A. Pendahuluan
Ide
tentang integrasi Islam dan sains belakangan ini sering didengungkan seiring
dengan keinginan sebagian besar umat Islam untuk meningkatkan mutu pendidikan
Islam yang selama ini dirasa masih tertinggal. Disamping itu kemerosotan moral
yang menjangkit dunia pendidikan diduga salah satunya disebabkan minimnya siswa
tersentuh sisi afektif, mata pelajaran umum adalah profan dan netral
dilihat dari sudut religi.
Memang pada dasarnya, Islam
tidak mendikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Pada era golden age (masa keemasan) islam
periode Abbasiyah, kedua ilmu pengetahuan ini tetap terintegrasi hingga
kemudian di buyarkan oleh redupnya dinamika peradaban Islam menyusul terjadinya
spesialisasi ilmu pengetahuan modern yang bersembunyi di balik politik kolonialisasi dan imperialisasi
dunia islam.
Seiring perkembangan zaman, gagasan ilmu
pengetahuan yang integratif bergaung kembali dalam berbagai konsep, semisal
islamisasi ilmu pengetahuan, saintifikasi Al-Qur’an, objektifikasi ajaran islam dan lain-lain. Keseluruhan
konsep ini, grand theme sebenarnya menghendaki atau mengidealkan ilmu
pengetahuan islam tidak sekedar menjadi media dakwah, tapi di kembalikan kepada
koetentikanya sebagai sistem ilmu pengetahuan yang memiliki fungsi
transformatif dan responsif terhadap isu-isu modern sejalan dengan tuntutan
kebutuhan aktual masyarakat.
Maka sudah barang tentu konsep integrasi tersebut perlu diterapkan dan dikembangkan dalam dunia
pendidikan, yang
merupakan instrumen terbaik dalam membangun peradaban.. Untuk
itu praktik pendidikan Islam harus mengembangkan integrasi ilmu untuk
menjadikan pendidikan lebih menyeluruh (integral holistik). Karena pada hakikatnya,
Islam tidak pernah mengenalkan- istilah dualisme-dikotomik keilmuan seperti
itu. Dua macam keilmuan; umum dan agama, ditempatkan pada posisi dan porsi yang
berimbang
B. Landasan Pengembangan
Sistem Pendidikan Berbasis Integrasi Islam dan Sains
Dari
hasil telaah Muhaimin menyimpulkan bahwa dikotomi ilmu pengetahuan hingga
memunnculkan islamisasi ilmu pengetahuan (pendidikan) merupakan saah satu dari
empat wacana yang berkembang dalam pemikiran pengembangan Islam saat ini. [1]
Maka tentu diperlukan landasan yang kuat dalam upaya merubah pandangan
dikotomis pada ide integrasi Islam dan sains.
Beberapa
hal yang
melandasi pentingnya
melakukan pengembangan sistem pendidikan yang mengintegrasikan Islam dan sains adalah sebagai
berikut:
1. Landasan
Normatif-Teologis,
Dilihat
dari aspek normatif-teologis, doktrin Islam pada dasarnya mengajarkan kepada
pemeluknya untuk memasuki islam secara kaffah (menyeluruh)
sebagai lawan dari berIslam yang parsial (QS Al-Baqarah [2]: 208). Islam yang
kaffah menggarisbawahi terwadahinya berbagai aspek kehidupan dalam Islam.
Ajaran
tersebut mengandung makna bahwa untuk menjadi aktor beragama yang loyal, concern
dan commitment dalam menjaga dan
memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam segala aspek kehidupannya, serta
bersedia dan mampu berdedikasi sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan dan
bidang keahliannya masing-masing dalam perspektif Islam untuk kepentingan
kemanusiaan.
Takwa
ini terwujud dalam dua sikap, yaitu itba’ syari’at Allah (mengikuti fundamental
doctrine dan fundamental values
yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah) dan sekaligus itba’
sunnatillah (mengikuti aturan-aturan dan hukum-hukum Allah SWT yang berlaku di
alam semesta)[2]
Thanthawy
Jauhary dalam al-Jawahir fiy Tafsir Al-Quran menjelaskan bahwa dalam
Al-Qur’an terdapat penjelasan tentang alam semesta dan fenomena-fenomenanya
secara eksplisit tidak kurang dari 750 ayat.[3]
Pada umumnya ayat-ayat ini memerintahkan
manusia untuk memperhatikan, mempelajari dan meneliti alam semesta..
Bahkan ajakan Al-Qur’an diatas dialamatkan kepada seluruh manusia tanpa
membedakan warna kulit, profesi, waktu dan tempat.[4]
Perintah untuk melakukan penelitian
(suatu kegiatan yang
penting di dalam pengembangan sains), secara umum dapat dilihat antara lain
dalam firman-Nya pada surat Yunus, ayat ke-101 “Katakanlah Muhammad:
lakukanlah nadzor (penelitian dengan menggunakan metode ilmiah) mengenai
apa-apa yang ada di langit dan bumi.
Perintah lebih khusus terdapat dalam
surat al-Ghosiyah, ayat ke-17–20 yang artinya: “Apakah mereka tidak
memperhatikan onta, bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana
ia ditinggikan. Dan gunung, bagaimana ia ditancapkan. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan”. Ayat-ayat tersebut merupakan ayat-ayat metode ilmiah, yang
memerintahkan kepada umat manusia untuk selalu meneliti. Kegiatan
penelitian yang mencakup pengamatan, pengukuran, dan analisa data telah membawa
perubahan besar dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk ilmu
matematika. “niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu amalkan”. (Q.S. Al Mujadilah : 11)[5]
2. Landasan
Yuridis
Termaktub
di dalam rumusan muqadimah UUD 1945, Pasal 28 ayat 1 UUD 1945, Pasal 31 UUD
1945, dan Pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun
2003 dinyatakan dengan tegas bahwa pelaksanaan pendidikan berorientasi pada
tujuan pembentukan manusia Indonesia yang seutuhnya, yaitu manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung
jawab.
Pada
konteks ini, kurikulum sebagai ruh pendidikan haruslah mengusung nilai dan
pesan Islam sebagai ruh dalam setiap kegiatan sekolah. Maksudnya, desain
kurikulum harus mengintegrasikan nilai kauniyah dan
qauliyah dalam bangunan kurikulum, yang terimplementasi bukan semata
mempelajari materi-materi Islam dalam konteksnya sebagai ‘ulum syar’iyah (fiqh,
ibadah, akhlaq, dan aqidah), melainkan diporsikan sebagai pelajaran agama Islam
yang mampu memberikan kerangka pengetahuan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan
dalam konteks kehidupan masa kini dan masa akan datang.
Maka
merujuk pada kurikulum 2013, dapat diketahui bahwa struktur kurikulum satu
missal di SD/MI lalu dirampingkan menjadi delapan, yaitu Pendidikan Agama dan
Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia,
Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan
Prakarya, dan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan[6]
Ditinjau
dari aspek epistemologik religius, strukturisasi dan klasifikasi kurikulum di
atas menunjukkan masih ada dikotomi keilmuan antara pelajaran umum dan
pelajaran agama. Pelajaran umum, seperti PKn, matematika, IPA, IPS, dan
seterusnya, sedangkan pelajaran agama, seperti al-Qur’an Hadis, Aqidah. Akhlak,
Fiqh, dan SKI, di mana seakan-akan muatan religius itu hanya ada pada mata
pelajaran-mata pelajaran agama, sementara mata pelajaran umum semuanya adalah profan
dan netral dilihat dari sudut religi
Seharusnya,
dalam sistem pendidikan yang terintegrasi, tidak ada pengkotak-kotakkan ilmu ke
wilayah umum dan agama, walau klasifikasi ilmu ke dalam ilmu eksakta, ilmu
sosial, dan ilmu humaniora tetap saja ada, namun pengklasifikasian dilakukan
terhadap objek ilmu-ilmu itu sendiri, bukan pengklasifikasian dari segi peran
dan fungsinya.[7]
3. Landasan
Historis
Menurut Harun Nasution, ketika
kerajaan-kerajaan Eropa di Barat mengalami kemajuan serta mulai mengadakan penetrasi ke dunia Islam di Timur dan pada
abad 19 sebagian besar dunia Islam berada di bawah kolonialisme Barat, maka
pemikiran-pemikiran Barat banyak masuk ke dunia Islam dan berpengaruh dalam
bidang kehidupan. Pemikiran Barat yang ketika itu banyak dipengaruhi oleh paham
sekularisme, termasuk lembaga pendidikan di Indonesia yang banyak diwarnai oleh
sistem pendidikan kolonial Belanda, yang lebih menekankan pada pendidikan
intelektual dan mengabaikan pendidikan agama. Setelah dunia Islam memerdekakan
diri dari kolonialisme tersebut, maka sistem pendidikan itu tidak banyak
mengalami perubahan, sehingga peserta didik yang dihasilkannya tidak sesuai
dengan jiwa Islam.[8]
Disisi yang lain, kaum Islam
tradisional juga terjebak pada isolasi diri terhadap keilmuan yang dikaji.
Pandangan bahwa ilmu agama (seperti tafsir, fiqih dan hadits) merupakan jalan
tol menuju Tuhan masih terus melekat. Sehingga penyelidikan ilmiah lebih lanjut
terhadap kajian-kajian Islam mengalami kemandegan. Perkembangan sains dan
teknologi yang sedemikian pesat kurang direspon dengan inovasi-inovasi
kurikulum. Alhasil hal ini berdampak pada kurangnya kegunaan keilmuan yang
dipelajari, karena kurang bisa menjawab tantangan hidup masyarakat modern.
Pada abad akhir ini tekanan dari
ilmu-ilmu agama mulai berkurang bahkan hampir tidak ada. Berkurangnya tekanan ilmu-ilmu
agama, menyebabkan berkembangnya ilmu-ilmu umum secara pesat. Tidak adanya sentuhan agama pada
ilmu-ilmu umum, mengakibatkan ilmu-ilmu umum berkembang dengan mengabaikan
norma-norma agama dan etika kemanusiaan.[9]
Bertolak dari
perkembangan keilmuan di atas, pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu
agama maupun ilmu-ilmu sains
harus berjalan
beriringan, tidak boleh satu disiplin ilmu mendominasi disiplin ilmu yang lain.
Dengan memadukan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, tujuan akhir dari
ilmu pengetahuan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan
menjaga kelestarian alam dapat tercapai.
4.
Landasan Filosofis
Secara ontologis, obyek studi
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum memang dapat dibedakan. Ilmu-ilmu agama
mempunyai obyek wahyu, sedangkan
ilmu-ilmu umum mempunyai obyek alam semesta beserta isinya. Tetapi kedua
obyek tersebut sama-sama berasal dari Tuhan (Allah SWT), sehingga pada
hakekatnya antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, ada kaitan satu dengan
yang lain.
Secara epistemologis, ilmu-ilmu agama (islam) dibangun dengan pendekatan
normatif, sedangkan ilmu-ilmu umum dibangun dengan pendekatan empiris. Tetapi,
wahyu yang bersifat benar mutlak itu sesuai dengan fakta empiris. Dengan demikian baik pendekatan
normatif maupun pendekatan empirik, kedua-duanya digunakan dalam membangun
ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum.[10]
Secara aksiologis, ilmu-ilmu umum bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup di dunia, sedangkan ilmu-ilmu agama bertujuan untuk
mensejahterakan kehidupan umat manusia di dunia dan akhirat. Sehingga ilmu-ilmu
umum perlu diberi sentuhan ilmu-ilmu agama sehingga tidak hanya kebahagiaan
dunia yang diperoleh tetapi juga kebahagiaan di akhirat.
5. Landasan
Psikologis
Manusia merupakan subyek dalam
kehidupan, sebab sebagai makhluk ciptaa Tuhan dialah yang selalu melihat,
bertanya, berpikir dan mempelajari segala sesuatu yang ada dalam kehidupannya.[11]
Potensi dari
Allah aspek psikologis yang harus dicapai Hadlarah al-Nash hati
Iman/Aqidah yang kuat Hadlarah al-’Ilm akal Ilmu/wawasan yang luas,
Hadlarah al-Falsafah Jasad/ badan Amal/kinerja yang produktif.
Sosok insane muslim yang
diharapkan yaitu memiliki iman dan aqidah yang kuat, tertanam menghunjam dalam
hati yang kokoh. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas,
tidak hanya keilmuan di bidangnya saja. Memiliki amal dan kenerja yang produktif, memberi
kemanfaatan kepada lingkungan masyarakatnya.
Pertentangan ketiga ranah/domain
tersebut dalam diri seseorang dapat menimbulkan keterpecahan kepribadian (personality
disorder / split personality) Terjadi konflik antara yang diyakini dengan yang dipikirkan
juga dengan yang dihadapi dalam realitas kehidupan “Wahai orang-orang yang
beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan”. (Ash-Shof : 2-3) [12]
C. Pengertian
Pengembangan
Sistem Pendidikan Berbasis Integrasi Islam Dan Sains
Pendidikan
diartikan sebagai latihan mental, moral dan fisik yang bisa menghasilkan
manusia berbudaya tinggi maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas
(kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan bagi
manusia menyerupai makanan yang berfungsi memberi vitamin bagi pertumbuhan
manusia.
Ajaran
islam tidak memisahkan antara iman dan amal saleh. Oleh karena itu pendidikan
islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Dan karena ajaran
islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju
kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka pendidikan islam adalah
pendidikan individu dan pendidikan masyarakat. [13]
Kata
ilmu pengetahuan atau sains dalam bahasa Indonesia mempunyai beberapa padanan
kata dalam bahasa asing antara lain; science (dalam bahasa Inggris), wissenscaft
(Jerman) atau wetenschap (Belanda).[14]
Sains secara harfiah adalah Ilmu yang teratur (sistematik) yang dapat diuji
kebenarannya. Juga bermakna Ilmu yang berdasarkan kebenaran atau kenyataan
semata (fisika, kimia dan biologi). [15]
Sedangkan
secara istilah, Sains pada hakikatnya adalah teorisasi tehadap fenomena alam
jagad raya, khususnya fenomena alam yang bersifat fisik kebendaan yang dapat
dikuantitatifkan. Singkatnya sains adalah ilmu pengetahuan ilmiah tentang alam jagad
raya yang bersifat fisik, seperti matematika, fisika, biologi astronomi,
kedokteran, dan sebagainya.[16]
Sedang dalam Kamus Pelajar Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama, kata integrasi memiliki pengertian penyatuan hingga
menjadi kesatuan yg utuh atau bulat.
Jadi
Integrasi Islam dan sains adalah usaha menggabungkan atau menyatupadukan
ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu-ilmu umum dan agama pada kedua bidang
tersebut. Karena dengan integrasi, ilmu akan jelas arahnya, yakni mempunyai ruh
yang jelas untuk selalu mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebajikan,
bukan sebaliknya menjadi alat dehumanisasi, eksploitasi, dan destruksi alam.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa yang menjadi substansi sentral dari pelaksanaan
integrasi Islam dan sains adalah meletakkan prinsip-prinsip tauhid sebagai
landasan epistemologi ilmu pengetahuan dan tidak mengadopsi begitu saja
ilmu-ilmu dari Barat yang bersifat sekuler, materialistis, dan rasional
empiris. Dalam hal ini, Islam memandang ilmu tidaklah bebas nilai, namun sarat
dengan nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan.
A. Pola dan
Model Pengembangan Sistem Pendidikan Berbasis Integrasi
Islam Dan Sains
Era
Globalisasi menuntut adanya perubahan paradigma dalam memandang peserta didik,
guru dan sekolah.
Untuk bisa bertahan hidup (survive) di era globalisasi, mereka harus
mengembangkan kemampuan ganda, yaitu: etos kerja, melek teknologi, melek ilmu
ekonomi, melek ilmu sosial, melek ilmu politikdan melek budaya.[17]
Maka
di era sekarang tugas manusia (termasuk di dalamnya peserta didik) sebagai khalifah Allah fil ardh atau
sebagai ‘wakil Allah di muka bumi’ akan bisa dilaksanakan bila kemampuan di
atas dikuasai secara komprehensif. Tentu saja
dengan memelihara, melestarikan serta membudayakan ciptaan Allah. [18]
Dan hal tersebut tidak akan tercapai, bila tanpa menguasai ilmu keislaman dan
sains sekaligus.
Secara substantif ide integrasi
Islam dan sains atau juga dikenal dengan istilah Islamisasi Ilmu telah muncul abad ke-19, yaitu ketika Syah Waliyallah dan
Sir Sayyid Ahmad Khan yang mendirikan Universitan Aligarth. Kedua
tokoh ini mempelopori kebangkitan pemikiran dan pengetahuan yang berorientasi kepada Islam dan sekaligus
bercorak modern.[19]
Akan
tetapi nomanklatur Islamisasi Ilmu
sendiri baru ada pada abad ke-20 dan mulai secara serius dirumuskan ketika
adanya konferensi The International Isntitue of Islamic Tought (IIIT),
oleh Ismail Raji al-Faruqi[20].
Beliau memulai pokok pikirannya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dengan
mengaitkan pertama kali dengan kekalahan dan keterbelakangan umat Islam dalam
menghadapi dominasi dan kemajuan dunia Barat. Kekalahan-kekalahan itu
mengakibatkan kaum muslimin dibantai, dirampas kekayaannya, dirampas hak-hak
dan kehidupannya. Mereka disekulerkan, diwesternisasikan, dijauhkan dari agamanya
oleh agen-agen musuh mereka.
Sebagai
jawaban atas persoalan-persoalan umat Islam sebagaimana di atas, penting adanya
langkah-langah perbaikan. Al-Faruqi merekomendasikan pentingnya pemaduan
pendidikan yang bersifat profan dengan pendidikan Islam. Dualisme pendidikan
yang terjadi di kalangan umat Islam pada saat ini harus ditiadakan setuntasnya.
Kedua sistem pendidikan tersebut harus dipadukan dan diintegrasikan, sehingga
dapat melengkapi dan menutupi kekurangan masing-masing. Integrasi pendidikan
sekuler dan pendidikan Islam harus menghasilkan sebuah sistem pendidikan yang
sesuai dengan visi agama Islam.
Secara
terinci al Faruqi memberikan langkah-langkah teknis dalam upaya Islamisasi
pengetahuan, yaitu:
- Penguasan disiplin ilmu modern:
penguraian kategoris.
- Survei disiplin ilmu
- Penguasaan khazanah Islam: sebuah
antologi.
- Penguasaan khazanah ilmiah Islam :
tahap analisa.
- Penentuan relevansi Islam yang khas
terhadap disiplin ilmu
- Penilaian kritis terhadap ilmu
pengetahuan modern; Tingkat perkembangannnya di masa kini.
- Survei permasalahan yang dihadapi
umat Islam.
- Survei permasalahan yang dihadapi
oleh umat manusia.
- Analisa kreatif dan sintesa.
- Penuangan kembali disiplin ilmu
modern ke dalam kerangka Islam: Buku-buku daras tingkat universitas.
- Penyebarluasan ilmu yang telah
di-Islamisasikan[21]
Sedangkan
Al-Attas, yang juga
dianggap sebagai pelopor Islamisasi Ilmu, mendefinisikan proses
Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai pembebasan manusia dari unsur magis, mitologi, animisme, dan tradisi
kebudayaan kebangsaan serta
dari penguasaan sekuler atas akal dan bahasanya. Ini berarti pembebasan akal
atau pemikiran dari pengaruh pandangan hidup yang diwarnai oleh kecenderungan
sekuler, primordial, dan mitologis.[22]
Khudori Sholeh mengatakan bahwa
sebenarnya lembaga pendidikan Islam telah melakukan integrasi tersebut meskipun
dalam pengertian sederhana. Lembaga
Sementara
itu, proses integrasi ilmu dalam penyelenggaraan pendidikan secara filosofis
dapat dilakukan dengan bermacam model. Menurut Muhaimin, Islamisasi pengetahuan
yang bisa dikembangkan
dalam menatap globalisasi dapat dilakukan dengan tiga model islamisasi
pengetahuan, yaitu model Purifikasi, Modernisasi Islam, dan Neo-Modernisme.[23]
1.
Model Purifikasi
Purifikasi
bermakna pembersihan atau penyucian. Dalam arti ia berusaha menyelengggarakan
penyucian ilmu pengetahuan agar sesuai, sejalan dan tidak bertentangan dengan
norma Islam. Dengan kata lain, proses Islamisasi berusaha menyelenggarakan
pendidikan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam secara kaffah, lawan dari
berislam yang parsial. Kemudian pula commitment dalam menjaga dan
memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam segala aspek kehidupan.[24]
Gagasan
Al-Faruqi dan Al-Attas dapat dikategorikan ke dalam Purifikasi. Juga bias
dicermati pada empat langkah kerja dari model Islamisasi Pengetahuan yang
direkomendasikan oleh Al-Faruq, yaitu: (a) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan
muslim, (b) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan masa kini, (c) indentifikasi
kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam kaitannya dengan ideal Islam,
dan (d) rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi suatu paduan yang selaras
dengan wawasan dan ideal Islam.[25]
2.
Model Modernisasi Islam
Modernisasi
berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunnatullah. Model ini berangkat
dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam yang disebabkan oleh
sempitnya pola pikir dalam memahami agamanya, sehingga sistem pendidikan Islam
dan ilmu pengetahuan agama Islam tertinggal jauh dari bangsa non-muslim.
Islamisasi disini cenderung mengembangkan pesan Islam dalam proses perubahan
sosial, perkembangan IPTEK, adaptif terhadap perkembangan zaman tanpa harus
meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dan proses modernisasi.[26]
Modernisasi
berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang hak. Untuk
melangkah modern, umat Islam dituntut memahami hukum alam (perintah Allah swt)
sebelumnya yang pada giliran berikutnya akan melahirkan ilmu pengetahuan.
Modern berarti bersikap ilmiah, rasional, menyadari keterbatasan yang dimiliki
dan kebenaran yang didapat bersifat relatif, progresif-dinamis, dan senantiasa
memiliki semangat untuk maju dan bangun dari keterpurukan dan ketertinggalan.
Dalam
kata lain, seorang modernis seringkali berupaya memahami ajaran-ajaran yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan hanya semata-mata mempertimbangkan kondisi dan tantangan
sosio-historis yang dihadapi masyarakat muslim kontemporer. Ia tidak sabar
untuk kembali menekuni khazanah intelektual Islam klasik, namun potong kompas
meloncat dari nash langsung kepada peradaban modern.[27]
3.
Model Neo-Modernisme
Model
ini berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung
dalam al-Quran dan al-Hadits dengan mempertimbangkan khazanah intelektual
Muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang
ditawarkan iptek.[28]
Islamisasi
model ini bertolak dari landasan metodologis; (a) persoalan-persoalan
kotemporer umat harus dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil ijtihad
para ulama terdahulu hingga sunnah yang merupakan hasil penafsiran terhadap
al-Quran, (b) bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan
kehidupan kotemporer, maka selanjutnya menelaah konteks sosio-historis dari
ayat-ayat al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad ulama tersebut, (c) melalui
telaah historis akan terungkap pesan moral al-Quran sebenarnya yang merupakan
etika sosial al-Quran, (d) dari etika sosial al-Quran itu selanjutnya diamati
relevansi dengan umat sekarang berdasarkan bantuan hasil studi yang cermat dari
ilmu pengetahuan atas persoalan yang dihadapi umat tersebut.( Ahmad Baihaki.
2010 : 28)
Dari
ketiga model Islamisasi di atas, kesemuanya bertujuan untuk memutuskan mata
rantai dikotomi ilmu pengetahuan guna menghindari keberlanjutan praktik
dikhotomi ilmu ini dalam dunia pendidikan yang berakibat pada terhambatnya
kebebasan melakukan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik.
Kemudian
dari sudut metodologis langkah yang harus ditempuh adalah perumusan ulang
epistemologi ilmu melalui kajian filsafat. Dengan filsafat akan dirumuskan
sosok rancang bangun keilmuan (body of knowledge) sebagai pijakan untuk
merumuskan jenis ilmu dan nomenklaturnya. Atas dasar prinsip dan metode
tersebut, implementasi integrasi kurikulum di lembaga pendidikan Islam ada beberapa
hal yang harus dilakukan: (1) mengembangkan paradigma
rasional-empiris-transendental secara sinergis, (2) berorientasi dan terikat
kepada nilai (value bound), dan (3) menghilangkan sikap ambivalensi atas sistem
dan praktik pendidikan Islam dan ilmu-ilmu yang diajarkan agar tidak ada lagi
pandangan dikotomis.
Secara
teknis, implementasi integrasi keilmuan tersebut dalam konteks pembelajaran
dimulai dengan model kurikulum integratif (integrated curriculum), yaitu
kurikulum yang didesain dan dilaksanakan dengan mengedepankan berbagai
perspektif, terangkum dalam berbagai pengalaman belajar yang menjangkau
berbagai ranah pengetahuan sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Sesuai
tujuan integrasi, maka desain kurikulum ini adalah menggabungkan dua komponen
ilmu agama dan ilmu umum menjadi satu dalam struktur kurikulum yang utuh dan
komprehensif.
Adapun
metode/strategi yang digunakan untuk mencapai hal tersebut adalah (1) melalui
penggabungan (fusion) antara beberapa topik menjadi satu paket kajian. (2) memasukkan
sub disiplin keilmuan ke dalam induknya menjadi satu kesatuan (within one
subject). (3) menghubungkan satu topik dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang
diajarkan dalam jam atau kelas yang berbeda (multidisciplinary). (4) kajian
antara suatu topik dengan menggunakan berbagai perspektif (comparative
perspective), dan (5) mengaitkan suatu topik dengan nilai-nilai, peristiwa, dan
isu-isu mutakhir (current issue) yang sedang berkembang (transdisciplinary).
Implementasi
lima metode tersebut dilaksanakan dengan kaidah dan dalam bingkai korelasi
(correlation) dan harmonisasi (harmonization). Artinya, dalam dan untuk
mewujudkan kurikulum integratif tersebut, baik pada level konsep maupun
implementasi, harus selalu berpegang pada prinsip dan kaidah korelasi dan
harmonisasi. Dengan demikian, ragam perspektif, pengalaman, pendekatan, dan
bidang keilmuan tersebut harus tetap memiliki keterkaitan antara satu dengan
lainnya, tidak saling bertentangan justru sebaliknya saling mengisi dan
melengkapi.[29]
D.
Potret
Lembaga yang Mengembangan Sistem Pendidikan Berbasis Integrasi Islam Dan Sains
Beberapa
institusi pendidikan sudah mencoba menerapkan sitem pendidikan berbasis
integrasi dan sains. Masing-masing punya corak dan karakteristik yang berbeda,
terilhami ilmuwan tertentu dalam menafsiri islamisasi ilmu. Seperti INSIST yang
merupakan penjabaran ide-ide Al-Attas. Demikian pula islamisasi sains yang
banyak dikembangkan oleh UIN Malang lebih banyak mengacu pada konsep
justifikasi terutama yang selama ini dikembangkan oleh Bucaille. [30]
Berikut
akan kami paparkan profil tiga institusi pendidikan yang berproses menerapkan
integrasi Islam dan Sains, tentunya dengan tanpa mengesampingkan institusi lain
yang juga menerapkan konsep serupa. Yang pertama UIN Sunan Kalijaga, sebagai representasi
pendidikan inggi. Kedua, Jaringan Sekolah Islam Terpadu, sebagai representasi
pendidikan dasar dan menengah. Dan ketiga, Trensains sebagai representasi
pendidikan pesantren.
1.
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Pengembangan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga menjadi Unversitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga secara yuridis formal telah final dengan
ditandatanganinya Kepres Nomor 50 Tahun 2004 pada tanggal 21 Juni 2004 oleh
Presiden R.I Megawati Soekarnoputri. Terkait dengan upaya pengembangan ini,
maka secara akademik diperlukan rumusan kerangka dasarkeilmuan yang menjadi
paradigm bagi pengembangan seluruh program studi.
Belajar
dari kelemahan PTAI dan juga Perguruan Tinggi Umum, UIN harus melakukan upaya
pengembangan keilmuan dan kurikulum yang diharapkan mampu meminimalisir
semaksimal mungkin kelemahan dari kedua model pendidikan pendidikan tersebut,
sehingga UIN memiliki identitas yang kuat dan karakteristik keilmuan yang
berbeda dari yang lain. Bila UIN selama ini focus pada kajian ilmu-ilmu
keislaman (Islamic Studies) dengan pendekatan yang cenderung eksklusif tanpa
membuka diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang lain, maka UIN perlu
mengembangkan keilmuan dan kurikulum yang gayut dan padu dengan ilmu-ilmu lain,
sehingga setudi Islam tidak lagi menjadi sebuah entitas tersendiri yang
terpisah dengan entitas keilmuan yang lain.
UIN
sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam, perlu mengubah realitas
tersebut dengan upaya pengembangan keilmuan dan kurikulum dengan menggunakan
pendekatan integratif dan interkonektif yaitu pendekatan yangmenempatkan
wilayah agama dan ilmu, serta antar ilmu saling menyapa satudengan yang lainnya
sehingga menjadi satu bangunan yang utuh. Dengandemikian semua matakuliyah yang
dikembangkan di UIN Sunan Kalijaga tidak lagi berdiri sendiri, melainkan
berkaitan dengan matakuliah yang lain untuk saling melengkapi dan
menyempurnakan. Pendekatan yang menghubungkan antara ilmu agama dengan ilmu
social, ilmu humaniora, dan ilmu kealaman dijadikan pola bersama yang
metodologinya akan terus-menerus dikembangkan.
Dengan
pendekatan integratif dan interkonektif tersebut UIN diharapkan menjadi pelopor
dalam upaya menjembatani dikotomi ilmu pengetahuan yang sudah demikian
menyejarah untuk mencapai ilmu pengetahuan yang integratif
dan interkonektif, yang pada gilirannya mengantarkan alumni yang disamping
professional dan berpandangan luas, juga etis sekaligus humanis.[31]
Model-model
integrasi-interkoneksi Amin Abdullah yang diterapkan di UIN Sunan Kalijaga, yaitu:
1. Informatif , Suatu disiplin ilmu memberikan informasi kepada disiplin
ilmu yang lain. Misalnya: Ilmu Islam (Al-qur’an) memberikan informasi
kepada ilmu saintek bahwa matahari memancarkan cahaya sedangkan bulan
memantulkan cahaya (Q.S. Yunus: 5)
2. Konfirmatif (klarifikatif), Suatu
disiplin ilmu memberikan penegasan kepada disiplin ilmu lain. Contoh: Informasi
tentang tempat-tempat (manaazil) matahari dan bumi dalam Q.S. Yunus: 5,
dipertegas oleh ilmu saintek (orbit bulan mengelilingi matahari berbentuk
elips).
3. Korektif , Suatu disiplin ilmu mengoreksi disiplin ilmu yang
lain. Contoh: Teori Darwin yang mengatakan bahwa manusia-kera-tupai
mempunyai satu induk, dikoreksi oleh Al-qur’an.
Gambar 1: Skema Tiga Lingkaran Integrasi Interkoneksi
Skema tiga lingkaran terkait ini
merupakan proyek keilmuan yang didengungkan oleh visi dan misi perubahan IAIN
ke UIN. Perubahan IAIN menjadi universitas Islam merupakan langkah positif
dalam rangka pengembangan jangkauan wilayah studi keislaman. Hal ini berarti
jangkauan ilmu-ilmu Islam menjadi semakin luas. Skema di atas menunjukkan bahwa
masing-masing bangunan sektor keilmuan menyadari akan kekurangan-kekurangan
yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerjasama
dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh gugusan ilmu lain
untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri
sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya. Diperlukan upaya yang
sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu dengan kesediaan
mengorbankan kepentingan egoisme sektoral keilmuan sehingga yang terlihat
adalah mengedepankan kebersamaan dalam ilmu pengetahuan.[32]
Bangunan keilmuan yang selalu
terkait selaras dan sejajar tersebut menjadi icon percontohan aplikasi
keilmuannya yakni di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang saat itu dipimpin oleh
tokoh pencetus ide interkonesi dan integrasi. Jika dibandingkan dengan bangunan
keilmuan yang berkembang di UIN Jakarta melalui figur sentral Harun Nasution,
kajian Islam di IAIN masih terbatas hanya pada pengajaran agama yang fiqh
oriented. Disamping itu pengajaran agama baik filsafat, tasawuf maupun
sejarah terbatas pada pemikiran tokoh-tokoh tertentu saja. Pemahaman Islam yang
demikian itu parsial dan hanya melihat Islam secara sempit saja. Oleh karena
itu ia mengusulkan untuk membuat suatu pedoman inti yang melihat Islam secara
komprehensif. Gagasan tersebut untuk pengenalan Islam secara komprehensif,
dengan melihat Islam dari berbagai aspeknya diintegrasikan ke dalam kurikulum
nasional untuk pengajaran Islam. Pemikiran Harun saat itu dianggap tidak lazim
dan pada awal mulanya menjadi kontroversi. Bagi sebagian kalangan utamanya
mereka yang terdidik dalam pola fikir tradisional, pandangan-pandangan Harun
Nasution dianggap tidak bersesuaian dengan pola pemikirn tradisional dan ini
terjadi karena dipengaruhi oleh konsep-konsep Barat.[33]
Perubahan kurikulum dilakaukan
diantaranya dengan menambah tiga mata kuliah yang dipandang sangat penting
waktu itu, yaitu 1) metodologi penelitian filsafat, agama dan sosial, 2) agama,
filsafat dan sains, dan 3) isu-isu global. Mata kuliah tersebut diajarkan
dengan pendekatan intregratif dan interkonektif.
Ketiga mata kuliah ini menjadi
bagian utama untuk melakukan integrasi dan interkoneksi yang dimulai dengan
menata metodologinya terlebih dahulu, dengan menyatukan mata kuliah metodologi
penelitian filsafat, agama dan sosial, yang diajarkan oleh masing-masing ahli
di bidangnya, dengan harapan integrasi dan interkoneksi itu bisa dikembangkan
dengan landasan metodologi yang mantap. Pada hakikatnya konsep integrasi dan
interkoneksi harus dimulai dari integrasi dan interkoneksi metodologinya. Tanpa
dasar metodologi yang kuat, maka integrasi dan interkoneksi hanya akan menjadi
hal mengawang-awang, tidak jelas dan tidak pernah bisa membumi.
Kemudian mata kuliah agama, budaya
dan sains diajarkan dengan tujuan untuk melihat sesuatu masalah dari pendekatan
lintas agama, budaya dan sains, sehingga integrasi dan interkoneksi dengan
sendirinya akan terbentuk dan terbawa dalam melihat setiap masalah kehidupan
dan kemanusiaan. Matakuliah ini sangat penting, karena mata kuliah ini
diharapkan dapat mengembangkan paradigma integrasi dan interkoneksi melalui
pembentukan tradisi akademik yang berdimensi lintas agama, lintas budaya dan
lintas sains, dan ini menjadi tuntutan menjawab problematika kontemporer yang
tidak bisa didekati hanya dengan pendekatan tunggal keilmuan. Masalah
kemiskinan, kesejahteraan dan perdamian tidak bisa dipecahkan dengan pendekatan
tunggal, baik ekonomi semata-mata, demikian juga pendekatan tunggal sosial,
politik, budaya mau pun agama.
Selanjutnya mata kuliah isu-isu
global ditambahkan sebagai aktualisasi paradigma integrasi dan interkoneksi
secara praksis untuk memahami, mendalami dan menganalisis problematika global
sebagai fenomena aktual masa kini yang sudah merupakan fenomena global, yang
mau tidak mau, pendekatan integrasi dan interkoneksi itu mutlak dipergunakan.
Tanpa integrasi dan interkoneksi keilmuan, kita tidak mungkin dapat memahami
dan memecahkan masalah-masalah global.[34]
2.
Jaringan
Sekolah Islam Terpadu (SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung)
Sekolah
Islam Terpadu merupakan fenomena yang banyak muncul di kota-kota besar
akhir-akhir ini. Berawal dari lima satuan sekolah dasar yang berdiri pada 1993
di wilayah Jabodetabek, sekolah Islam terpadu (SIT) telah berkembang
pesat di seluruh Indonesia. Hingga 2013, jumlah sekolah yang berada
dalam Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia mencapai 1.926
unit sekolah. Yakni, terdiri atas 879 unit TK, 723 unit SD, 256 unit SMP,
dan 68 unit SMA.[35]
Ketua
JSIT Indonesia Sukro Muhab mengungkapkan, pada Republika bahwa inspirasi
membangun sekolah Islam bermutu didorong keinginan mendirikan sekolah yang
bebas dari sekularisme. Yakni, sekolah yang mengintegrasikan pendidikan umum
dan agama dalam suatu jalinan kurikulum, pembelajaran, dan lingkungan terpadu.
Tingginya
minat masyarakat menyekolahkan putra-putrinya di SIT, menurut Sukro, tak lepas
dari tiga kunci utama keberhasilan proses pendidikan di SIT. Pertama, niat dan
dedikasi pendidik di SIT berpijak pada motif menggapai ridha Allah SWT
semata. Kedua, kepercayaan dan harapan yang tinggi dari orang tua kepada
SIT. Ketiga, dukungan masyarakat, pemerintah, dan pihak lain bagi kebangkitan
sekolah Islam bermutu.
Kini,
perkembangan sekolah Islam menjadi tren yang fenomenal di kawasan Asia
Tenggara, khususnya Indonesia. Hal itu ditandai dengan munculnya semangat
menolak fenomena sekularisme dalam filosofi pendidikan. Seorang peneliti
dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura,mengungkapkan,
SIT menolak dikotomi antara pendidikan agama dan sekuler. Peneliti itu
menambahkan, SIT berkembang di kota-kota besar dan diminati kalangan menengah
ke atas.[36].
salah satu dari Sekolah dalam naungan JSIT adalah SDIT Permata Bunda 3 Bandar
Lampung.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Ida Fiteriani meneukan beberapa temuan sebagai
berikut: [37]
Pertama,
SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung dalam penyelenggaraan pendidikan memiliki
landasan ideologis, konstitusional,
dan operasional yang menjadi pedoman sekolah. Landasan ideologis adalah
nilai-nilai yang bersumber pada Al-Qur’an dan As Sunnah. Landasan
konstitusional adalah seluruh ketentuan dan perundangan nasional yang terkait
dengan penyelenggaraan pendidikan serta peraturan institusi JSIT. Kemudian
landasan operasional adalah prinsip-prinsip pengelolaan dan pelaksanaan
program-program dan kegiatan sekolah yang disesuaikan dengan standar mutu SIT.
Kedua,
kurikulum yang dirumuskan di SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung sudah jelas
konstruk, sistematika, dan tahapannya atau sesuai dengan tingkat perkembangan
anak. Dalam aplikasinya, SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung menerapkan
pendekatan pembelajaran yang memadukan pendidikan umum dan pendidikan agama
(Islam) menjadi satu jalinan kurikulum. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari
struktur kurikulum SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung yang menggambarkan suatu
sistem bangunan keilmuan yang menunjukkan keseimbangan antara muatan ilmu agama
(‘ilmu diniyah) dengan ilmu dunia (‘ilmu dunya).
Ketiga,
kurikulum di SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung adalah sebagai berikut:
- Intrakurikuler umum meliputi: Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris, Bahasa Daerah, Sains, Matematika, KTK, CPS (IPS, PPKN),
dan Penjaskes.
- Intrakurikuler khusus meliputi: Tahsin
(Abatatsa), Tahfidz, Bahasa Arab, Do’a dan Hadist.
- Kukurikuler wajib ”kepanduan”.
- Ekstrakurikuler meliputi: Tahfidz, Kaligrafi,
Melukis, Karate, Teater, Renang, Bola Kaki.
Keempat,
Dari sudut telaah metodologis pembelajaran, implementasi integrasi kurikulum di
SDIT Permata Bunda 3 Bandar Lampung terlihat dari semua kegiatan pembelajaran
di sekolah mulai dari aktivitas belajar di dalam kelas hingga aktivitas belajar
di luar kelas, seperti melakukan kegiatan ekstrakurikuler tidak terlepas dari
ajaran dan pesan nilai-nilai Islam.
Dengan
kata lain tidak ada dikotomi, tidak ada keterpisahan, tidak ada “sekulerisasi”
antar mata-mata pelajaran namun semua pokok bahasan materi pelajaran tidak
terlepas dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Dalam hal ini, misalnya pelajaran
umum, seperti matematika, IPA, IPS, bahasa, jasmani/kesehatan, keterampilan
dibingkai dengan pijakan, pedoman, dan panduan Islam. Sementara untuk pelajaran
agama, kurikulum diperkaya dengan pendekatan konteks kekinian dan kemanfaatan
dan kemaslahatan.
Dari
pelaksanaan pendidikan di atas, tidak ada pemisahan antara materi umum dan
materi agama, namun semuanya terpadu dan menyatu secara sinergis. Dari sini
tampak semangat integrasi keilmuan yang dilakukan bukan hanya semata
menunjukkan hubungan “dialogis keilmuan” namun hingga pada pengintegrasian yang
komprehensif dan aktual. Dapat dikatakan pula, proses pembelajaran materi umum
dan materi Islam tidak terfragmentasi antara ilmu-ilmu qauliyah dan ilmu-ilmu
kauniyah.
Kesimpulannya,
berdasarkan pemaparan data tentang pelaksanaan integrasi ilmu pada SDIT Permata
Bunda 3 Bandar Lampung, dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis model integrasi
ilmu yang diimplementasikan mengacu pada model purifikasi. Purifikasi bermakna
pembersihan atau penyucian. Dengan kata lain, proses Islamisasi berusaha
menyelenggarakan pendidikan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam secara
kaffah, lawan dari berislam yang parsial. Kemudian pula commitment dalam
menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam segala aspek
kehidupan,
3.
Trensains (SMA Trensains Darul Ihsan
Muhammadiyah dan SMA Trensains Tebuireng)
Trensains adalah kependekan dari
PESANTREN SAINS yang merupakan sintetis dari pesantren dan sekolah umum bidang
sains. Trensains merupakan lembaga pendidikan setingkat SMA yang merupakan
proyek baru di Indonesia, bahkan mungkin di dunia Islam Sunni, karena kegiatan
utamanya adalah mengkaji dan meneliti ayat-ayat semesta yang terkandung di
dalam Al Quranul Karim dan Hadis Nabawi.[38]
SMA
Trensains Darul Ihsan Muhammdiyah Sragen atau disingkat “SMA
Trensains Dimsa” merupakan proyek pertama yang mengawali lahirnya ide
Pesantren Sains. Telah dilaunching pada 1 Muharram 1435 H/ 5 November 2013 oleh
PP. Muhammadiyah yang
diwakili oleh Dr.H. Abdul Mu’ti, M.Ed dan Kreator Trensains Dr. Agus Purwanto
(Saintis Fisika Teori alumnus Universitas Hirosima Jepang).[39]
Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PP
Muhammadiyah menjelaskan bahwa Trensains adalah alternatif penyelesai masalah
dikotomi ilmu agama dan sains. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang
berkemajuan, sudah mulai menyatukan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sains.[40]
Trensains tidak menggabungkan materi
pesantren dan ilmu umum sebagaimana ponpes modern. Trensains mengambil
kekhususan pada pemahaman al-Quran, sains kealaman (natural science) dan
interaksinya. Poin terakhir, interaksi antara agama dan sains merupakan materi
khas trensains dan tidak ada dalam ponpes modern.
Kemampuan bahasa Arab dan bahasa
Inggris menjadi kemampuan dasar bagi para santri. Selain menjadi alat
komunikasi, di Trensains bahasa Arab juga digunakan sebagai alat analisis awal
dalam menalar ayat-ayat al-Quran khususnya ayat-ayat kauniyah.
Trensains juga membimbing para
santrinya untuk mempunyai kemampuan nalar matematik dan filsafat yang memadai.
Konsep dasar limit, diferensial dan integral perlu diperkenalkan sebagai alat
analisis dan memahami konsep fisika. Nalar dan spirit filosofis diperlukan
untuk berfikir runut, tuntas dan mendasar. Sejarah filsafat Yunani awal
memperlihatkan spirit pemikiran paling awal tentang alam dan realitas. Sejarah
aliran pemikiran perlu diperkenalkan untuk memahami adanya aneka cara pandang
atas alam yang pada akhirnya para santri mampu memilah konsep sains yang
bertabrakan dengan Islam dan yang tidak. Filsafat menjadi niscaya ketika
dialektika agama dan sains diperkenalkan. Kita tahu, selama ini filsafat
dihindari di pesantren sehingga masuknya filsafat di dalam trensains bisa
menjadi penanda babak baru pesantren.
Jika umumnya pesantren mengharapkan
alumninya menjadi ulama syariah (hukum Islam), maka proyeksi alumni Trensains
adalah lahirnya ulama-ulama yang memiliki spesialisasi dibidang sains kealaman,
teknolog, dan dokter yang mempunyai basis al-Quran, kedalaman filosofis serta
keluhuran akhlak.[41]
Selain Sentrains yang berlokasi di
Sragen, muncul juga Trensains yang berada di Pondok Pesantren Tebuireng 2 di
Jombang.
Kurikulum SMA Trensains Tebuireng
merupakan gabungan dari tiga kurikulum yaitu kurikulum nasional, kurikulum
internasional (Cambridge), dan kurikulum kearifan pesantren sains. Kurikulum
tersebut diberi nama Kurikulum Semesta. Kurikulum semesta merupakan hasil dari
adapt-adop ketiga kurikulum diatas.
Kurikulum semesta menghendaki pada setiap santri agar dapat mempelajari dan
mengembangkan sains yang berlandaskan Al Qur’an.
Dalam struktur kurikulum SMA
Trensains terdiri dari 3 kelompok mata
pelajaran yaitu kelompok mata pelajaran
wajib (11 SKS) , kelompok mata pelajaran peminatan (110 SKS), dan kelompok mata
pelajaran kearifan pesantren sains (14 SKS).
Kelompok mata pelajaran wajib
terdiri atas mata pelajaran bahasa inggris, bahasa indonesia, PKN, sejarah,
PJOK, dan Prakarya. Sedangkan kelompok mata pelajaran peminatan terdiri dari
mata pelajaran Sains yaitu kimia, fisika, biologi, dan matematika. Adapun
kelompok mata pelajaran kearifan pesantren terdiri dari mata pelajaran
filsafat, bahasa arab, aswaja, ushulul fiqh, ullumul hadist, ullumul Qur’an,
dan pelajaran al Qur’an dan sains. [42]
Singkat
kata, Trensains bukanlah konsep sekolah yang hanya menggabungkan
materi Pesantren dengan ilmu umum, seperti halnya pesantren modern. Trensains mengambil
kekhususan pada pemahaman Al Qur'an, Al Hadist dan Sains kealaman (natural
science) dan interaksinya. Poin terakhir, interaksi antara agama dan sains
merupakan materi khas Trensains yang tidak ada pada pesantren modern.
Kemampuan
bahasa arab dan inggris menjadi prasyarat dasar di institusi ini, selain para
santri juga dituntut mempunyai kemampuan nalar matematik dan filsafat yang
memadai. Proyeksi kedepan bagi para alumni TRENSAINS adalah ilmuwan sains
kealaman, teknolog,
dan dokter yang mempunyai basis al qur’an yang kokoh.[43]
E. Kesimpulan
Benar apa kata Imam Suprayogo, bahwa
sesungguhnya
tidak sulit mengintegrasikan antara apa yang disebut dengan agama dan ilmu
(sains). Melalui Al-Qur’an dan al-Hadits akan diperoleh penjelasan dan petunjuk
tentang alam dan jagat manusia, yang selanjutnya dapat dijadikan titik tolak
(starting point) untuk melakukan eksperimentasi, observasi, dan juga kontemplasi.
Demikian pula, hasil-hasil kajian ilmiah bisa digunakan untuk memperluas
wawasan dalam rangka memahami kitab suci maupun hadits nabi tersebut.[44]
Pendidikan
yang merupakan instrumen terbaik dalam melakukan perubahan peradaban harus
banyak berperan aktif. Tidak hanya terbatas pada level Perguruan Tinggi yang
belakangan mulai banyak sadar diri akan perlunya integrasi, melainkan juga pada
pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan non formal pun sebisa mungkin ikut
andil dalam membumikan konsep tersebut. Sehingga upaya meningkatkan kualitas
peradaban Islam bisa menyentuh ke akar rumput.
Namun
upaya serius dan terstruktur dalam penyusunan kurikulum yang mengintegrasikan
antara Islam dan sains perlu terus dilakukan. Sehingga landasan pemikiran yang
menjadi pegangan pengembangan sistem pendidikan integrasi Islam dan sains
benar-benar teruji, tidak asal jadi. Meskipun, juga jangan sampai idealisme
dalam penyusunan konsep yang menghadirkan perdebatan tak berujung terus
terjadi. Karena hanya akan membuang waktu di tengah ketertinggalan pendidikan
Islam dari pendidikan sekitar.
Apa yang telah dilakukan beberapa
institusi pendidikan dalam menyetting pengembangan pendidikan berbasis
integrasi Islam dan sains adalah belum final adanya. Inovasi-inovasi harus
terus dilakukan menuju konsep dan epistimologi yang lebih ideal. Tidak cukup sekedar dengan menambah prodi-prodi
keilmuan Fardlu Kifayah maupun dengan menjadikan integrasi ilmu sebagai ‘nilai
jual’ sekolah, Integrasi sistem pendidikan Islam dan sains harus menjadi motor
penggerak munculnya ilmuwan-ilmuwan Muslim di era sekarang. Yang tidak sekuler, tidak pula radikal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin dkk. Integrasi Sains-Islam:
Mempertemukan Epistimologi Islam dan Sains. Yogyakarta:
Pilar Religia, 2004.
Abdullah,
M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
Abdurrahman dan Muhammad ‘Imaduddin, Mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunnah
Tentang IPTEK. Jakarta: GIP, 1997.
Al-Attas,
Naquib. Islam dan Sekularisasi, Terj. Karsidjo. Bandung: Pustaka,
1981.
Al-Faruqi,
Ismael R., Islamisasi Pengetahuan,
Terj. Anas Mahyudin.
Bandung: Pustaka,1995.
Darajat,
Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Depdikbud,
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Fiteriani, Ida. “Analisis Model Integrasi Ilmu Dan
Agama Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Sekolah Dasar Islam Bandar Lampung”,
Terampil, 2. Januari 2014.
Gofur,
Abdul. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Insan Media Group, 2010.
Handrianto,
Budi. Islamisasi Sains. Jakarta: Al-Kautsar, 2010.
Jabali,
Fuad dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2002.
Muhaimin,
Pemikiran dan Aktualisasi
Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2011.
Muhaimin,
Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta:
Rajawali Press, 2011.
Muhaimin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah Dan
Perguruan Tinggi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Muhaimin.
Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan
Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Nuansa, 2003.
Mujib,
Abdul. Abdul Mujib. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010.
Nata,
Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009.
Sholeh,
A. Khudori. Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2013
Sholihin,
Mohammad Muchlis. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam Pendidikan
Islam”. Tadris, 3. 2008.
Sukmadinata,
Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Rosdakarya,
2007
Suprayogo,
Imam. Universitas Islam Unggul, Refleksi Pemikiran Pengembangan Kelembagaan
dan Reformulasi Paradigma Keilmuan Islam. Malang: UIN Malang Press, 2009.
Tim
Pokja Akademik, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum.
Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2004.
Zar,
Sirajudin. Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Quran.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
trensains.lazismu.org
tvmu.tv
uin-suka.ac.id
www.smatrensains.coml
www.smatrensains.sch.id
[1]Muhaimin, Arah Baru
Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga
Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa: 2003), hlm. 31
[2] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan
Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 69
[3] Sirajudin Zar,
Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Quran (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 28
[4]Sirajudin Zar, Konsep Penciptaan Alam, hlm. 28-29
[5]Abdurrahman dan Muhammad ‘Imaduddin, Mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunnah Tentang IPTEK (Jakarta: GIP, 1997), hlm. 72
[6]Kemdikbud, http://www.kemdikbud.go.id/
diakses 11 Oktober 2015
[7]Ida Fiteriani “Analisis Model Integrasi
Ilmu Dan Agama Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Sekolah Dasar Islam Bandar
Lampung”, Terampil, 2 (Januari 2014), hlm. 2 -3
[8] Muhaimin, Arah Baru
Pengembangan Pendidikan Islam, hlm. 36
[9]Fuad Hasan, Landasan Integrasi
Interkoneksi, http://rahasiauin.blogspot.co.id/2012/11/bab-vi-landasan-integrasi-interkoneksi_15.html,
diakses 10 Oktober 2015
[10]M. Amin Abdullah dkk, Integrasi Sains-Islam:
Mempertemukan Epistimologi Islam dan Sains (Yogyakarta: Pilar Religia, 2004),
hlm. 12
[11] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan
Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: Rosdakarya, 2007), hlm. 15
[12] Tim Pokja Akademik, Kerangka
Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga, 2004)
[13]Zakiah Darajat, Ilmu
Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 28
[15]Depdikbud, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm.
[16]Abuddin Nata, Ilmu
Pendidikan Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 243
[17]Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 242
[19] Mohammad Muchlis Sholihin,
“Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Islam”, Tadris, 3
(2008), hlm. 15-16
[20]A. Khudori Soleh, Filsafat
Islam dari Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013) hlm. 296
[21]Ismael
R. Al-Faruqi , Islamisasi Pengetahuan, Terj.
Anas Mahyudin (Bandung:
Pustaka,1995.), hlm.
98
[23]Muhaimin, Arah Baru
Pengembangan Pendidikan Islam, hlm 339
[24]Ida Fiteriani “Analisis Model
Integrasi Ilmu Dan Agama Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Sekolah Dasar Islam
Bandar Lampung”, Terampil, 2 (Januari 2014), hlm. 13 – 14
[25]Muhaimin, Arah Baru
Pengembangan Pendidikan Islam, hlm. 339
[26]Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 10
[27]Muhaimin, Arah Baru
Pengembangan Pendidikan Islam, hlm. 340
[28]Abdul Gofur, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Insan Media Group, 2010), hlm. 48
[29]Ida Fiteriani “Analisis Model
Integrasi Ilmu Dan Agama Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Sekolah Dasar Islam
Bandar Lampung”, Terampil, 2 (Januari 2014), hlm. 16
[30]Budi Handrianto,
Islamisasi Sains (Jakarta: Al-Kautsar, 2010), hlm. 208
[31] Tim Pokja Akademik, Kerangka
Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 3-4
[32]M. Amin
Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), hlm. 405
[33]Fuad Jabali dan
Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2002), hlm. 42-43
[34]Prof. Dr. H. Musa Asy’arie,
“Paradigma Integrasi dan Interkoneksi Dalam Perspektif Filsafat Islam”, http://uin-suka.ac.id/page/kolom/detail/30/paradigma-integrasi-dan-interkoneksi-dalam-perspektif-filsafat-islam,
diakses tanggal 10 Oktober 2015
[35]Heri Ruslan, “10 Tahun JSIT
Indonesia Bangun Pendidikan Lewat SIT“, http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/01/31/n08dcm-10-tahun-jsit-indonesia-bangun-pendidikan-lewat-sit
, diakses tanggal 10 Oktober 2015
[36]Heri Ruslan, “10 Tahun JSIT
Indonesia Bangun Pendidikan Lewat SIT“
[37]Ida Fiteriani “Analisis Model
Integrasi Ilmu Dan Agama Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Sekolah Dasar Islam
Bandar Lampung”, Terampil, 2 (Januari 2014)
[38]Makna Trensains, http://www.smatrensains.com/p/makna-trensains-trensains-adalah.html diakses tanggal 10 Oktober 2015
[40]http://tvmu.tv/2015/06/din-trensains-alternatif-penyelesai-dikotomi-ilmu-agama-dan-sains/
disampaikan saat dalam acara peletakan batu pertama
pembangunan gedung SMA Trensains Muhammadiyah Sragen, di desa Dawe, Banaran,
Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah
[41]Makna Trensains http://www.smatrensains.com/p/makna-trensains-trensains-adalah.html
diakses 10 Oktober 2015
[42]Kurikulum SMA Trensains, http://www.smatrensains.sch.id/p/kurikulum_22.html,
diakses 10 Oktober 2015
[44]
Imam
Suprayogo, Universitas Islam Unggul, Refleksi Pemikiran Pengembangan Kelembagaan
dan Reformulasi Paradigma Keilmuan Islam (Malang: UIN Malang Press, 2009),
hlm. 169
https://saglamproxy.com
ReplyDeletemetin2 proxy
proxy satın al
knight online proxy
mobil proxy satın al
R6FS