkan. Singkatnya sains adalah ilmu pengetahuan ilmiah tentang alam jagad raya yang bersifat fisik, seperti matematika, fisika, biologi astronomi, kedokteran, dan sebagainya.[16] Sedang dalam Kamus Pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, kata integrasi memiliki pengertian penyatuan hingga menjadi kesatuan yg utuh atau bulat.
Jadi Integrasi Islam dan sains adalah usaha menggabungkan atau menyatupadukan ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu-ilmu umum dan agama pada kedua bidang tersebut. Karena dengan integrasi, ilmu akan jelas arahnya, yakni mempunyai ruh yang jelas untuk selalu mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebajikan, bukan sebaliknya menjadi alat dehumanisasi, eksploitasi, dan destruksi alam.
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang menjadi substansi sentral dari pelaksanaan integrasi Islam dan sains adalah meletakkan prinsip-prinsip tauhid sebagai landasan epistemologi ilmu pengetahuan dan tidak mengadopsi begitu saja ilmu-ilmu dari Barat yang bersifat sekuler, materialistis, dan rasional empiris. Dalam hal ini, Islam memandang ilmu tidaklah bebas nilai, namun sarat dengan nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan.
A.      Pola dan Model Pengembangan Sistem Pendidikan Berbasis Integrasi Islam Dan Sains
Era Globalisasi menuntut adanya perubahan paradigma dalam memandang peserta didik, guru dan sekolah. Untuk bisa bertahan hidup (survive) di era globalisasi, mereka harus mengembangkan kemampuan ganda, yaitu: etos kerja, melek teknologi, melek ilmu ekonomi, melek ilmu sosial, melek ilmu politikdan melek budaya.[17]
Maka di era sekarang tugas manusia (termasuk di dalamnya peserta didik) sebagai khalifah Allah fil ardh atau sebagai ‘wakil Allah di muka bumi’ akan bisa dilaksanakan bila kemampuan di atas dikuasai secara komprehensif. Tentu saja  dengan memelihara, melestarikan serta membudayakan ciptaan Allah. [18] Dan hal tersebut tidak akan tercapai, bila tanpa menguasai ilmu keislaman dan sains sekaligus.
Secara substantif ide integrasi Islam dan sains atau juga dikenal dengan istilah Islamisasi Ilmu telah  muncul  abad ke-19, yaitu ketika Syah Waliyallah dan Sir Sayyid Ahmad Khan yang mendirikan Universitan Aligarth. Kedua tokoh ini mempelopori kebangkitan pemikiran dan pengetahuan  yang berorientasi kepada Islam dan sekaligus bercorak modern.[19]
Akan tetapi nomanklatur Islamisasi Ilmu sendiri baru ada pada abad ke-20 dan mulai secara serius dirumuskan ketika adanya konferensi The International Isntitue of Islamic Tought (IIIT), oleh Ismail Raji al-Faruqi[20]. Beliau memulai pokok pikirannya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dengan mengaitkan pertama kali dengan kekalahan dan keterbelakangan umat Islam dalam menghadapi dominasi dan kemajuan dunia Barat. Kekalahan-kekalahan itu mengakibatkan kaum muslimin dibantai, dirampas kekayaannya, dirampas hak-hak dan kehidupannya. Mereka disekulerkan,  diwesternisasikan, dijauhkan dari agamanya oleh agen-agen musuh mereka.
Sebagai jawaban atas persoalan-persoalan umat Islam sebagaimana di atas, penting adanya langkah-langah perbaikan. Al-Faruqi merekomendasikan pentingnya pemaduan pendidikan yang bersifat profan dengan pendidikan Islam. Dualisme pendidikan yang terjadi di kalangan umat Islam pada saat ini harus ditiadakan setuntasnya. Kedua sistem pendidikan tersebut harus dipadukan dan diintegrasikan, sehingga dapat melengkapi dan menutupi kekurangan masing-masing. Integrasi pendidikan sekuler dan pendidikan Islam harus menghasilkan sebuah sistem pendidikan yang sesuai dengan visi agama Islam. 
Secara terinci al Faruqi memberikan langkah-langkah teknis dalam upaya Islamisasi pengetahuan, yaitu:
  1. Penguasan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris.
  2. Survei disiplin ilmu    
  3. Penguasaan khazanah Islam: sebuah antologi.
  4. Penguasaan khazanah ilmiah Islam : tahap analisa.
  5. Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu
  6. Penilaian kritis terhadap ilmu pengetahuan modern; Tingkat perkembangannnya di masa kini.
  7. Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam.
  8. Survei permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia.
  9. Analisa kreatif dan sintesa.
  10. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: Buku-buku daras tingkat universitas.
  11. Penyebarluasan ilmu yang telah di-Islamisasikan[21]
Sedangkan Al-Attas, yang juga dianggap sebagai pelopor Islamisasi Ilmu, mendefinisikan proses Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai pembebasan manusia dari unsur magis, mitologi, animisme, dan tradisi kebudayaan kebangsaan serta dari penguasaan sekuler atas akal dan bahasanya. Ini berarti pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh pandangan hidup yang diwarnai oleh kecenderungan sekuler, primordial, dan mitologis.[22]
Khudori Sholeh mengatakan bahwa sebenarnya lembaga pendidikan Islam telah melakukan integrasi tersebut meskipun dalam pengertian sederhana. Lembaga
Sementara itu, proses integrasi ilmu dalam penyelenggaraan pendidikan secara filosofis dapat dilakukan dengan bermacam model. Menurut Muhaimin, Islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangkan dalam menatap globalisasi dapat dilakukan dengan tiga model islamisasi pengetahuan, yaitu model Purifikasi, Modernisasi Islam, dan Neo-Modernisme.[23]
1. Model Purifikasi
Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian. Dalam arti ia berusaha menyelengggarakan penyucian ilmu pengetahuan agar sesuai, sejalan dan tidak bertentangan dengan norma Islam. Dengan kata lain, proses Islamisasi berusaha menyelenggarakan pendidikan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam secara kaffah, lawan dari berislam yang parsial. Kemudian pula commitment dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam segala aspek kehidupan.[24]
Gagasan Al-Faruqi dan Al-Attas dapat dikategorikan ke dalam Purifikasi. Juga bias dicermati pada empat langkah kerja dari model Islamisasi Pengetahuan yang direkomendasikan oleh Al-Faruq, yaitu: (a) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan muslim, (b) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan masa kini, (c) indentifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam kaitannya dengan ideal Islam, dan (d) rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi suatu paduan yang selaras dengan wawasan dan ideal Islam.[25]
2. Model Modernisasi Islam
Modernisasi berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunnatullah. Model ini berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam yang disebabkan oleh sempitnya pola pikir dalam memahami agamanya, sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan agama Islam tertinggal jauh dari bangsa non-muslim. Islamisasi disini cenderung mengembangkan pesan Islam dalam proses perubahan sosial, perkembangan IPTEK, adaptif terhadap perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dan proses modernisasi.[26]
Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang hak. Untuk melangkah modern, umat Islam dituntut memahami hukum alam (perintah Allah swt) sebelumnya yang pada giliran berikutnya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Modern berarti bersikap ilmiah, rasional, menyadari keterbatasan yang dimiliki dan kebenaran yang didapat bersifat relatif, progresif-dinamis, dan senantiasa memiliki semangat untuk maju dan bangun dari keterpurukan dan ketertinggalan.
Dalam kata lain, seorang modernis seringkali berupaya memahami ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan hanya semata-mata  mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio-historis yang dihadapi masyarakat muslim kontemporer. Ia tidak sabar untuk kembali menekuni khazanah intelektual Islam klasik, namun potong kompas meloncat dari nash langsung kepada peradaban modern.[27]
3. Model Neo-Modernisme
Model ini berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadits dengan mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan iptek.[28]
Islamisasi model ini bertolak dari landasan metodologis; (a) persoalan-persoalan kotemporer umat harus dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil ijtihad para ulama terdahulu hingga sunnah yang merupakan hasil penafsiran terhadap al-Quran, (b) bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kehidupan kotemporer, maka selanjutnya menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad ulama tersebut, (c) melalui telaah historis akan terungkap pesan moral al-Quran sebenarnya yang merupakan etika sosial al-Quran, (d) dari etika sosial al-Quran itu selanjutnya diamati relevansi dengan umat sekarang berdasarkan bantuan hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas persoalan yang dihadapi umat tersebut.( Ahmad Baihaki. 2010 : 28)
Dari ketiga model Islamisasi di atas, kesemuanya bertujuan untuk memutuskan mata rantai dikotomi ilmu pengetahuan guna menghindari keberlanjutan praktik dikhotomi ilmu ini dalam dunia pendidikan yang berakibat pada terhambatnya kebebasan melakukan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik.
Kemudian dari sudut metodologis langkah yang harus ditempuh adalah perumusan ulang epistemologi ilmu melalui kajian filsafat. Dengan filsafat akan dirumuskan sosok rancang bangun keilmuan (body of knowledge) sebagai pijakan untuk merumuskan jenis ilmu dan nomenklaturnya. Atas dasar prinsip dan metode tersebut, implementasi integrasi kurikulum di lembaga pendidikan Islam ada beberapa hal yang harus dilakukan: (1) mengembangkan paradigma rasional-empiris-transendental secara sinergis, (2) berorientasi dan terikat kepada nilai (value bound), dan (3) menghilangkan sikap ambivalensi atas sistem dan praktik pendidikan Islam dan ilmu-ilmu yang diajarkan agar tidak ada lagi pandangan dikotomis.
Secara teknis, implementasi integrasi keilmuan tersebut dalam konteks pembelajaran dimulai dengan model kurikulum integratif (integrated curriculum), yaitu kurikulum yang didesain dan dilaksanakan dengan mengedepankan berbagai perspektif, terangkum dalam berbagai pengalaman belajar yang menjangkau berbagai ranah pengetahuan sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Sesuai tujuan integrasi, maka desain kurikulum ini adalah menggabungkan dua komponen ilmu agama dan ilmu umum menjadi satu dalam struktur kurikulum yang utuh dan komprehensif.
Adapun metode/strategi yang digunakan untuk mencapai hal tersebut adalah (1) melalui penggabungan (fusion) antara beberapa topik menjadi satu paket kajian. (2) memasukkan sub disiplin keilmuan ke dalam induknya menjadi satu kesatuan (within one subject). (3) menghubungkan satu topik dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang diajarkan dalam jam atau kelas yang berbeda (multidisciplinary). (4) kajian antara suatu topik dengan menggunakan berbagai perspektif (comparative perspective), dan (5) mengaitkan suatu topik dengan nilai-nilai, peristiwa, dan isu-isu mutakhir (current issue) yang sedang berkembang (transdisciplinary).
Implementasi lima metode tersebut dilaksanakan dengan kaidah dan dalam bingkai korelasi (correlation) dan harmonisasi (harmonization). Artinya, dalam dan untuk mewujudkan kurikulum integratif tersebut, baik pada level konsep maupun implementasi, harus selalu berpegang pada prinsip dan kaidah korelasi dan harmonisasi. Dengan demikian, ragam perspektif, pengalaman, pendekatan, dan bidang keilmuan tersebut harus tetap memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya, tidak saling bertentangan justru sebaliknya saling mengisi dan melengkapi.[29]
D.      Potret Lembaga yang Mengembangan Sistem Pendidikan Berbasis Integrasi Islam Dan Sains
Beberapa institusi pendidikan sudah mencoba menerapkan sitem pendidikan berbasis integrasi dan sains. Masing-masing punya corak dan karakteristik yang berbeda, terilhami ilmuwan tertentu dalam menafsiri islamisasi ilmu. Seperti INSIST yang merupakan penjabaran ide-ide Al-Attas. Demikian pula islamisasi sains yang banyak dikembangkan oleh UIN Malang lebih banyak mengacu pada konsep justifikasi terutama yang selama ini dikembangkan oleh Bucaille. [30]
Berikut akan kami paparkan profil tiga institusi pendidikan yang berproses menerapkan integrasi Islam dan Sains, tentunya dengan tanpa mengesampingkan institusi lain yang juga menerapkan konsep serupa. Yang pertama UIN Sunan Kalijaga, sebagai representasi pendidikan inggi. Kedua, Jaringan Sekolah Islam Terpadu, sebagai representasi pendidikan dasar dan menengah. Dan ketiga, Trensains sebagai representasi pendidikan pesantren.
1.        Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Pengembangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga menjadi Unversitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga secara yuridis formal telah final dengan ditandatanganinya Kepres Nomor 50 Tahun 2004 pada tanggal 21 Juni 2004 oleh Presiden R.I Megawati Soekarnoputri. Terkait dengan upaya pengembangan ini, maka secara akademik diperlukan rumusan kerangka dasarkeilmuan yang menjadi paradigm bagi pengembangan seluruh program studi.
Belajar dari kelemahan PTAI dan juga Perguruan Tinggi Umum, UIN harus melakukan upaya pengembangan keilmuan dan kurikulum yang diharapkan mampu meminimalisir semaksimal mungkin kelemahan dari kedua model pendidikan pendidikan tersebut, sehingga UIN memiliki identitas yang kuat dan karakteristik keilmuan yang berbeda dari yang lain. Bila UIN selama ini focus pada kajian ilmu-ilmu keislaman (Islamic Studies) dengan pendekatan yang cenderung eksklusif tanpa membuka diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang lain, maka UIN perlu mengembangkan keilmuan dan kurikulum yang gayut dan padu dengan ilmu-ilmu lain, sehingga setudi Islam tidak lagi menjadi sebuah entitas tersendiri yang terpisah dengan entitas keilmuan yang lain.
UIN sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam, perlu mengubah realitas tersebut dengan upaya pengembangan keilmuan dan kurikulum dengan menggunakan pendekatan integratif dan interkonektif yaitu pendekatan yangmenempatkan wilayah agama dan ilmu, serta antar ilmu saling menyapa satudengan yang lainnya sehingga menjadi satu bangunan yang utuh. Dengandemikian semua matakuliyah yang dikembangkan di UIN Sunan Kalijaga tidak lagi berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan matakuliah yang lain untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Pendekatan yang menghubungkan antara ilmu agama dengan ilmu social, ilmu humaniora, dan ilmu kealaman dijadikan pola bersama yang metodologinya akan terus-menerus dikembangkan.
Dengan pendekatan integratif dan interkonektif tersebut UIN diharapkan menjadi pelopor dalam upaya menjembatani dikotomi ilmu pengetahuan yang sudah demikian menyejarah untuk mencapai ilmu pengetahuan yang integratif dan interkonektif, yang pada gilirannya mengantarkan alumni yang disamping professional dan berpandangan luas, juga etis sekaligus humanis.[31]
Model-model integrasi-interkoneksi Amin Abdullah yang diterapkan di UIN Sunan Kalijaga, yaitu:
1.      Informatif , Suatu disiplin ilmu memberikan informasi kepada disiplin ilmu yang lain. Misalnya: Ilmu Islam (Al-qur’an) memberikan informasi kepada ilmu saintek bahwa matahari memancarkan cahaya sedangkan bulan memantulkan cahaya (Q.S. Yunus: 5)
2.      Konfirmatif (klarifikatif), Suatu disiplin ilmu memberikan penegasan kepada disiplin ilmu lain. Contoh: Informasi tentang tempat-tempat (manaazil) matahari dan bumi dalam Q.S. Yunus: 5, dipertegas oleh ilmu saintek (orbit bulan mengelilingi matahari berbentuk elips).
3.      Korektif , Suatu disiplin ilmu mengoreksi disiplin ilmu yang lain. Contoh: Teori Darwin yang mengatakan bahwa manusia-kera-tupai mempunyai satu induk, dikoreksi oleh Al-qur’an.

Gambar 1: Skema Tiga Lingkaran Integrasi Interkoneksi
Skema tiga lingkaran terkait ini merupakan proyek keilmuan yang didengungkan oleh visi dan misi perubahan IAIN ke UIN. Perubahan IAIN menjadi universitas Islam merupakan langkah positif dalam rangka pengembangan jangkauan wilayah studi keislaman. Hal ini berarti jangkauan ilmu-ilmu Islam menjadi semakin luas. Skema di atas menunjukkan bahwa masing-masing bangunan sektor keilmuan menyadari akan kekurangan-kekurangan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerjasama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh gugusan ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu dengan kesediaan mengorbankan kepentingan egoisme sektoral keilmuan sehingga yang terlihat adalah mengedepankan kebersamaan dalam ilmu pengetahuan.[32]
Bangunan keilmuan yang selalu terkait selaras dan sejajar tersebut menjadi icon percontohan aplikasi keilmuannya yakni di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang saat itu dipimpin oleh tokoh pencetus ide interkonesi dan integrasi. Jika dibandingkan dengan bangunan keilmuan yang berkembang di UIN Jakarta melalui figur sentral Harun Nasution, kajian Islam di IAIN masih terbatas hanya pada pengajaran agama yang fiqh oriented. Disamping itu pengajaran agama baik filsafat, tasawuf maupun sejarah terbatas pada pemikiran tokoh-tokoh tertentu saja. Pemahaman Islam yang demikian itu parsial dan hanya melihat Islam secara sempit saja. Oleh karena itu ia mengusulkan untuk membuat suatu pedoman inti yang melihat Islam secara komprehensif. Gagasan tersebut untuk pengenalan Islam secara komprehensif, dengan melihat Islam dari berbagai aspeknya diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional untuk pengajaran Islam. Pemikiran Harun saat itu dianggap tidak lazim dan pada awal mulanya menjadi kontroversi. Bagi sebagian kalangan utamanya mereka yang terdidik dalam pola fikir tradisional, pandangan-pandangan Harun Nasution dianggap tidak bersesuaian dengan pola pemikirn tradisional dan ini terjadi karena dipengaruhi oleh konsep-konsep Barat.[33]
Perubahan kurikulum dilakaukan diantaranya dengan menambah tiga mata kuliah yang dipandang sangat penting waktu itu, yaitu 1) metodologi penelitian filsafat, agama dan sosial, 2) agama, filsafat dan sains, dan 3) isu-isu global. Mata kuliah tersebut diajarkan dengan pendekatan intregratif dan interkonektif.
Ketiga mata kuliah ini menjadi bagian utama untuk melakukan integrasi dan interkoneksi yang dimulai dengan menata metodologinya terlebih dahulu, dengan menyatukan mata kuliah metodologi penelitian filsafat, agama dan sosial, yang diajarkan oleh masing-masing ahli di bidangnya, dengan harapan integrasi dan interkoneksi itu bisa dikembangkan dengan landasan metodologi yang mantap. Pada hakikatnya konsep integrasi dan interkoneksi harus dimulai dari integrasi dan interkoneksi metodologinya. Tanpa dasar metodologi yang kuat, maka integrasi dan interkoneksi hanya akan menjadi hal mengawang-awang, tidak jelas dan tidak pernah bisa membumi.
Kemudian mata kuliah agama, budaya dan sains diajarkan dengan tujuan untuk melihat sesuatu masalah dari pendekatan lintas agama, budaya dan sains, sehingga integrasi dan interkoneksi dengan sendirinya akan terbentuk dan terbawa dalam melihat setiap masalah kehidupan dan kemanusiaan. Matakuliah ini sangat penting, karena mata kuliah ini diharapkan dapat mengembangkan paradigma integrasi dan interkoneksi melalui pembentukan tradisi akademik yang berdimensi lintas agama, lintas budaya dan lintas sains, dan ini menjadi tuntutan menjawab problematika kontemporer yang tidak bisa didekati hanya dengan pendekatan tunggal keilmuan. Masalah kemiskinan, kesejahteraan dan perdamian tidak bisa dipecahkan dengan pendekatan tunggal, baik ekonomi semata-mata, demikian juga pendekatan tunggal sosial, politik, budaya mau pun agama.
Selanjutnya mata kuliah isu-isu global ditambahkan sebagai aktualisasi paradigma integrasi dan interkoneksi secara praksis untuk memahami, mendalami dan menganalisis problematika global sebagai fenomena aktual masa kini yang sudah merupakan fenomena global, yang mau tidak mau, pendekatan integrasi dan interkoneksi itu mutlak dipergunakan. Tanpa integrasi dan interkoneksi keilmuan, kita tidak mungkin dapat memahami dan memecahkan masalah-masalah global.[34]
2.        Jaringan Sekolah Islam Terpadu (SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung)
Sekolah Islam Terpadu merupakan fenomena yang banyak muncul di kota-kota besar akhir-akhir ini. Berawal dari lima satuan sekolah dasar yang berdiri pada 1993 di wilayah Jabodetabek, sekolah Islam terpadu (SIT) telah berkembang pesat di seluruh Indonesia. Hingga 2013, jumlah sekolah yang berada dalam Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia mencapai 1.926 unit sekolah. Yakni, terdiri atas  879 unit TK, 723 unit SD, 256 unit SMP, dan 68 unit SMA.[35]
Ketua JSIT Indonesia Sukro Muhab mengungkapkan, pada Republika bahwa inspirasi membangun sekolah Islam bermutu didorong keinginan mendirikan sekolah yang bebas dari sekularisme. Yakni, sekolah yang mengintegrasikan pendidikan umum dan agama dalam suatu jalinan kurikulum, pembelajaran, dan lingkungan terpadu.
Tingginya minat masyarakat menyekolahkan putra-putrinya di SIT, menurut Sukro, tak lepas dari tiga kunci utama keberhasilan proses pendidikan di SIT. Pertama, niat dan dedikasi pendidik di SIT berpijak pada motif menggapai ridha Allah SWT semata.  Kedua, kepercayaan dan harapan yang tinggi dari orang tua kepada SIT. Ketiga, dukungan masyarakat, pemerintah, dan pihak lain bagi kebangkitan sekolah Islam bermutu.
Kini, perkembangan sekolah Islam menjadi tren yang fenomenal di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Hal itu ditandai dengan munculnya semangat menolak fenomena sekularisme dalam filosofi pendidikan. Seorang peneliti dari  Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura,mengungkapkan, SIT menolak dikotomi antara pendidikan agama dan sekuler. Peneliti itu menambahkan, SIT berkembang di kota-kota besar dan diminati kalangan menengah ke atas.[36]. salah satu dari Sekolah dalam naungan JSIT adalah SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ida Fiteriani meneukan beberapa temuan sebagai berikut: [37]
Pertama, SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung dalam penyelenggaraan pendidikan memiliki landasan ideologis, konstitusional, dan operasional yang menjadi pedoman sekolah. Landasan ideologis adalah nilai-nilai yang bersumber pada Al-Qur’an dan As Sunnah. Landasan konstitusional adalah seluruh ketentuan dan perundangan nasional yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan serta peraturan institusi JSIT. Kemudian landasan operasional adalah prinsip-prinsip pengelolaan dan pelaksanaan program-program dan kegiatan sekolah yang disesuaikan dengan standar mutu SIT.
Kedua, kurikulum yang dirumuskan di SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung sudah jelas konstruk, sistematika, dan tahapannya atau sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Dalam aplikasinya, SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung menerapkan pendekatan pembelajaran yang memadukan pendidikan umum dan pendidikan agama (Islam) menjadi satu jalinan kurikulum. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari struktur kurikulum SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung yang menggambarkan suatu sistem bangunan keilmuan yang menunjukkan keseimbangan antara muatan ilmu agama (‘ilmu diniyah) dengan ilmu dunia (‘ilmu dunya).
Ketiga, kurikulum di SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung adalah sebagai berikut:
  1. Intrakurikuler umum meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Daerah, Sains, Matematika, KTK, CPS (IPS, PPKN), dan Penjaskes.
  2. Intrakurikuler khusus meliputi: Tahsin (Abatatsa), Tahfidz, Bahasa Arab, Do’a dan Hadist.
  3. Kukurikuler wajib ”kepanduan”.
  4. Ekstrakurikuler meliputi: Tahfidz, Kaligrafi, Melukis, Karate, Teater, Renang, Bola Kaki.
Keempat, Dari sudut telaah metodologis pembelajaran, implementasi integrasi kurikulum di SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung terlihat dari semua kegiatan pembelajaran di sekolah mulai dari aktivitas belajar di dalam kelas hingga aktivitas belajar di luar kelas, seperti melakukan kegiatan ekstrakurikuler tidak terlepas dari ajaran dan pesan nilai-nilai Islam.
Dengan kata lain tidak ada dikotomi, tidak ada keterpisahan, tidak ada “sekulerisasi” antar mata-mata pelajaran namun semua pokok bahasan materi pelajaran tidak terlepas dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Dalam hal ini, misalnya pelajaran umum, seperti matematika, IPA, IPS, bahasa, jasmani/kesehatan, keterampilan dibingkai dengan pijakan, pedoman, dan panduan Islam. Sementara untuk pelajaran agama, kurikulum diperkaya dengan pendekatan konteks kekinian dan kemanfaatan dan kemaslahatan.
Dari pelaksanaan pendidikan di atas, tidak ada pemisahan antara materi umum dan materi agama, namun semuanya terpadu dan menyatu secara sinergis. Dari sini tampak semangat integrasi keilmuan yang dilakukan bukan hanya semata menunjukkan hubungan “dialogis keilmuan” namun hingga pada pengintegrasian yang komprehensif dan aktual. Dapat dikatakan pula, proses pembelajaran materi umum dan materi Islam tidak terfragmentasi antara ilmu-ilmu qauliyah dan ilmu-ilmu kauniyah.
Kesimpulannya, berdasarkan pemaparan data tentang pelaksanaan integrasi ilmu pada SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung, dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis model integrasi ilmu yang diimplementasikan mengacu pada model purifikasi. Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian. Dengan kata lain, proses Islamisasi berusaha menyelenggarakan pendidikan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam secara kaffah, lawan dari berislam yang parsial. Kemudian pula commitment dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam segala aspek kehidupan,
3.        Trensains (SMA Trensains Darul Ihsan Muhammadiyah dan SMA Trensains Tebuireng)
Trensains adalah kependekan dari PESANTREN SAINS yang merupakan sintetis dari pesantren dan sekolah umum bidang sains. Trensains merupakan lembaga pendidikan setingkat SMA yang merupakan proyek baru di Indonesia, bahkan mungkin di dunia Islam Sunni, karena kegiatan utamanya adalah mengkaji dan meneliti ayat-ayat semesta yang terkandung di dalam Al Quranul Karim dan Hadis Nabawi.[38]
SMA Trensains Darul Ihsan Muhammdiyah Sragen atau disingkat “SMA Trensains Dimsa” merupakan proyek pertama yang mengawali lahirnya ide Pesantren Sains. Telah dilaunching pada 1 Muharram 1435 H/ 5 November 2013 oleh PP. Muhammadiyah yang diwakili oleh Dr.H. Abdul Mu’ti, M.Ed dan Kreator Trensains Dr. Agus Purwanto (Saintis Fisika Teori alumnus Universitas Hirosima Jepang).[39]
Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah menjelaskan bahwa Trensains adalah alternatif penyelesai masalah dikotomi ilmu agama dan sains. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berkemajuan, sudah mulai menyatukan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sains.[40]
Trensains tidak menggabungkan materi pesantren dan ilmu umum sebagaimana ponpes modern. Trensains mengambil kekhususan pada pemahaman al-Quran, sains kealaman (natural science) dan interaksinya. Poin terakhir, interaksi antara agama dan sains merupakan materi khas trensains dan tidak ada dalam ponpes modern.
Kemampuan bahasa Arab dan bahasa Inggris menjadi kemampuan dasar bagi para santri. Selain menjadi alat komunikasi, di Trensains bahasa Arab juga digunakan sebagai alat analisis awal dalam menalar ayat-ayat al-Quran khususnya ayat-ayat kauniyah.
Trensains juga membimbing para santrinya untuk mempunyai kemampuan nalar matematik dan filsafat yang memadai. Konsep dasar limit, diferensial dan integral perlu diperkenalkan sebagai alat analisis dan memahami konsep fisika. Nalar dan spirit filosofis diperlukan untuk berfikir runut, tuntas dan mendasar. Sejarah filsafat Yunani awal memperlihatkan spirit pemikiran paling awal tentang alam dan realitas. Sejarah aliran pemikiran perlu diperkenalkan untuk memahami adanya aneka cara pandang atas alam yang pada akhirnya para santri mampu memilah konsep sains yang bertabrakan dengan Islam dan yang tidak. Filsafat menjadi niscaya ketika dialektika agama dan sains diperkenalkan. Kita tahu, selama ini filsafat dihindari di pesantren sehingga masuknya filsafat di dalam trensains bisa menjadi penanda babak baru pesantren.
Jika umumnya pesantren mengharapkan alumninya menjadi ulama syariah (hukum Islam), maka proyeksi alumni Trensains adalah lahirnya ulama-ulama yang memiliki spesialisasi dibidang sains kealaman, teknolog, dan dokter yang mempunyai basis al-Quran, kedalaman filosofis serta keluhuran akhlak.[41]
Selain Sentrains yang berlokasi di Sragen, muncul juga Trensains yang berada di Pondok Pesantren Tebuireng 2 di Jombang.
Kurikulum SMA Trensains Tebuireng merupakan gabungan dari tiga kurikulum yaitu kurikulum nasional, kurikulum internasional (Cambridge), dan kurikulum kearifan pesantren sains. Kurikulum tersebut diberi nama Kurikulum Semesta. Kurikulum semesta merupakan hasil dari adapt-adop ketiga kurikulum  diatas. Kurikulum semesta menghendaki pada setiap santri agar dapat mempelajari dan mengembangkan sains yang berlandaskan Al Qur’an.
Dalam struktur kurikulum SMA Trensains terdiri dari 3 kelompok  mata pelajaran yaitu  kelompok mata pelajaran wajib (11 SKS) , kelompok mata pelajaran peminatan (110 SKS), dan kelompok mata pelajaran kearifan pesantren sains (14 SKS).
Kelompok mata pelajaran wajib terdiri atas mata pelajaran bahasa inggris, bahasa indonesia, PKN, sejarah, PJOK, dan Prakarya. Sedangkan kelompok mata pelajaran peminatan terdiri dari mata pelajaran Sains yaitu kimia, fisika, biologi, dan matematika. Adapun kelompok mata pelajaran kearifan pesantren terdiri dari mata pelajaran filsafat, bahasa arab, aswaja, ushulul fiqh, ullumul hadist, ullumul Qur’an, dan pelajaran al Qur’an dan sains. [42]
Singkat kata, Trensains bukanlah konsep sekolah yang hanya menggabungkan materi Pesantren dengan ilmu umum, seperti halnya pesantren modern. Trensains mengambil kekhususan pada pemahaman Al Qur'an, Al Hadist dan Sains kealaman (natural science) dan interaksinya. Poin terakhir, interaksi antara agama dan sains merupakan materi khas Trensains yang tidak ada pada pesantren modern.
Kemampuan bahasa arab dan inggris menjadi prasyarat dasar di institusi ini, selain para santri juga dituntut mempunyai kemampuan nalar matematik dan filsafat yang memadai. Proyeksi kedepan bagi para alumni TRENSAINS adalah ilmuwan sains kealaman, teknolog, dan dokter yang mempunyai basis al qur’an yang kokoh.[43]
E. Kesimpulan
Benar apa kata Imam Suprayogo, bahwa sesungguhnya tidak sulit mengintegrasikan antara apa yang disebut dengan agama dan ilmu (sains). Melalui Al-Qur’an dan al-Hadits akan diperoleh penjelasan dan petunjuk tentang alam dan jagat manusia, yang selanjutnya dapat dijadikan titik tolak (starting point) untuk melakukan eksperimentasi, observasi, dan juga kontemplasi. Demikian pula, hasil-hasil kajian ilmiah bisa digunakan untuk memperluas wawasan dalam rangka memahami kitab suci maupun hadits nabi tersebut.[44]
Pendidikan yang merupakan instrumen terbaik dalam melakukan perubahan peradaban harus banyak berperan aktif. Tidak hanya terbatas pada level Perguruan Tinggi yang belakangan mulai banyak sadar diri akan perlunya integrasi, melainkan juga pada pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan non formal pun sebisa mungkin ikut andil dalam membumikan konsep tersebut. Sehingga upaya meningkatkan kualitas peradaban Islam bisa menyentuh ke akar rumput.
Namun upaya serius dan terstruktur dalam penyusunan kurikulum yang mengintegrasikan antara Islam dan sains perlu terus dilakukan. Sehingga landasan pemikiran yang menjadi pegangan pengembangan sistem pendidikan integrasi Islam dan sains benar-benar teruji, tidak asal jadi. Meskipun, juga jangan sampai idealisme dalam penyusunan konsep yang menghadirkan perdebatan tak berujung terus terjadi. Karena hanya akan membuang waktu di tengah ketertinggalan pendidikan Islam dari pendidikan sekitar.
Apa yang telah dilakukan beberapa institusi pendidikan dalam menyetting pengembangan pendidikan berbasis integrasi Islam dan sains adalah belum final adanya. Inovasi-inovasi harus terus dilakukan menuju konsep dan epistimologi yang lebih ideal. Tidak cukup sekedar dengan menambah prodi-prodi keilmuan Fardlu Kifayah maupun dengan menjadikan integrasi ilmu sebagai ‘nilai jual’ sekolah, Integrasi sistem pendidikan Islam dan sains harus menjadi motor penggerak munculnya ilmuwan-ilmuwan Muslim di era sekarang.  Yang tidak sekuler, tidak pula radikal.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin dkk. Integrasi Sains-Islam: Mempertemukan Epistimologi Islam dan Sains. Yogyakarta: Pilar Religia, 2004.
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Abdurrahman dan Muhammad ‘Imaduddin, Mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunnah Tentang IPTEK. Jakarta: GIP, 1997.
Al-Attas, Naquib.  Islam dan Sekularisasi, Terj. Karsidjo. Bandung: Pustaka, 1981.
Al-Faruqi, Ismael R., Islamisasi Pengetahuan, Terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka,1995.
Darajat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Fiteriani, Ida. “Analisis Model Integrasi Ilmu Dan Agama Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Sekolah Dasar Islam Bandar Lampung”, Terampil, 2. Januari 2014.
Gofur, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Insan Media Group, 2010.
Handrianto, Budi. Islamisasi Sains. Jakarta: Al-Kautsar, 2010.
Jabali, Fuad dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.
Muhaimin,  Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2011.
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2011.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Muhaimin. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Nuansa, 2003.
Mujib, Abdul. Abdul Mujib. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009.
Sholeh, A. Khudori. Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013
Sholihin, Mohammad Muchlis. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Islam”. Tadris, 3. 2008.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Rosdakarya, 2007
Suprayogo, Imam. Universitas Islam Unggul, Refleksi Pemikiran Pengembangan Kelembagaan dan Reformulasi Paradigma Keilmuan Islam. Malang: UIN Malang Press, 2009.
Tim Pokja Akademik, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2004.
Zar, Sirajudin. Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Quran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
trensains.lazismu.org
tvmu.tv
uin-suka.ac.id
www.smatrensains.coml
www.smatrensains.sch.id



[1]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa: 2003), hlm. 31
[2] Muhaimin,  Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 69
[3] Sirajudin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Quran (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 28
[4]Sirajudin Zar,  Konsep Penciptaan Alam, hlm. 28-29
[5]Abdurrahman dan Muhammad ‘Imaduddin, Mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunnah Tentang IPTEK (Jakarta: GIP, 1997), hlm. 72
[6]Kemdikbud, http://www.kemdikbud.go.id/ diakses 11 Oktober 2015
[7]Ida Fiteriani “Analisis Model Integrasi Ilmu Dan Agama Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Sekolah Dasar Islam Bandar Lampung”, Terampil, 2 (Januari 2014), hlm. 2 -3
[8] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, hlm. 36
[9]Fuad Hasan, Landasan Integrasi Interkoneksi, http://rahasiauin.blogspot.co.id/2012/11/bab-vi-landasan-integrasi-interkoneksi_15.html, diakses 10 Oktober 2015
[10]M. Amin Abdullah dkk, Integrasi Sains-Islam: Mempertemukan Epistimologi Islam dan Sains (Yogyakarta: Pilar Religia, 2004), hlm. 12
[11] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: Rosdakarya, 2007), hlm. 15
[12] Tim Pokja Akademik, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2004)
[13]Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 28
[14]Amin Abdullah, Integrasi Sains-Islam, hlm.
[15]Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm.
[16]Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 243
[17]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 242
[18] Amin Abdullah, Integrasi Sains-Islam, hlm. 123
[19] Mohammad Muchlis Sholihin, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Islam”, Tadris, 3 (2008), hlm. 15-16
[20]A. Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013) hlm. 296
[21]Ismael R. Al-Faruqi , Islamisasi Pengetahuan, Terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka,1995.), hlm. 98
[22]Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisasi, Terj. Karsidjo (Bandung: Pustaka, 1981), hlm. 44
[23]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, hlm 339
[24]Ida Fiteriani “Analisis Model Integrasi Ilmu Dan Agama Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Sekolah Dasar Islam Bandar Lampung”, Terampil, 2 (Januari 2014), hlm. 13 – 14
[25]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, hlm. 339
[26]Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 10
[27]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, hlm. 340
[28]Abdul Gofur, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Insan Media Group, 2010), hlm. 48
[29]Ida Fiteriani “Analisis Model Integrasi Ilmu Dan Agama Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Sekolah Dasar Islam Bandar Lampung”, Terampil, 2 (Januari 2014), hlm. 16
[30]Budi Handrianto, Islamisasi Sains (Jakarta: Al-Kautsar, 2010), hlm. 208
[31] Tim Pokja Akademik, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 3-4
[32]M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 405
[33]Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 42-43
[34]Prof. Dr. H. Musa Asy’arie, “Paradigma Integrasi dan Interkoneksi Dalam Perspektif Filsafat Islam”, http://uin-suka.ac.id/page/kolom/detail/30/paradigma-integrasi-dan-interkoneksi-dalam-perspektif-filsafat-islam, diakses tanggal 10 Oktober 2015
[35]Heri Ruslan, “10 Tahun JSIT Indonesia Bangun Pendidikan Lewat SIT“, http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/01/31/n08dcm-10-tahun-jsit-indonesia-bangun-pendidikan-lewat-sit , diakses tanggal 10 Oktober 2015
[36]Heri Ruslan, “10 Tahun JSIT Indonesia Bangun Pendidikan Lewat SIT“
[37]Ida Fiteriani “Analisis Model Integrasi Ilmu Dan Agama Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Sekolah Dasar Islam Bandar Lampung”, Terampil, 2 (Januari 2014)
[38]Makna Trensains, http://www.smatrensains.com/p/makna-trensains-trensains-adalah.html  diakses tanggal 10 Oktober 2015
[39] Sejarah Trensains, http://www.smatrensains.com/p/sejarah.html  diakses tanggal 10 Oktober 2015
[40]http://tvmu.tv/2015/06/din-trensains-alternatif-penyelesai-dikotomi-ilmu-agama-dan-sains/ disampaikan saat dalam acara peletakan batu pertama pembangunan gedung SMA Trensains Muhammadiyah Sragen, di desa Dawe, Banaran, Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah
[42]Kurikulum SMA Trensains, http://www.smatrensains.sch.id/p/kurikulum_22.html, diakses 10 Oktober 2015
[44] Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul, Refleksi Pemikiran Pengembangan Kelembagaan dan Reformulasi Paradigma Keilmuan Islam (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 169

1 comment: