Wednesday, January 25, 2012

PERKEMBANGAN PROSA PADA MASA BANI UMAYYAH

Pada periode ini prosa berkembang pesat, terutama pidato. Pidato di depan publik dalam berbagai bentuknya telah berkembang mencapai puncaknya selama masa Dinasti Umayyah. Seorang khotib menggunakannya sebagai sarana keagamaan sebagai sarana keagamaan dalam bentuk khuthbah jum’at, seorang jendral memanfaatkannya untuk membangkitkan semangat prajurit, dan seorang gubernur memakainya untuk menanamkan semangat patriotism rakyat. Pada masa yang belum mengenal sarana propaganda khusus, berpidato menjadi sarana utama untuk menyebarkan gagasan dan membangkitkan emosi.(Hitti, 2006:312).
Macam-macam Prosa Masa Umayyah
1.       Khutbah
Corak Khithabah Umawi (Bani Umayah)
Khithabah-khithabah yang dibawakan pada masa Umawi terjadi penyimpangan adat kebiasaan masa Jahiliyah sampai Shadr al-Islam. Pada masa itu mereka bekhatbah dengan memakai ‘imamah, pakaian lengkap, menggunakan tongkat serta dengan berdiri’. Berbeda pada masa Umawi, mereka berkhathbah dengan duduk. Hal ini sesuai dengan riwayat dari Walid bin Abdul Malik.
Khutbah berkembang pada masa ini karena sebab-sebab sebagai berikut:
a.       Banyaknya kelompok keagamaan dan partai-partai atau golongan-golongan politik
b.      Banyaknya pertentangan antar kaum
c.       Perginya para utusan-utusan dari golongan Anshor dan kaum-kaum, khalifah dan penguasa.
Macam-macam khutbah pada masa ini:
a.       Khutbah politik
Khitabah Politik pada masa Umawi muncul dan berkembang pesat, baik dari segi isi maupun bentuknya. Pada masa ini khithabah politik menapaki masa keemasannya. Gambaran ini sangat logis karena khitabah politik timbul di daerah-daerah  yang belum sempurna sistem politiknya. Sebagai gambaran bahwa sistem politik pada masa Umawi jauh dari kestabilan, maka hal ini mendorong  timbulnya sesuatu  untuk menggalang masa dan menggerakkan emosi mereka. Khitabah politik ini disampaikan masyarakat, ketika melihat penguasa yang tidak berpihak kepada mereka. Ciri khas khitabah politik masa Umawi adalah masih terjaganya corak kebaduiannya, ini dikarenakan kedekatan antara masa Jahiliyah dengan masa Umayah.
b.    Khutbah Agama
Perkembangan khithabah keagamaan pada masa Umawi begitu pesat, hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya:
Pertama, dalam hal keagamaan dikenal ada hal-hal yang tetap (tsawabit) sifatnya dan ada pula yang berubah (mutaghayir). Pada hal-hal yang tetap misalnya dikenal dengan khithabah shalat Jum’at, khithabah shalat Ied. Ini masuk dalam bagian syiar agama. Pada masa Umawi para khatib tidak hanya menyampaikan khithabah yang bersifat keagamaan saja, tetapi mereka menyinggung hal-hal yang ada di sekitar keagamaan. Tema yang paling digemari oleh para khatib adalah urusan agama, yang ada hubungannya dengan sosial kemasyarakat, dan urusan pemerintah dengan rakyat. Tetapi yang menjadi bumerang adalah khithabah itu disampaikan secara berlebihan.
            Kedua, munculnya beberapa golongan atau aliran dalam masalah keagamaan selalu dibarengi dengan giatnya khithabah. Maklum, setiap ajaran yang ada dalam satu golongan berbeda dengan golongan yang lain, dan terkadang ada ketidakcocokan. Inilah yang menyebabkan permusuhan antar golongan.
            Ketiga, adanya gerakan zuhud yang juga mendorong munculnya khithabah keagamaan. Karakteristik khithabah keagamaan pada masa Umawi tidak berbeda jauh dengan karakteristik khithabah politik. Pengaruh al-Qur’an nampak mewarnai khithabah ini.Khitabah sosial kemasyarakatan, termasuk kategori ini adalah segala sesuatu yang berurusan dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Perilaku pergaulan antara politik dengan agama merupakan penyebab khithabah ini muncul. Sifat pergaulan masyarakat yang fanatis juga ikut mendorong dan membawa corak khithabah tersendiri.
c.    Khutbah Kemasyarakatan.
Khithabah sosial kemasyarakatan pada masa Umawi ini mempunyai tipe dan jenis yang berbeda, di antaranya adalah, khitabah al-muhafil (delegasi). Biasanya dibawakan oleh orang yang sudah berumur dan berpengaruh di masyarakat. Para delegasi biasanya diutus untuk menghadap kepada penguasa untuk menyampaikan ucapan selamat, penganugerahan, mengadukan permasalahan dan lain-lain. Khithabah al-Imlak (pesan pernikahan), khithabah ini sudah berlaku pada masa Jahiliyah, tetapi pada masa Umawi telah berubah bentuk, yaitu dengan diwarnai nilai-nilai Islam. Sebagai pewaris dari budaya Jahili, ada khithabah mufakharah (kesombongan). Khitabah ini berkembang di masa Umawi, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk khithabah yang berkembang kala itu.
Keistimewaan khutbah:
a.    Diawali dengan hamdalah dan shalawat atas nabi
b.    Bersandar pada makna-makna al-Qur’an dan gambarannya
c.    Menggunakan pengutipan dari al-Qur’an dan perumpamaan
d.   Menggunakan sebagian kata-kata hikmah dan perumpamaan
e.    Ringkas dengan gaya bahasa langsung dan tidak langsung.
Adapun para ahli pidato pada masa Umayyah adalah:
1.    Zaid Ibnu Abihi
Beliau adalah intelektual Arab, sastrawan kenamaan ahli pidato yang termasyhur, dan pemimpin yang bijaksana.
Zaid diangkat menjadi gubernur di Basrah dan dia adalah gubernur yang pertama kali menguasai Basrah, Khurasan , Sijistan, Sindhu, Bahrain, Oman, dan Kufah. Dia juga menjalankan roda pemerintahan dengan baik, memerangi fitnah, melenyapkan tuduhan-tuduhan dan mengadakan hukuman.
Khutbahnya yang terkenal pada saat itu adalah Khutbah al- Batrak. Khutbah ini muncul disebabkan ketika Zaid menjadi gubernur di Basrah pada tahun 45H (665M), ada kelompok dari penduduk Bashrah yang menjadi musuh bani Umayyah. Maka berkhutbahlah Ziyat dengan khutbah Batrak (dengan tidak mengawali dengan hamdalah seperti khutbah biasanya) Karena Ziyat ingin mengancam penduduk Basrah yaitu, orang-orang yang berbuat kejelekan. (Wildana dan Laily, 2008:302)
2.    Hajjaj Ibn Yusuf Al-Tsaqafi
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqofi, seorang ilmuan, politikus dan ahli hukum bangsa Arab.
Dia terkenal sebagai pemimpin perang melawan Abdullah ibn Zubair. Dia pergi ke Makkah bersama tentara-tentaranya dan mengepung ibn Zubair kemudian membunuhnya dan menyelapkannya kerajaannya. Berikutnya Hajjaj diberi kekuasaannya di Iraq. Pda masa itu suasana di Iraq sangat panas sebab adanya fitnah antara golongan Syi’ah dan Khawarij. Maka dia menggunakan ketegasan, kekerasan, dan pertumpahan darah, dan menakut-nakuti rakyat seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dia memperbaiki kekuasaan Bani Umayyah. Akibat perbuatan al-Hajjaj ini ada dua macam bentuk penilaian, yakni:
1). Terpuji, karena ia mampu mempersatukan berbagai kabilah Arab dibawah satu bendera kekhalifahan bani Umayyah.
2). Tercela, karena ia merendahkan derajat bangsa Arab, dengan membunuh tokoh-tokohnya, merampas kemerdekaannya dan menutup mulutnya.
Hijjaj adalah seorang khatib yang mahir yang memiliki keistimewaan pada masa itu. Lafadznya fashih, susunannya keras, kalimatnya pendek.
2.       Rasail
Keistimewaan korespondensi pada saat itu:
a.         Diawali dengan bacaan hamdalah dan shalawat atas nabi
b.         Dihiasi dengan ayat-ayat al-Qur’an, dan meniru gaya bahasa al-Qur’an, bersandar pada makna-makna dan gambaran al-Qur’an.
c.         Menggunakan bahasa yang euphimisme dan ungkapan yang jelas.
d.        Dimulai dengan yang pendek, ringkas, kemudian condong pada yangpanjang dan berlebih-lebihan. . (Wildana dan Laily, 2008:308)
3.       Kitabah
Menurut Al Qalqasyandi, penulisan di bawah Umawi mengikuti gaya kuno sampai masa Al Walid. Al Walid membawa perbaikan besar pada sekertariat pemerintahan, tulisan dan korespondensi resmi, dan kaligrafi. Dalam semangat sastra Al Walid itulah Marwan bin Muhammad, khlifah Umawi terakhir, mengutus Abdul Hamid bin Yahya, ahli esai terbesar zaman itu, untuk mengembangkan gaya penulisan yang lebih penuh bunga bahasa yang membuat dirinya dikenal. Pesan pemerintah menjadi begitu panjang sehingga diceritakan bahwa Abdul Hamid menulis untuk majikannya sebuah surat yang memerlukan seokor unta untuk membawa surat ini ke alamat yang dituju.
            Gaya baru ini disebut tawazun (simetri sastra) dan diperkenalkan dengan tiruan gaya Al Qur’an. Tawazun berisi tulisan dalam frase yang jumlah suku katanya, panjangnya, dan susunannya sama.
            Penulis terbesar pada masa Umayyah adalah:
·         Abdul Hamid Al Katib (130/794 M)
Penulisan Abdul Hamid bergaya tawazun.Al-Masudi menyebutnya sebagai penulis pertama yang membuka setiap komposisi dengan asma Allah (basmalah), pujian kepada Allah(hamdalah), dan shalawat kepada Nabi.
·          Abu Amr Ustman Al Jahizh (253/ 868 M)
            Gaya penulian Al Jahizh sesuai dengan zamannya. Tulisannya merealisasikan normanya ketingkat sangat tinggi. Dia menggambarkan norma ini sebagai berikut:
a.       Keselarasan ungkapan dengan makna
Pembicara/ penulis harus menyadari proporsi makna, pembaca/ pendengarnya, dan situasinya, jika kata-katanya ingin di selaraskan dengan mereka.
b.      Al Bayan (penjelas)
Makna menurut Al Jahizh, tersembunyi dalam kesadaran. Di sana, makna berada dalam keadaan teredam tidak terkenali. Bila diberikan ungkapan yang tepat, makna menjadi hidup. Jelaslah al Bayan adalah segala sesuatu yang membentangkan dan menjelaskan makna.
c.       Ringkas dan apa adanya.
Komposisi terbaik menurut Al Jahizh, adalah komposisi di mana kata-kata yang sedikit meniadakan kebutuhan akan kata-kata tambahan, di mana maknanya dikandung oleh kata-kat sepenuhnya.
d.      Al Iftinan (karya artistik)
Tulisan Al Jahi`zh selain penuh contoh, pengecualian, dan variasi. Argumennya yang mendukung atau menentang berhamburan sedemiian menembus dan berlimpah. Dengan demikian pembacanya atau pendengarnya tercapai tujuannya dan terbawa ketika penulis ingin menggerakkan pendengar.
·          Abu Hayyan Al Tahwidi (375/ 987 M).
 Al Tahwidi meninggalkan warisan sastra yang mengagumkan di samping Vilainies, Al Muqabasat, Al Imta’ Wal Muansah, Al Hawamil wal Syama’il, Al Basha’ir wal Dzaka’ir, dan Al Isyarat al Ilahiyyah, maupun sejumlah risalah.
DAFTAR PUSTAKA

Masummuhammad.blogspot.com
Menaraislam.com
Wargadinata, Wildana dan Laily Fitriani. 2008. Sastra Arab dan Lintas Budaya. Malang: UIN Press






0 comments:

Post a Comment