BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa keberadaan al- Quran bukan
hanya sebagai kitab agama Islam, sejarah atau budaya saja. Selain sebagai mu’jizat
Islam ia juga memiliki kedudukan primer, sakaligus sentral bagi inspirator tasyri'
samawi dalam menata kehidupan, pemikiran dan kebudayaan umat Islam
tentunya. Mu’jizat al- Qur’an selalu di perkuat oleh modernisasi, semakin maju
ilmu pengetahuan, maka akan semakin tampak pula validitas kemu'jizatannya. Keberadaannya
juga sebagai sumber dan konsep dalam pengetahuan isi kandungan al- Quran.
Sedangkan tasyri' samawi diturunkan pada rasul-Nya
untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan muamalah. Oleh
karena akidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami
perubahan, karena ditegakkan atas tauhid ulûhiyyah dan rubûbiyyah,
maka dakwah atau seruan para rasul kepada akidah yang satu itu semuanya sama.
Mengenai bidang ibadah dan muamalah, maka prinsip dasar umumnya adalah
sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat
serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama persaudaraan. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu
masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu perjalanan
dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya
sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri'
pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri' pada periode yang
lain. Tetapi tidak di ragukan lagi bahwa pembuat syariat (Syaari’), yaitu Allah, rahmat dan ilmu-Nya meliputi
segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang hanya milik-Nya. Oleh
karena itu, wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri' dengan tasyri'
lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang
azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.
Meski para ulama’ telah sepakat dengan kewajaran adanya naskh mansukh,
namun tidak sedikit baik dari kalangan ulama’ Islam sendiri maupun non Islam
yang menolaknya. Sebagai umat Islam, maka menjadi hal penting memahami betul
tentang naskh mansukh agar tidak terombang-ambing dan simpang siur mengikuti
isu-isu tak jelas seputar tuduhan keabsahan al- Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian naskh mansukh?
2. Berapa macam pembagian naskh mansukh?
3. Apa hikmah mempelajari naskh mansukh?
B.
Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Study al-
Qur’an
2. Untuk memahami Naskh dan Mansukh
3. Untuk mengetahui macam-macam naskh dan mansukh
4. Untuk mengetahui hikmah mempelajari dan memaham
naskh dan mansukh
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Naskh
dan Mansukh
Secara literal, naskh bermakna “mengganti sesuatu dengan sesuatu
yang lain (dan) penghapusan.[1]
Akan tetapi dalam study al- Qur’an dan hukum Islam, naskh bermakna
verifikasi dan elaborasi berbagai model penghapusan yang berbeda. Teks yang
menjadi bukti gagasan tentang naskh adalah al- Qur’an surat al- Baqoroh:
106
ما ننسخ من اية
او ننسها نأت بخير منها او مثلها الم تعلم أن الله على كل شيء قدير
“Ayat yang Kami batalkan
atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami gantikan dengan yang lebih baik
atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu?” Qs. al- Baqoroh: 106
Selain itu, para ulama telah bertukar pikiran membahas ta’rif dari naskh
dan mendapatkan kesimpulan sebagai berikut:
a. Naskh terkadang bermakna izaalah(menghilangkan),
seperti pada firman Allah dalam Qs. al- Haj: 52 yang artinya “ maka Allah menghilangkan
apa yang syaitan nampakkan, kemudian Allah menjelaskan ayat-ayatNya.”
b. Naskh terkadang bermakna tabdil
(mengganti/menukar) sebagaimana firman Allah Qs. an- Nahl: 101 yang artinya “
dan apabila Kami mengganti atau menukar sesuatu ayat di tempat
suatu ayat.”
c. Naskh terkadang bermakna tahwil
(memalingkan), seperti memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.[2]
d. Naskh terkadang bermakna menukilkan dari suatu
tempat ke tempat yang lain seperti pada perkataan “نسخت الكتاب” yang artinya “ saya
menukilkan isi kitab”, yaitu apabila kita menukilkan apa yang ada di dalam
kitab tersebut meniru lafadz dan tulisannya.
e. Naskh secara bahasa berarti membatalkan, sedang
menurut istilah adalah ابطال العمل بالحكم الشرعي بدليل متراخ عنه “Membatalkan
pengamalan sesuatu hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian.”[3]
Demikian beragamnya definisi dari berbagai referensi yang masing-masing
memiliki hujjah dan landasan, dan dari semua definisi yang telah dipaparkan di
atas dapat disimpulkan bahwa naskh adalah penggantian atau pemindahan
suatu ketentuan hukum terdahulu dengan adanya ketentuan hukum yang baru. Dan
para ulama’ telah sepakat bahwa naskh atau pembatalan hukum syara’ dalam
al- Qur’an dan as- Sunnah hanya terjadi pada zaman Rosul masih hidup, kecuali
Abu Muslim al Ashfahany yang menyatakan tidak ada naskh dalam ayat-ayat
al- Qur’an.
Sebagaimana beragamnya definisi naskh, mansukh pun demikian adanya.
Dalam buku Study Ilmu-Ilmu al- Qur’an, dijelaskan bahwa mansukh adalah
hukum yang diangkat atau dihapuskan. Selain itu, jika kita melihat dari kaidah shorfiyah
maka mansukh adalah isim maf’ul dari kalimat نسخ- ينسخ yang artinya dalam kamus
al- Bishri karya KH. Adib Bishri dan KH. Munawwir A. Fatah adalah
menghilangkan, menghapuskan, membatalkan dan menggantikan. Sehingga mansukh adalah
yang dihilangkan, yang dihapus, yang dibatalkan dan yang digantikan.
Sebuah ketentuan hukum bisa di-naskh hanya jika memenuhi beberapa
syarat, yakni[4]:
a. Hukum yang di-naskh(dihilangkan
atau dibatalkan) adalah hukum syar’i.
b. Hukum yang me-naskh
(membatalkan) datangnya lebih akhir dari yang di-naskh.
c. Khitab (perintah atau
larangan) suatu hukum yang di-naskh jangan bersifat sementara atau hanya
berlaku pada waktu tertentu karena keberlakuan hukum tersebut berakhir pada
waktu yang ditentukan tersebut (tanpa harus di-naskh).
Selain syarat di
atas, para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan
apabila: a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak
dapat dikompromikan, b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya
ayat-ayat tersebut sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh
dan yang kemudian sebagai nasikh.
2.
Macam-Macam Naskh
dan Mansukh
Pembagian naskh
dan mansukh ada empat, yakni[5]:
a. نسخ القران
با لقران (Naskh al- Qur’an dengan al- Qur’an).
Naskh jenis ini telah disepakati kebolehannya
oleh para ulama’.
b. نسخ القران
با لسنة (Naskh al- Qur’an dengan Sunnah) yang mana dibagi lagi
menjadi dua, (a) naskh al- Qur’an dengan hadits ahad. Mengenai hal ini
jumhur ulama’ berpendapat bahwa al- Qur’an tidak boleh di-naskh oleh
hadits ahad, pasalnya al- Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang
hadits ahad dzanni bersifat dugaan. Di samping tidak sah pula menghapuskan
sesuatu yang ma’lum (jelas) dengan yang maznun (diduga). (b) naskh
al- Qur’an dengan hadits mutawatir yang oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad hal
ini diperbolehkan, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Namun di samping
itu asy- Syafi’i, Ahli Dzahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh
seperti ini dengan alasan bahwa hadits tidak lebih baik dan tidak sebanding
dengan al- Qur’an. Pendapat ini berkaca pada firmanNya Qs. al- Baqoroh: 106
yang artinya “Apa saja ayat yang Kami naskhkan atau Kami
jadikan(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang
sebanding dengannya.
c. نسخ السنة
بالقران (Naskh sunnah dengan al- Qur’an) yang secara serentak
Jumhur telah meyepakati kebolehannya. Karena telah menjadi fakta bahwa al-
Qur’an lebih kuat dibanding sunnah sehingga tidak perlu diragukan keabsahannya.
d. نسخ السنة
بالسنة (Naskh sunnah dengan sunnah). Dalam kategori ini naskh
mansukh masih dibagi lagi menjadi empat: (1) naskh mutawatir dengan
mutawatir, (2) naskh ahad dengan ahad, (3) naskh ahad dengan
mutawatir, (4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama
dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh
al- Qur’an dengan hadits ahad yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
Selain pembagian naskh secara umum ada juga pembagian naskh secara
khusus, yakni pembagian naskh dalam al- Qur’an. Naskh dalam al-
Qur’an oleh Abu Nizan dan Manna’ al- Qattan dibagi menjadi tiga macam sebagai
berikut:
1) نسخ
التلاوة مع بقاء الحكم (lafadz dihapus, hukum
tetap)
Sebagai contoh
adalah hukum rajam sampai mati bagi pezina yang mana hukuman tersebut tidak ada
di dalam al- Qur’an, tetapi dulu pernah turun ayat al- Qur’an yang memuat hukum
rajam sampai mati bagi pezina yang kemudian tulisan/lafadznya dihapus sedangkan
hukumnya tetap berlaku. Bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut: الشيخ و الشيخة إذا زنيا
فارجموهما البتة نكالا من الله و الله عزيز حكيم. (orang tua laki-laki
dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.) sedangkan
dalam al- Qur’an hukuman bagi pezina adalah “pezina perempuan dan laki-laki,
deralah masing-masing dari keduanya seratus kali.” Qs. An- nuur: 2.
2) نسخ الحكم
و بقاء التلاوة (hukum dihapus, lafadz tetap)
Hukum suatu ayat
telah dihapus, akan tetapi wujud tulisan itu masih ada dalam al- Qur’an hingga
sekarang. Contoh: naskh hukum ayat iddah selama satu tahun,
sedang tilawahnya tetap.
3) نسخ
التلاوة و الحكم معا (tilawah dan hukum keduanya dihapus )
Ayat ini pernah
turun dan hukumnya pun pernah berlaku, namun sekarang tidak lagi. Contoh:
“Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang maklum itu
menyebabkan muhrim, kemudian (ketentuan) ini di-naskh oleh lima susuan yang
maklum. Maka ketika Rosulullah saw wafat, ‘lima susuan’ ini termasuk ayat al-
Qur’an yang dibaca.
3.
Hikmah
terjadinya Naskh dan Mansukh
Mempelajari, memahami dan mendalami naskh mansukh bukan
berarti tidak memberikan faidah dan hikmah, akan tetapi terdapat hikmah yang
luar biasa memahaminya, antara lain adalah sebagai berikut:[6]
a) Memelihara
kemaslahatan hamba-hambaNya
b) Perubahan syari’at
yang selalu menuju kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan juga
perkembangan hidup manusia
c) Sebagai ujian bagi
manusia, apakah ia akan tunduk pada aturan yang telah ditentukan oleh Allah swt
ataukah ia akan melanggarnya
d) Merupakan kehendak
Allah swt untuk memberikan yang terbaik bagi hambaNya sekaligus memberikan
kemudahan dalam menjalankannya. Jika hukum naskh memberatkan umatNya,
Dia akan memberikan pahala yang lebih besar dan kalaulah dengan hukum ini lebih
meringankan, hal itu merupakan keringanan bagi hamba-hambaNya
Selain hikmah yang dijelaskan oleh Abu Nizan di atas, Al- Maroghi[7]
menjelaskan bahwa hikmah adanya naskh mansukh dengan menyatakan
bahwa: “Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan
hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga
apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya
kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka
merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan
diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia
menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk
hamba-hamba Allah.” Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat
yang diberikan dokter kepada pasien. Para Nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter,
dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh
dokter.
4.
Contoh Ayat Naskh
dan Mansukh
As- Suyuti[8]
dalam al- itqan menyebutkan bahwa ada 21 ayat yang dipandang sebagai ayat-ayat mansukh.
Diantaranya adalah:
1) Firman Allah swt Qs. Al- Baqarah: 115
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan
barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” Yang kemudian di-naskh
oleh firmanNya juga Qs. Al- Baqarah: 144
ô‰s%ÇÊÍÍÈ
“sungguh Kami
(sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya.
dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat
dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah
benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan.” Ayat kedua me-naskh perintah menghadap baitul maqdis yang
ditetapkan dalam sunnah.
2) Firman Allah swt Qs. Al-
Baqarah: 184
$YB$ƒr&
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka
Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.” yang mana ayat ini di-naskh oleh Qs. Al- Baqarah: 185
ãök
“(Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al- Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena
itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
3)
Firman Allah
swt Qs. An- Nisa’: 15-16
Para wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, hendaklah
ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila
mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu)
dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain
kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu,
Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan
memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.” Kedua ayat ini di-naskh oleh Qs. An- Nuur: 2
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.”
BAB III
KESIMPULAN
Naskh dan mansukh adalah sepasang
istilah yang saling melengkapi tak dapat dipisah satu sama lain. Naskh
adalah penggantian atau pemindahan suatu ketentuan hukum terdahulu dengan
adanya ketentuan hukum yang baru. Sedangkan mansukh adalah suatu
ketentuan hukum yang dihapus karena adanya ketentuan baru. Naskh dan mansukh
sangat beragam, sebagaimana telah penulis jelaskan di atas, secara umum para
ulama’ sepakat membaginya ke dalam empat bagian: 1) naskh Al- Qur’an
dengan Al- Qur’an 2) naskh Al- Qur’an dengan sunnah 3) naskh sunnah
dengan Al- Qur’an 4) naskh sunnah dengan sunnah. Dan secara khusus ada
tiga macam pembagian naskh dalam al- Qur’an, yakni: naskh lafadz
hukum tetap, naskh hukum lafadz tetap dan naskh kedua-duanya.
Adanya pembagian naskh
mansukh di atas bukan berarti tanpa alasan. Terdapat hikmah-hikmah
mengapa naskh dan mansukh ada. Di antara hikmah-hikmah tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:
a) Memelihara
kemaslahatan hamba-hambaNya
b) Perubahan syari’at
yang selalu menuju kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan juga
perkembangan hidup manusia
c) Sebagai ujian bagi
manusia, apakah ia akan tunduk pada aturan yang telah ditentukan oleh Allah swt
ataukah ia akan melanggarnya
d) Merupakan kehendak
Allah swt untuk memberikan yang terbaik bagi hambaNya sekaligus memberikan
kemudahan dalam menjalankannya.
DAFTAR PUSTAKA
Mudzakkir. 1996. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.
Bogor: Litera AntarNusa dan Halim Jaya.
Qathan, Manaa’. 1973. مباحث في علوم القران. Surabaya: Al- Hidayah.
Taufik. 2009. Aktif Belajar Fiqh.
Klaten: Sinar Mandiri.
Shihab, Quraish. 1994. “Membumikan” Al-
Quran. Bandung: Mizan.
Esack, Farid. 2007. Samudera Al- Qur’an.
Jogjakarta: DIVA press.
Nizhan, Abu. 2008. Buku Pintar Al- Qur’an.
Jakarta: QultumMedia
Oleh
Tina Siska Hardiansyah
(09330031)
Puji Lestari (09330028)
Hani Mahfudzoh
(09330034)
[1]
Ibnu Manzur, 1994, 3: 624 dalam buku
Samudera Al- Qur’an karya Farid Esack, 2007: 229
[2]
Al- Burhan 2: 29 dalam buku Ilmu-ilmu Al-
Qur’an
[3]
M. Taufik hal: 52 dalam Aktif Belajar
Fiqih
[4]
Abu Nizhan, 39
[5]
Terjemah Manna’ Kholil al- Qottan:
334-335
[6]
ibid
[7]
M. Quraish shihab: 145
0 comments:
Post a Comment