BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu
dari rumusan tujuan negara Republik Indonesia yang dicantumkan dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, kerena itu
negara sangat bertanggung jawab terhadap terlaksananya upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa tersebut. Berbagai upaya telah dirintis sejak awal Indonesia
merdeka.
Upaya pertama, dibentuklah Kementerian Pendidikan dan
Pengajaran, seterusnya pada tahun 1946 membentuk Panitia Penyelidik Pendidikan dan
Pengajaran, dan pada tahun 1947 mengadakan Kongres Pendidikan pertama di Solo,
tahun 1947 Kongres Pendidikan kedua di Yogyakarta, dan pada tahun 1950 lahirlah
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 dengan nama Undang-Undang tentang Dasar
Pendidikan dan Pengajaran (UUPP), tahun 1954 lahirlah Undang-Undang Nomor 12
tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya UU No. 4 tahun 1950, tahun 1961 lahir
UU No. 22 tahun 1961 tentang Pendidikan Tinggi, dan barulah pada tahun 1989
lahir Undang-Undang No. 2 tahun 1989 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang kemudian diiringi dengan seperangkat peraturan pemerintah tentang
itu, dan tahun 2003 lahirlah Undang-Undang No. 20 tahun 2003.
Kronologis ini perlu dicantumkan agar kita memahami bahwa
kesungguhan pemerintah dalam menangani pendidikan telah tercermin sejak awal Indonesia
merdeka. Kendatipun sudah banyak kemajuan yang dicapai sejak Indonesia merdeka
dalam dunia pendidikan, akan tetapi dalam banyak hal masih perlu dibenahi secara
serius, diantaranya adalah kualitas pendidikan.
Dunia yang semakin menglobal semakin menipiskan batas
antarbangsa dan budaya, di saat itu tidak bisa dielakkan lagi akan terjadi
kompetisi. Pasa saat dunia kompetitif telah digelar dalam kehidupan ini mau
tidak mau maka kualitas sumber daya manusia menjadi handalan utama. Karena
kualitas sumber daya manusia menjadi handalan maka pendidikan mestinya menjadi
prioritas utama.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Undang-Undang RI Tahun
1989 Tentang Pendidikan Nasional
Di antara
peraturan perundang-undangan RI yang paling banyak membicarakan pendidikan
adalah Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989, sebab undang-undang ini bisa
disebut sebagai induk peraturan perundang-undangan pendidikan, undang-undang
ini mengatur pendidikan pada umumnya, artinya segala sesuatu bertalian dengan
pendidikan mulai prasekolah sampai pendidikan tinggi ditentukan dalam
undang-undang ini[1],
pasal-pasalnya adalah sebagai berikut:
·
Pasal 1 ayat
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada
kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada pancasila dan Undang-Undang
Dasar 45.
Undang-undang ini mengharuskan pendidikan berakar pada
kebudayaan nasional yang berdasarkan pada pancasila dan undang-undang dasar
1945, yang selanjutnta disebut kebudayaan indonesia saja. Ini berarti
teori-teori pendidikan dan praktek-praktek pendidikan yang diterapkan di
indonesia, tidak boleh tidak harus berakar pada kebudayan indonesia[2].
·
Pasal 1 ayat 7
Tenaga kependidikan adalah setiap anggota masyarakat yang
mengabdikan diri dalam penyelenggaraan kependidikan.
·
Pasal 27 ayat 2
Tenaga kependidikan mencakup tenaga pendidik,
pengelola/kepala lembaga pendidikan, penilik/pengawas, peneliti, pengembang
pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.
Dari ketujuh macam tenaga pendidikan tersebut diatas,
yang sudah jelas kedudukan dan wewenangnya, baik karena keahlian maupun karena
surat keputusan yang diterimanya. Tentang tenaga pendidik dan tenaga pengelola
sudah jelas karena keahlian dan surat pengangkatan , tetapi sebagian lagi belum
jelas. Mereka itu sebagian besar pendidik dan pengelola pada jalur pendidikan
luar sekolah, baik pendidikan keluarga maupun pendidikan di masyarakat. Tetapi
secara hukum kedudukan mereka tetap sah karena mereka telah mengabdikan diri dalam
penyelenggaraan pendidikan
Bukan hanya warga masyarakat yang
yang masyarakat yang mengabdikan dri pada pendidikan luar sekolah saja yang
peranannya sah sebagai pendidikak, tetapi juga bagi mereka yang mengabdikan
diri pada pendidikan jalur sekolah. Di negara maju warga negara seperti ini
cukup banyak jumlahnya. Dalam batas-batas tertentu mereka membantu dan bekerja
sama dengan personalia sekolah memajukan pendidikan[3].
·
Pasal 25 ayat 1
Pada dasarnya pendidikan merupakan tanggung jawab bersama
antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah, yang berlahu juga dalam hal biaya
penyelenggaraan pendidikan.
Jadi di samping masyarakat mempunyai kewajiban membiayai
pendidikan, mereka juga mempunyai kewajiban memikirkan, memberikan masukan, dan
membantu penyelenggaraan pendidikan jalur sekolah. Kewajiban ini perlu
diinformasikan kepada masyarakat luas agar mereka menjadi paham. Dengan
demikian partisipasi warga masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
diharapkan semakin besar,partisipasi itu bisa saja ditampung lewat BP3 atau badan-badan
lain yang sejenis, sehingga kegiatan badan-badan seperti itu tidak hanya
terfokus kepada upaya mencari dana tambahan melainkan juga masalah-masalah yang
lain seperti, pengembangan kurikulum lokal, disiplin proses belajar mengajar,
kesdiaan menjadi nara sumber, penanganan kenakalan sisiwa, peningkatan respek
terhadap guru, dan sebagainya.
·
Pasal 10 ayat 1
Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang
diselenggarakan di sekolah secara berjenjang dan bersinambungan, sedangkan
jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar
sekolah yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan.
·
Pasal 17 ayat 2
Bahwa sekolah tinggi, institut, dan universitas
menyelengggarakan pendidikan akademik dan profesional.
Pendidikan
akademik adalah pendidikan yang berupaya melayani perkembangan sikap, berpikir,
dan berperilaku ilmiah para mahasiswa sehingga mereka dapat mengembnagkan ilmu
teknologi dan seni sesuai bidangnya masing-masing. Dengan demikian orientasi
pendidikan akademik adalah pada kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi, dan
seni melalui kegiatan penelitian. Tamatan akademik inilah yang diberi gelar
sarjana, magister atau doktor. Sementara lulusan pendidikan profesional hanya
diberi sebutan profesional. Sebab makna profesional berbeda dengan makna
akadenik, bila istilah akademik berkaitan dengan sikap berfikir dan perilaku
ilmiah, maka istilah profesional berkaitan dengan pelayanan klien atau orang
yang membutuhkan secara benar[4].
2.2 Fakta Pendidikan di Indonesia
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Berdasarkan definisi ini, dapat difahami bahwa pendidikan nasional
berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi
warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang
bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan yang sebenarnya adalah
sekularisme yaitu pemisahan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan
kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan bahwa yang
menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter peserta didik adalah
nilai-nilai dari aqidah islam, melainkan justru nilai-nilai dari demokrasi.
Pemerintah dalam hal ini berupaya
mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) tersebut, sebagaimana terungkap
dalam pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan
membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan
tanah air.” Sepintas, tujuan pendidikan nasional di atas memang tidak
nampak sekuler, namun perlu difahami bahwa sekularisme bukanlah pandangan hidup
yang sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan. Melainkan, meyakini adanya Tuhan
sebatas sebagai pencipta saja, dan peranan-Nya dalam pengaturan kehidupan
manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah yang dianggap lebih
berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya sekaligus
memarjinalkan peranan Tuhan.
2.3 Sistem Pendidikan Berbasis Islam
Seperti diungkapkan di atas, bahwa
sistem pendidikan Islam merupakan alternatif solusi mendasar untuk menggantikan
sistem pendidikan sekuler saat ini. Bagaimanakah gambaran sistem pendidikan
Islam tersebut? Berikut uraiannya secara sekilas.
1. Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya
sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk
manusia yang berkarakter (khas) Islami. Antara lain:
Pertama, berkepribadian Islam (shaksiyah
islamiyah). Ini sebetulnya
merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus
memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (’aqliyyah) dan pola jiwa
(nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.
Untuk mengembangkan kepribadian
Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan
Rasulullah saw., yaitu:
1.
Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang
sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah
(akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam).
2.
Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada
seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi
pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah
SWT.
3.
Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada
orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya
tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
Kedua, menguasai perangkat ilmu dan pengetahuan
(tsaqâfah) Islam. Islam telah
mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya,
menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
1.
Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban
individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang
terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah
Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis,
ushul fikih, dll.
2.
Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban
kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu
terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik,
dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (Ilmu
Pengetahuan, Teknologi, dan Seni/IPTEKS). Menguasai IPTEKS diperlukan agar umat Islam mampu mencapai
kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah
di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu
kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti
kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll. Begitu
pula dengan penguasaan terhadap seni, dimana seni merupakan sesuatu yang
dibutuhkan pula baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menyelaraskan
teknologi dengan fitrah manusia yang menyenangi keindahan (sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan syara’).
Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta
latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan
pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan
tugasnya sebagai khalifah Allah SWT. Sebagaimana penguasaan IPTEKS, Islam juga
menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika
keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri,
penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
2. Pendidikan Islam Adalah Pendidikan Terpadu
Agar keluaran pendidikan
menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan
yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek
saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem
pendidikan yang unggul. Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi
perhatian, yaitu:
Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan
keluarga. Pendidikan yang
integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas
menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur
tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur
tersebut juga belum berfungsi secara benar. Buruknya pendidikan anak di rumah
memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di
tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas,
narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk
jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga
dan sekolah/kampus menjadi kurang optimal. Apalagi jika pendidikan yang
diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga
pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram
mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi
jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap
jenjangnya. Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang
secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah
Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara
bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik
berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang usia
baligh (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat
mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya. Khalifah
Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya,
menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan
menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair
yang baik.”
Khalifah Hisyam
bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya,
“Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah
engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan
kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Quran, kemudian hafalkan
kepadanya al-Quran…”
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT),
kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme
atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim
setelah mereka memahami mabda Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain
mabda Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk
dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta
ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia, agar menjadi pemahamaan untuk
menguraikan kerusakan mabda selain islam tersebut.
Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah
Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus
dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan
panduan bagi pelaksanaan pendidikan.
3. Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara
Islam merupakan sebuah sistem yang
memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap
solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam
konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban
untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang
diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah.
Rasulullah saw. Bersabda: “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia
akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR
Al-Bukhari dan Muslim).
Perhatian Rasulullah saw. Terhadap
dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar
dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang anak kaum
muslimin Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang
tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama
nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. Telah
menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang
seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada
para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya
menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala
negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk
pendidikan.
Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ihkâm,
menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana
pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam,
kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan
rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam
ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin
Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang
guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab
memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25
gram emas). Jika harga 1 gram emas=Rp 200.000,00, maka gaji seorang pendidik
yang diberikan oleh Daulah Khilafah sejak 13 abad yang lalu jumlahnya mencapai
Rp 12.750.000,00 (subhanallah), sungguh merupakan angka yang fantastis, apalagi
jika dibandingkan dengan saat ini dimana berlangsungnya sistem ekonomi
kapitalisme telah nyata sangat tidak menghargai peran pendidik, semisal upah
yang didapatkan seorang guru honorer hanya berkisar Rp 5.000-30.000 untuk
setiap jam pelajaran dengan perhitungan kerja riil satu bulan namun gajinya
hanya dihitung satu minggu.
Perhatian para khalifah tidak hanya
tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti
perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam, di
antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh
Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi
para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini
mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta,
kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan
itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi
memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan
peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada
masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan
yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas
seberat buku yang ditulisnya.
4. Sistem Pendidikan Islam bersifat
Multidisipliner
Sistem pendidikan Islam juga
sekaligus merupakan sub sistem yang tak terlepas dari pengaruh sub sistem yang
lain dalam penyelenggaraannya. Sistem ekonomi, politik, sosial-budaya, dan
idoelogi akan sangat menentukan keberhasilan penyelenggaran sistem pendidikan
yang berbasiskan aqidah dan syari’ah islam. Sebagaimana telah diuraikan di atas
bahwa dengan sistem ekonomi yang islami maka penyediaan dana pendidikan akan
menjadi perhatian penting negara agar dapat dialokasikan dari kas negara dalam
jumlah yang memadai, yang sumber-sumbernya dapat diperoleh dari hasil pengelolaan
kepemilikan umum yang saat ini di Indonesia misalnya, jumlahnya masih melimpah
seperti barang tambang, mineral, hasil hutan, kekayaan laut, maupun dari hasil
penyitaan kembali asset rakyat yang dikorupsi oleh para pejabat, pemerintah,
dan pengusaha. Sistem politik yang islami akan mengarahkan penguasa untuk
mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat sebagai konsekuensi dari
aktifitas politiknya yaitu riayah syu’unil ummah (mengatur
urusan-urusan ummat) termasuk kebijakan dalam bidang pendidikan yang harus
didasarkan pada aqidah dan syari’ah islam. Sistem sosial-budaya yang islami
akan mengarahkan masyarakat memiliki perspektif yang benar tentang wajibnya
berpendidikan, memiliki motivasi yang tinggi untuk menggali ilmu pengetahuan,
teknologi, keterampilan dan menciptakan berbagai kreasi yang bermanfaat untuk
kemaslahatan hidup. Selain itu sistem sosial-budaya yang islami juga akan mampu
menjadi filter dan pengendali terhadap berbagai aktifitas yang dilakukan oleh
individu dalam masyarakat, dimana satu sama lain akan menyadari tentang
kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar, yang dengan aktifitas ini maka
hasil pendidikan di sekolah dapat bersinergi dengan pengaplikasiannya di
masyarakat.
Adapun ideologi, merupakan aspek
yang sangat berpengaruh terhadap pendidikan karena antara keduanya saling
mempengaruhi, yakni pendidikan merupakan salah satu proses menginternalisasikan
ideologi kepada semua warga negara dan ideologi merupakan asas bagi
penyelenggaran sistem pendidikan tersebut.
Dengan demikian maka pengaruh berbagai
sistem lainnya terhadap keberhasilan penyelenggaran sistem pendidikan islam
memiliki keterkaitan yang erat. Sedangkan Boundary (sistem yang
menaungi semua sistem) terhadap berbagai sistem tersebut adalah sistem
pemerintahan/ negara. Oleh karenanya penjuangan terhadap terlaksananya sistem
pendidikan yang berbasis syari’ah juga tidak terlepas dari perjuangan terhadap
wajibnya menegakan kembali institusi Daulah Khilafah Islamiyah sebagai
institusi yang akan menjamin penerapan hukum-hukum islam dalam semua aspek
secara kaffah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·
Dalam prespektif pendidikan islam, sistem pendidikan nasional lebih
terfokus kepada formalitas dan keakademikan yang menjadikan nilai sebagai
standar keilmuan dan keahlian yang terkadang mengikuti sistem sekuler.
·
Merujuk pada fungsi awal pendidikan nasional yang menjadikan dan membentuk
kecakapan hidup serta karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan
peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan
dalam realita yang ada belum menunjukkan hasil yang diharapkan dari fungsi awal
yang ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
UU No.20/2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional
PP No. 19/2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam.
Bangil-Jatim:
Al-Izzah
Muhamad Shidiq Al-Jawi. Pendidikan Di Indonesia, Masalah dan Solusinya. Artikel. www.khilafah1924.org
Panduan KKN
Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI 2006.
Bulletin Epitech
2006, Disdik Prov.Jabar.
Pidarta
Made. Landasan kependidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Daulay,
Haidar Putra. 2007. Pedidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media Groub.
terimah kasih artikelnya. islam mengajak kita bagaiman mendidik anak sesuai syariat islam.
ReplyDelete