BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan Bahasa Arab sudah dimulai sejak di
sekolah tingkat dasar (ibtidaiyah). Pendidikan itu dilanjutkan di sekolah
menengah tingkat pertama (tsanawiyah). Aktivitas pembelajaran berjalan
biasa-bisaa saja. Kalau ada masalah pada tingkat ini tidak begitu mendapat
perhatian, karena segera dimaklumi bahwa pelajaran bahasa Arab belum mendapat
perhatian begitu serius untuk pelajar setingkat ini. Di samping itu juga masih
ada anggapan bahwa pelajar tingkat tsanawiyah adalah pelajar yang belum lama
mempelajari bahasa Arab sehingga masalah yang timbul dipandang sebagai suatu
kewajaran dan tidak menimbulkan kerisauan.
Lain halnya apabila masalah itu muncul di
sekolah menengah tingkat atas (aliyah). Para pengajar akan merasakan langsung
masalah-masalah dalam pendidikan bahasa Arab di tingkat ini. Masalah tersebut
tidak lagi bisa dianggap sebagai masalah yang dapat dimaklumi begitu saja
seperti ketika di tingkat tsanawiyah. Dengan demikian permasalahan pendidikan
bahasa Arab baru muncul di tingkat aliyah, karena mulai mendapat perhatian
'agak' serius.
Terasa pada tingkat aliyah dan perguruan
tinggi adanya kekecewaan-kekecewaan dari para guru dan dosen bahasa Arab.
Kekecewaan itu kelihatannya dibiarkan saja menjadi keluhan-keluhan sehingga
tidak ada langkah tindak lanjut dengan serius untuk mencari sebab utamanya.
Sampai sejauh ini kekecewaan itu masih saja muncul berulang kali. Masalahnya:
Apakah kekecewaan itu memang benar-benar disebabkan oleh problem kesulitan yang
tidak dapat dipecahkan ataukah kekecewaan itu berasal dari kesulitan biasa yang
sudah lazimnya dialami oleh semua yang belajar bahasa asing?
Kesulitan-kesulitan yang biasa dan lazim
dialami oleh setiap pelajar bahasa asing tidak layak dikategorikan sebagai
problem. Kesulitan demikian sebagai konsekuensi logis dari setiap proses
pembelajaran bahasa asing. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat dipecahkan
sendiri oleh para pelajar. Berbeda dengan kesulitan belajar bahasa Arab yang
muncul karena suatu faktor tertentu dan kesulitan itu bisa hilang ketika faktor
tersebut dihilangkan. Kesulitan demikian layak dikategorikan sebagai problem.
Langkah awal kajian ini menempatkan berbagai hal yang dianggap problem selama
ini pada tataran sebagai isu belaka yang tidak dapat dikategorikan sebagai
problem sesungguhnya. Selanjutnya isu tersebut dianalisis dalam rangka
menentukan kesulitan-kesulitan yang memang menjadi kendala dalam pendidikan
bahasa Arab. Ini dimaksudkan agar segera dapat dipecahkan problem yang
sebenarnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan
beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1.
Apa tujuan Pembelajaran Bahasa Arab di
Madrasah Ibtidaiyah?
2.
Materi Bahasa Arab apa yang di ajarkan di
Madrasah Ibtidaiyah?
3.
Bagaimana isu-isu kontemporer pembelajaran
Bahasa Arab yang ada di Madrasah Ibtidaiyah?
1.3 Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai
berikut :
1.
Mengetahui tujuan Pembelajaran Bahasa Arab di
Madrasah Ibtidaiyah
2.
Memaparkan materi Bahasa Arab yang di ajarkan
di Madrasah Ibtidaiyah
3.
Menyebutkan isu-isu kontemporer pembelajaran
Bahasa Arab yang ada di Madrasah Ibtidaiyah
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1
Tujuan Pembelajaran Bahasa Arab di Madrasah Ibtidaiyah
Dalam
konteks kurikulum tujuan yang dimaksud adalah tujuan institusional atau tujuan
lembaga pendidikan. Dimana setiap lembaga pendidikan mempunyai perbedaan dalam
menentukan tujuan tersebut. Adapun mata pelajaran bahasa arab di madrasah
ibtidaiyah memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam
bahasa arab, baik lisan maupun tulis
yang mencakup empat kemahiran berbahasa, yakni
( istima’), (kalam), (qira’ah), (kitabah).
b. Menumbuhkan kesadaran pentingnya bahasa
arab sebagai salah satu bahasa asing untuk
menjadi alat utama belajar, khususnya dalam
mengkaji sumber-sumber ajaran islam.
c. Mengembangkan pemahaman tentang saling
keterkaitan antara bahasa dan budaya serta
memperluas cakrawala budaya. Dengan demikian,
peserta didik diharapkan memiliki
wawasan
lintas budaya dan melibatkan diri dalam keragaman budaya.
Standar
kompetensinya:
a. Al-istima’: memahami informasi lisan melalui
kegiatan mendengar tentang…
b. Al-kalâm: mampu mengungkapkan informasi secara
lisan tentang…
c.
Al-Qiraah: memahami wacana tertulis tentang…
d. Al-kitabah: mampu menuliskan kata, kalimat,
ungkapan sederhana tentang…
Kompetensi
dasarnya:
a. Al-istima’: mengenal bunyi huruf, memahami
makna kata tentang…
b. Al-Kalâm: mengucapkan kata secara benar,
melakukan percakapan, menyampaikan
informasi tentang (tema)…
c. Al-Qirâah:
melafalkan huruf , memahami arti tentang…
d. Al-Kitâbah:
mampu menuliskan huruf, kata, kalimat dalam wacana tentang…
Pada
dasarnya tujuan pembelajaran bahasa arab di madrasah ibtidaiyah belum mencapai
tujuan yang diharapkan meliputi 4 kemahiran berbahasa yaitu kalam, qira’ah,
istima’, dan kitabah. Berdasarkan hasil survey lapangan di Madrasah Ibtidaiyah
Wahid Hasyim Yogyakarta tujuan bahasa arab hanya memprioritaskan 2 kemahiran
saja yaitu kalam dan istima dimana siswa dituntut untuk dapat berkomunikasi
menggunakan bahasa arab, meskipun 2 kemahiran lainnya tidak diabaikan.
Pembelajaran
bahasa arab di Madrasah Ibtidaiyah menurut penulis serba tanggung karena hanya
2 kemahiran saja yang diprioritaskan yaitu kalam dan istima saja. Seharusnya
pembelajaran bahasa arab di MI itu mencakup semua kemahiran yang mana kemahiran
itu diperkenalkan secara umum, yaitu meliputi penguasaan bahasa arab jangka
pendek dan jangka panjang, yaitu:
a. Jangka
pendek
·
Mengerti dan menguasai kosa kata pembicaraan
bahasa arab
·
Menanamkan rasa cinta pada bahasa alqur’an
·
Mengenal bahasa Arab
·
Membaca huruf al Qur'an
·
Memahami dan mengerti bahasa Arab
·
Bercakap-cakap dengan baik dan benar
·
Mahir berbahasa Arab secara sederhana
·
Dapat menghafal
b.
Jangka panjang
·
Berkomunikasi bahasa Arab dengan fasih
·
Menguasai bahasa al Qur'an & yaumiyyah
·
Memahami (bahasa) al Qur'an
·
Menguasai bahasa Arab
·
Mampu bercakap-cakap
·
Membaca kitab kuning dan mendalami ilmu agama
·
Bisa menerjemah dengan benar
2. 2.
Materi Bahasa Arab yang di ajarkan di Madrasah Ibtidaiyah
Materi
merupakan salah satu komponen kurikulum terpenting guna mencapai tujuannya.
Materi kurikulum hakikatnya isi pendidikan yang meliputi materi ilmu, penanaman
nilai-nilai dan pembentukan sikap. Adapun tema materi bahasa arab di madrasah
ibtidaiyah adalah:
a. Kelas lV
Sm l : At-Ta’âruf,
al-Adawâtul-madrasiyyah, dan al-Mihnah;
Sm 2:
Al-‘Unwân, Usratî, dan A’dlâ ul-insân;
b. Kelas V
Sm 1: Fil-Bait, Fil-Hadîqah dan al-Alwân;
Sm 2:
Fil-Madrasah, fil-Ma’mal, fil-Maktabah dan fil-mqshaf;
c
Kelas VI Sm l : As-Sâ’ah dan
al-Af’âlul-yaumiyyah;
Sm 2:
Al-Wâjibul-manziliy.
Dalam menetapkan urutan materi
mesti mempertimbangkan fase-fase perkembangan peserta didik, perbedaan
individual, dan perlu disiapkan materi yang berorientasi pada pendidikan
spritual, emosional, disamping intelektual. Tetapi kenyataannya, masih banyak
materi yang diajarkan tidak sesuai dengan materi yang diharapkan. Dimana,
kebanyakan guru mengajarkan materi tidak melihat kemampuan peserta didik dan
tidak urut sesuai dengan silabus pembelajaran bahasa arab.
Materi
bahasa arab di Madrasah Ibtidaiyah menurut penulis belum ideal karena banyak
materi yang diajarkan berawal dari mudah- sukar- sedang- sukar- mudah yang
menyulikan peserta didik dalam menerima materi yang diajarkan, sedangkan
idealnya materi itu berawal dari mudah- sedang- lalu sukar agar memudahkan
peserta didik dalam menerima pelajaran.
Pada
pembelajaran bahasa arab di Madrasah Ibtidaiyah idealnya menggunakan
nadzariyatul wahdah (all in one system) yang mana bahasa arab diajarkan dari
berbagai aspek kemahiran tanpa memisah- misahkan bahasa tersebut, karena
nadzariyatul furu cocoknya diterapkan pada lembaga seperti pondok pesantren
yang mana bahasa arab diajarkan secara terpisah, nahwu sendiri, shorof,
balaghoh, dll
2. 3 Isu-isu
kontemporer pembelajaran Bahasa Arab yang ada di Madrasah Ibtidaiyah
Berbagai isu problem yang ada dipilah menjadi
dua, yakni dalam kategori linguistik dan nonlinguistik. Pemilahan ini tidak
berdasarkan pada tingkat dan tempat atau lembaga pendidikan, melainkan
berdasarkan jenis masalahnya. Ada masalah yang langsung berkaitan dengan materi
bahasa Arab yang di sebut dengan faktor linguistik dan ada masalah yang
berkaitan dengan lingkungan, sarana prasarana, subyek didik dan pengajarnya
atau faktor-faktor di luar linguistik yang disebut dengan faktor nonlinguistik.
1. Faktor Linguistik.
Faktor linguistik yang dianggap menjadi
penyebab kesulitan dalam belajar bahasa Arab muncul karena beberapa alasan,
yakni:
a.
Adanya perbedaan tabiat bahasa termasuk
gramatikanya (Ghufron Zainal 'Alim:
1992,
6-7),
b.
Adanya spesifikasi bahasa Arab yang tidak
terdapat dalam bahasa Indonesia
(Imroatus Saadah: 1997, 62),
c.
Adanya perbedaan bahasa mulai dari sistem
bunyi sampai dengan tulisannya (Urip
Masduki: 1997, 53-5), dan
d.
Adanya pola konjugatif (tashrifat) sebagai ciri
utama bahasa Arab yang tidak
dikenal
dalam bahasa Nusantara sebagai bahasa mudah yakni bahasa-bahasa Astronesia
(Abdurrahman Wahid: 1990, 4).
Adapun rincian faktor-faktor linguistik itu
adalah sistem bunyi atau Nidlom as-Shout yang tidak ada dalam bahasa Indonesia,
yakni: (Tsa', Syin, Dzal, Kho', Ha', Dho', Tho', Shod, Dlodl, 'Ain, Ghin), kosa
kata atau mufrodat berkaitan dengan mudzakkar dan muannats, mutsanna dan jamak,
khususnya yang berkaitan dengan morfhologi (tasrif) yang tidak terdapat di
dalam bahasa Indonesia, tata kalimat (tarkib al-kalimah) yakni susunan kata
yang tertibnya tidak dikenal dalam bahasa Indonesia, bentuk kalimat: jumlah
ismi-yah dan fi'liyah, adanya i'rab, perbedaan sistem tulisan dari kanan ke
kiri dengan huruf berbeda ketika berada di tengah di depan dan di belakang,
sistem waqof pada kata dengan akhiran huruf ta' marbuthoh yang dibaca beda
ketika diwaqofkan, pelafalan al-Syamsiyah, sistem tasydid atau penggandaan
bunyi huruf, dan sistem uslub (gaya bahasa).
Secara keseluruhan dinyatakan bahwa faktor
linguistik itu memberikan kontribusi yang besar kalau bukan merupakan akar bagi
timbulnya kesulitan penguasaan dan pengembangan pengajaran bahasa Arab terutama
bagi selain bangsa Arab atau ghair al-Nathiqin bi al-‘Arabiyah (M. Fachir Rahman:
1998, 9). Untuk sementara kelihatan seolah-olah bahasa Arab itu bahasa yang
sukar dikuasai, dan sukarnya mempelajari bahasa Arab itu disebutkan karena
faktor-faktor bahasa Arab itu sendiri. Ini suatu pendapat yang belum pernah
diuji kebenarannya. Kajian disini berusaha untuk memberikan verifikasi pendapat
tersebut dengan realitas bahasa Arab. Dengan demikian akan diketahui kebenaran
atau kepalsuan pendapat tersebut.
Kesulitan-kesulitan dalam pembelajaran bahasa
Arab yang berasal dari perbedaan tabiat antara bahasa Arab dengan bahasa
Indonesia seperti dalam hal fonetik dapat diselesaikan dengan pelajaran ilmu
tajwid, khususnya dalam fonem-fonem yang tidak terdapat di dalam bahasa
Indonesia seperti tsa’ ha’, kha’, dzal, syin, shad, ghin dan sebagainya ketika
dalam keadaan sendirian atau ketika bertemu dengan fonem-fonem lainnya (
Ghufron Zainal 'Alim: 1992, 6-7).
Dalam hal etimologi yang meliputi zaman
(tenses) untuk kata fi’il madli dan mudlori’, tatsniyah dan jama’, tadzkir dan
ta’nits, dan masalah gramatika serta kosa kata, sampai sejauh ini penulis belum
menemukan adanya upaya pemecahannya sehingga tampak menjadi problem yang
menimbulkan kesulitan dalam pembelajaran dan dianggap sebagai akar kesulitannya
(M. Fachir Rahman: 1998, 9). Padahal belum tentu hal tersebut menyebabkan
kesulitan. Hanya disebabkan cara pandangnya saja bisa menjadikan hal tersebut
sebagai suatu kesulitan yang menjadi problem.
Dalam hal tabiat bahasa Arab yang berbeda dari
bahasa pelajar (Indonesia) seperti dalam hal fonetik, kiranya sudah dikemukakan
pemecahannya dengan sederhana, yakni dengan belajar tajwid. Permasalahannya
adalah bila memang alat bicara pada mulut bangsa Indonesia berbeda dari bangsa
Arab maka memang ada masalah, tetapi perbedaan dari segi fisik para pelajar
baik Indonesia maupun negara-negara lainnya ternyata tidak ada. Karena itu
perbedaan tabiat bahasa tersebut sebetulnya bukan problem yang menyebabkan
sulitnya belajar bahasa Arab. Dengan demikian problem tersebut tidak layak
disebut sebagai problem kesulitan dalam pendidikan bahasa Arab.
Dalam kaitannya dengan masalah etimologi
(as-shorfiyah dan atau morphology) yang dinyatakan sebagai problem, tentunya
tidak bisa dinyatakan sebagai problem serius meskipun masalah as-sharfiyah atau
tashrifat dalam bahasa Indonesia tidak ada. Bahkan boleh jadi tashrifat yang
ada itu justru membantu dan mempermudah bila terjadi kesulitan dalam mencari
perbendaharaan kata. Sebagai gambaran singkat, ketika seseorang tidak mengerti
terjemahannya "kunci" dalam bahasa Arab, maka dengan tashrifat dapat
diselesai-kan sehingga diketahui bahwa "kunci" itu alat pembuka yang
bisa diketahui melalui kata fataha yang berarti membuka menjadi miftah dengan makna alat untuk membuka.
Lain masalahnya bila suatu bahasa itu tidak
mempunyai tashrifat. Para pelajar akan lebih banyak dibebani untuk menghafal
kosa kata yang begitu banyak. Karena itu adanya tashrifat dalam bahasa Arab
justru membantu. Para pelajar bisa mempergunakan kosa kata lama yang sudah
dimiliki untuk menyebutkan sesuatu yang baru yang belum diketahui sebutannya
dalam bahasa Arab. Tashrifat sebagai ciri-ciri bahasa tidak layak dianggap
sebagai problem dengan alasan berbeda tabiat bahasanya atau tidak terbiasa
dengan ciri-ciri tashrifat. Jadi tashrifat itu bukan penyebab terjadinya
problem dalam pendidikan bahasa Arab.
Dalam hal gramatika, tentunya masing-masing
bahasa memiliki kekhususannya. Kekhususan bahasa itu bukan suatu problem dalam
mempelajarinya. Bahasa itu dimiliki oleh suatu bangsa yang di da-lam nya juga
ada masyarakat yang tidak cerdik, namun mereka bisa menggunakan bahasanya
dengan baik, lancar, dan tidak mengalami problem. Fungsi gramatika suatu bahasa
itu adalah sebagai ilmu tata bahasa. Demikian juga fungsi ilmu nahwu yang
sering disebut sebagai qawa'id. Jadi pada dasarnya tidak ada problem dalam
pembelajaran gramatika bahasa Arab sebagaimana gramatika yang ada dalam bahasa
asing yang lain.
Dalam kasus tertentu penulis memaklumi adanya
problem khusus dalam pembelajaran gramatika bahasa Arab. Akan tetapi itu bukan
karena keberadaan gramatika itu sendiri. Problem itu muncul karena orientasi
pembelajarannya.
Ilmu nahwu itu sering dianggap sebagai alat
untuk membaca kitab gundul. Ini suatu kekeliruan yang terlanjur dianggap
sebagai kebiasaan. Kekeliruan inilah yang menyebabkan orientasi pembelajarannya
melenceng sehingga dapat menyebabkan munculnya problem. Jadi problem
pembelajaran ilmu nahwu itu muncul karena adanya kekeliruan dalam
memfungsikannya, bukan karena ilmu nahwu itu sendiri.
Kasus pembelajaran gramatika bahasa Arab
sering berkaitan dengan masalah i'rab yang menjadi inti bahasannya. Kesulitan
yang ada disebabkan konsep yang ada ternyata memang belum tuntas. Konsep i'rab
yang selama ini dinyatakan sebagai "perubahan" atau
"pengubahan" atau atsar atau suatu bayan tentang fungsi kata dalam
sebuah kalimat, masih perlu ditinjau ulang, karena terdapat kekeliruan dalam
konsep tentang i'rab yang tertera dalam buku-buku ilmu nahwu selama ini. Ini
baru bisa dinyatakan sebagai problem, karena dalam materinya sendiri memang ada
masalah yang menimbulkan perselisihan pendapat tentang i'rab itu sendiri.
Dalam kasus perbedaan arah tulisan bahasa Arab
yang ke kiri dengan tulisan Latin yang ke kanan, maka pada dasarnya bukan suatu
kesulitan yang menimbulkan problem. Tulisan bahasa Arab yang lengkap dengan
syakalnya dan dengan sistemnya yang fonetik dan sistem ejaannya yang fonemis,
adalah sangat mudah untuk dipelajari cara membacanya ( Saidun Fiddaroini: 1997,
65). Mudahnya membaca tulisan yang ejaannya bersistem fonemis adalah karena
suatu ejaan yang menggunakan sistem ejaan fonemis adalah ejaan yang sempurna
(Samsuri, Analisis Bahasa: 1991, 23).
Dengan demikian perbedaan bentuk dan arah
tulisan dari kanan ke kiri itu bukan penyebab timbulnya problem dalam
pendidikan bahasa Arab. Justru tulisan bahasa Arab itu terbukti paling mudah
untuk dipelajari cara membacanya bila tulisan yang dimaksud adalah tulisan
bahasa Arab yang sempurna. Lain masalahnya apabila yang dimaksud itu adalah
tulisan gundul. Bukan sistem tulisannya penyebab kesulitan, tetapi
ketidaksempurnaannya itulah yang menimbulkan problem.
2. Faktor Nonlinguistik
Faktor nonlinguistik yang dianggap sebagai
sebab timbulnya problem dalam pendidikan bahasa Arab antara lain: Perbedaan
sosio kultural bangsa Arab dengan sosio kultural pelajar (Indonesia), sarana
dan prasarana fisik, tempat dan waktu (Urip Masduki: 1997, 53-5), kemampuan
subyek didik fakor-faktor psikologisnya (Ghufron Zainal 'Alim: 1992 , 6-7),
komponen-komponen instruksional yang tidak dipersiapkan dengan baik (M. Fachrir
Rahman: 1998, 9), dan citra bahas Arab itu sendiri. (Abdurrahman Wahid: 1990,
4).
Faktor-faktor nonlinguistik yang dimaksudkan
konkretnya adalah: Perbedaan ungkapan istilah untuk nama-nama benda, misalnya
nama onta yang berbeda karena usianya, kurangnya jam pelajaran sehingga tidak
tercapai tujuan yang digariskan dalam program pembelajaran pada kasus di
Madrasah Aliyah, buku paket yang belum disiapkan dengan baik oleh penyusun
kurikulumnya, rendah-nya kualitas tenaga pengajar bahasa Arab dan rendahnya
kemampuan pelajarnya, masa depan yang tidak jelas bagi pelajar bahasa Arab dan
tiadanya penghargaan langsug dari masyarakat sehingga kurang adanya minat untuk
mempelajarinya, tidak tepatnya tujuan dan orientasi pembelajaran dan metode
pengajarannya, terpisahnya pengajaran bahasa Arab di sini (Indonesia) dari
perkembangan bahasa Arab sendiri di kawasan Timur Tengah, minimnya kamus yang
dikarang oleh orang-orang Nusantara tentang bahasa Arab, terkaitnya pengajaran
bahasa Arab dengan pendalaman ilmu-ilmu agama, dan sikap umum bangsa Indonesia
yang menganggap pengajaran bahasa Arab sebagai bagian dari pendidikan Islam
sehingga ia dipisahkan dari kegairahan hidup dalam dunia komunikatif.
Dalam menanggulangi kesulitan pada kasus
nonlinguistik telah dianjurkan adanya pendekatan linguistik kontrastif, yakni
peng-ajaran dimulai dari yang ada kesamaannya dengan bahasa ibu; sedangkan
untuk unsur dan struktur yang tidak memiliki kesamaan diajarkan belakangan
(Urip Masduki: 1997, 53-5). Anjuran ini bisa diterima untuk ditindaklanjuti
sehingga kasus ini tidak lagi menjadi problem.
Kasus nonlinguistik lainnya yang dibeberkan
dimuka ternyata belum ada yang mengemukakan pemecahannya yang berkisar pada
masalah-masalah terbatasnya waktu yang di atur dalam kurikulum, sarana seperti
buku dan alat-alat bantu teknik seperti audio visual, input yang lemah dalam
bahasa Arab, dan syarat-syarat untuk kemampuan guru. Sementara upaya pemecahan
yang dikemukakan hanya sebagai pertimbangan untuk ditinjau ulang dalam
opersionalnya.
Perlu diketahui bahwa terbatasnya waktu
bukanlah suatu problem karena dengan ditambahkannya waktu berarti sudah
terselesaikan. Begitu juga mengenai sarana dan prasarana, maka pemenuhannya
sudah merupakan penyelesaian. Jadi tidak layak hal-hal demikian dinyatakan sebagai
problem dalam pendidikan bahasa Arab. Di samping itu perlu diperhatikan bahwa
ada kalanya sarana-sarana itu juga tidak mutlak perlu, misalnya perangkat
laboratorium bahasa yang tidak imbang antara harga dan manfaatnya, yang
biasanya sering tidak dipakai dan jarang dimanfaatkan.
Lemahnya input dalam berbahasa Arab tidak bisa
dinyatakan sebagai problem. Kalau input sudah mahir maka proses pembelajaran
bahasa Arab sudah tidak ada gunyanya. Pada langkah berikutnya perlu diterapkan
kedisiplinan dalam evaluasi. Para pelajar atau mahasiswa yang sudah mampu
menguasai materi pembelajaran bahasa Arab layak lulus dan yang tidak mampu
tidak layak diluluskan. Meluluskan pelajar atau mahasiswa yang belum mampu sama
dengan menciptakan rendahnya mutu pengajaran dan pembelajaran Bahasa Arab.
Inilah yang memunculkan problem, bukan lemahnya input tetapi membiarkan dan
meluluskan calon luilusan yang lemah itulah problem.
Dalam kaitannya dengan metode yang dianjurkan
untuk dipakai maka metode itu sangat berkaitan dengan materi dan tujuan dalam
pembelajaran. Perlu diingat bahwa tiap metode yang dipakai itu memiliki
keunggulan dan kekurangannya. Sebetulnya sangat dianjurkan untuk menyelesaikan
problem metode ini dengan mema-hami dan menguasai berbagai metode untuk proses
pembelajaran, sehingga setiap kali muncul permasalahan metode dapat
diselesaikan dengan bantuan metode alternatif yang pada gilirannya disebut
dengan metode eklektik.
Adapun tidak dipergunakannya satu sistem yang
konsisten dalam metode pengajaran, tidak adanya dorongan moril, tidak jelasnya
masa depan mahasiswa yang belajar bahasa Arab di Perguruan Tinggi, dan tidak
adanya penghargaan langsung dari masyarakat yang bisa mengurangi minat belajar
bahasa Arab, maka semua itu diselesaikan dengan memberikan kontra operasional,
yakni dengan mengadakan semua yang tiadanya itu menjadikan masalah ( Ghufron
Zainal 'Alim: 1992, 25). Untuk keperluan tersebut maka daya tarik, motivasi
belajar, dan prospek bahasa Arab perlu dikemukakan dengan positif, khususnya
mengenai kesan pertama yang baik dalam mengenal dan menilai keman-faatan bahasa
Arab.
Dalam hal tenaga pengajar, tujuan dan
orientasi pengajarannya, sarana prasarana serta lingkungan yang dinilai sebagai
problem, maka M. Fahrir Rahman memberikan jalan keluarnya yaitu agar ditinjau
kembali orientasi pengajaran bahasa sebagai ilmu alat, yakni perlu ketentuan
belajar bahasa Arab itu sebagai alat pemahaman text book, atau untuk muhadatsah
(berbicara), dan perlu simplifikasi terutama dari segi nahwiyah, perlu metode
yang efektif, pengajar yang profesional, materi yang proporsional serta
fasilitas yang memadahi termasuk sarana penunjangnya, kondisinya juga yang
kondusif untuk merangsang pengajaran bahasa Arab, dan konkretnya lembaga bahasa
perlu diefektifkan dengan pola pengajaran bahasa tiap hari dengan metode,
materi, pengajar, dan fasilitas yang memadai (M. Fachrir Rahman: 1998, 10). Ini
suatu jalan keluar yang mudah dipenuhi dalam menghilangkan problem
nonlinguistik.
Dengan analisis tersebut di atas kiranya patut
dinyatakan bahwa sebetulnya tidak ada masalah nonlinguistik yang layak disebut
sebagai problem dalam pendidikan bahasa Arab. Masalahnya adalah kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan nonlinguistik. Ini artinya apabila kebutuhan nonlinguistik
sudah dipenuhi, maka proses pembelajaran bahasa Arab bisa berlangsung dengan
lancar begitu saja.
Dalam prakteknya, sarana dan prsarana itu
hanya sekedar bantuan tambahan untuk memperlancar proses pembelajaran bahasa
Arab. Meskipun tanpa pemenuhannya dapat juga diatasi dengan segala kesederhanaan
sebagaimana belajar bahasa di masa-masa lalu yang tidak terlalu manja dengan
sarana prasarana yang canggih seperti perangkat laboratorium bahasa dan
sebagainya.
Dengan demikian masalah nonlinguistik ini
dapat dinilai sebagai masalah yang sangat sederhana, tidak bisa dijadikan
alasan atau sebab-sebab tidak bisa belajar bahasa Arab, atau sebab terjadinya
kesulitan ketika belajar bahasa Arab. Demikian sederhananya masalah
nonlinguistik ini maka tidak layak disebut sebagai problem pembelajaran bahasa
Arab. Perlu dicermati lagi bahwa yang utama dalam pembelajaran bahasa adalah
praktek dan keaktifan para pelajar itu sendiri dalam berbahasa Arab.
Jadi langkah penyelesaian masalah
nonlinguistik adalah pemakaian bahasa Arab itu sendiri secara disiplin dalam proses
pembelajarannya. Kondisi pembelajaran perlu diciptakan agar tidak lagi
membicarakan bahasa Arab tetapi sebaliknya hendaknya senantiasa memakai bahasa
Arab untuk membicarakan apa saja termasuk hal-hal yang terjadi dalam proses
pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Masalah konkretnya adalah bagaimana dapat
diciptakan lingkungan yang selalu memaksa untuk berbahasa Arab.
Dalam hal kultur, maka hal ini menjadi masalah
bila dipaksakan untuk mempelajari kultur Arab di awal pembelajaran. Perihal
yang penting adalah penguasaan kosa kata serta kaedahnya. Baru kemudian setelah
mahir dapatlah diberikan makna-makna khusus yang berkaitan dengan kultur. Untuk
materi ini biasanya diambilkan dari contoh-contoh idiomatik. Dengan demikian
masalah kultur Arab dapat disederhanakan dan tidak lagi menjadi masalah.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.
Pada uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
tujuan pembelajaran bahasa arab idealnya menurut penulis dibedakan menjadi 2
yaitu tujuan jangka pendek dan panjang yang mana berawal dari pengenalan bahasa
arab yang dilanjutkan dengan pengusaan secara mendalam tentang bahasa arab itu
sendiri.
2.
Adapun tentang materi, idealnya diajarkan dari
mudah- sedang- sukar dengan menggunakan all in one system dengan memperhatikan
berbagai aspek dari peserta didik.
3.
Berbagai isu problem yang ada dipilah menjadi
dua, yakni dalam kategori linguistik dan nonlinguistik. Pemilahan ini tidak
berdasarkan pada tingkat dan tempat atau lembaga pendidikan, melainkan
berdasarkan jenis masalahnya. Ada masalah yang langsung berkaitan dengan materi
bahasa Arab yang di sebut dengan faktor linguistik dan ada masalah yang
berkaitan dengan lingkungan, sarana prasarana, subyek didik dan pengajarnya
atau faktor-faktor di luar linguistik yang disebut dengan faktor nonlinguistik
DAFTAR
PUSTAKA
http://saidunfiddaroini.blogspot.com/2010/07/bahasa-arabmengidentifikasi-problem.html
http://eka-ndute.blogspot.com/2012/01/tujuan-dan-materi-pembelajaran-bahasa.html
http://tergugah.blogspot.com/2012/01/pembelajaran-bahasa-arab-mi.html
Di susun oleh :
Muhammad Nasri (09330107)
Hanif Mahfudz (09330108)
Achmad Dzikri (09330112)
0 comments:
Post a Comment