Saturday, September 7, 2013

Naskh dan Mansukh

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa keberadaan al- Quran bukan hanya sebagai kitab agama Islam, sejarah atau budaya saja. Selain sebagai mu’jizat Islam ia juga memiliki kedudukan primer, sakaligus sentral bagi inspirator tasyri' samawi dalam menata kehidupan, pemikiran dan kebudayaan umat Islam tentunya. Mu’jizat al- Qur’an selalu di perkuat oleh modernisasi, semakin maju ilmu pengetahuan, maka akan semakin tampak pula validitas kemu'jizatannya. Keberadaannya juga sebagai sumber dan konsep dalam pengetahuan isi kandungan al- Quran. Sedangkan tasyri' samawi diturunkan pada rasul-Nya untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan muamalah. Oleh karena akidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan, karena ditegakkan atas tauhid ulûhiyyah dan rubûbiyyah, maka dakwah atau seruan para rasul kepada akidah yang satu itu semuanya sama.
Mengenai bidang ibadah dan muamalah, maka prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama persaudaraan. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri' pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri' pada periode yang lain. Tetapi tidak di ragukan lagi bahwa pembuat syariat (Syaari’), yaitu Allah, rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang hanya milik-Nya. Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri' dengan tasyri' lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.
Meski para ulama’ telah sepakat dengan kewajaran adanya naskh mansukh, namun tidak sedikit baik dari kalangan ulama’ Islam sendiri maupun non Islam yang menolaknya. Sebagai umat Islam, maka menjadi hal penting memahami betul tentang naskh mansukh agar tidak terombang-ambing dan simpang siur mengikuti isu-isu tak jelas seputar tuduhan keabsahan al- Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian naskh mansukh?
2. Berapa macam pembagian naskh mansukh?
3. Apa hikmah mempelajari naskh mansukh?

B. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Study al- Qur’an
2. Untuk memahami Naskh dan Mansukh
3. Untuk mengetahui macam-macam naskh dan mansukh
4. Untuk mengetahui hikmah mempelajari dan memaham naskh dan mansukh




BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Naskh dan Mansukh
Secara literal, naskh bermakna “mengganti sesuatu dengan sesuatu yang lain (dan) penghapusan.[1] Akan tetapi dalam study al- Qur’an dan hukum Islam, naskh bermakna verifikasi dan elaborasi berbagai model penghapusan yang berbeda. Teks yang menjadi bukti gagasan tentang naskh adalah al- Qur’an surat al- Baqoroh: 106
ما ننسخ من اية او ننسها نأت بخير منها او مثلها الم تعلم أن الله على كل شيء قدير
Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami gantikan dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?” Qs. al- Baqoroh: 106
Selain itu, para ulama telah bertukar pikiran membahas ta’rif dari naskh dan mendapatkan kesimpulan sebagai berikut:
a.       Naskh terkadang bermakna izaalah(menghilangkan), seperti pada firman Allah dalam Qs. al- Haj: 52 yang artinya “ maka Allah menghilangkan apa yang syaitan nampakkan, kemudian Allah menjelaskan ayat-ayatNya.”
b.      Naskh terkadang bermakna tabdil (mengganti/menukar) sebagaimana firman Allah Qs. an- Nahl: 101 yang artinya “ dan apabila Kami mengganti atau menukar sesuatu ayat di tempat suatu ayat.”
c.       Naskh terkadang bermakna tahwil (memalingkan), seperti memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.[2]
d.      Naskh terkadang bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain seperti pada perkataan “نسخت الكتاب” yang artinya “ saya menukilkan isi kitab”, yaitu apabila kita menukilkan apa yang ada di dalam kitab tersebut meniru lafadz dan tulisannya.
e.       Naskh secara bahasa berarti membatalkan, sedang menurut istilah adalah ابطال العمل بالحكم الشرعي بدليل متراخ عنه “Membatalkan pengamalan sesuatu hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian.”[3]
Demikian beragamnya definisi dari berbagai referensi yang masing-masing memiliki hujjah dan landasan, dan dari semua definisi yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa naskh adalah penggantian atau pemindahan suatu ketentuan hukum terdahulu dengan adanya ketentuan hukum yang baru. Dan para ulama’ telah sepakat bahwa naskh atau pembatalan hukum syara’ dalam al- Qur’an dan as- Sunnah hanya terjadi pada zaman Rosul masih hidup, kecuali Abu Muslim al Ashfahany yang menyatakan tidak ada naskh dalam ayat-ayat al- Qur’an.
Sebagaimana beragamnya definisi naskh, mansukh pun demikian adanya. Dalam buku Study Ilmu-Ilmu al- Qur’an, dijelaskan bahwa mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Selain itu, jika kita melihat dari kaidah shorfiyah maka mansukh adalah isim maf’ul dari kalimat نسخ- ينسخ yang artinya dalam kamus al- Bishri karya KH. Adib Bishri dan KH. Munawwir A. Fatah adalah menghilangkan, menghapuskan, membatalkan dan menggantikan. Sehingga mansukh adalah yang dihilangkan, yang dihapus, yang dibatalkan dan yang digantikan.
Sebuah ketentuan hukum bisa di-naskh hanya jika memenuhi beberapa syarat, yakni[4]:
a.    Hukum yang di-naskh(dihilangkan atau dibatalkan) adalah hukum syar’i.
b.    Hukum yang me-naskh (membatalkan) datangnya lebih akhir dari yang di-naskh.
c.    Khitab (perintah atau larangan) suatu hukum yang di-naskh jangan bersifat sementara atau hanya berlaku pada waktu tertentu karena keberlakuan hukum tersebut berakhir pada waktu yang ditentukan tersebut (tanpa harus di-naskh).
Selain syarat di atas, para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan apabila: a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang kemudian sebagai nasikh.

2.   Macam-Macam Naskh dan Mansukh
Pembagian naskh dan mansukh ada empat, yakni[5]:
a.    نسخ القران با لقران (Naskh al- Qur’an dengan al- Qur’an).
Naskh jenis ini telah disepakati kebolehannya oleh para ulama’.
b.    نسخ القران با لسنة (Naskh al- Qur’an dengan Sunnah) yang mana dibagi lagi menjadi dua, (a) naskh al- Qur’an dengan hadits ahad. Mengenai hal ini jumhur ulama’ berpendapat bahwa al- Qur’an tidak boleh di-naskh oleh hadits ahad, pasalnya al- Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni bersifat dugaan. Di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas) dengan yang maznun (diduga). (b) naskh al- Qur’an dengan hadits mutawatir yang oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad hal ini diperbolehkan, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Namun di samping itu asy- Syafi’i, Ahli Dzahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini dengan alasan bahwa hadits tidak lebih baik dan tidak sebanding dengan al- Qur’an. Pendapat ini berkaca pada firmanNya Qs. al- Baqoroh: 106 yang artinya “Apa saja ayat yang Kami naskhkan atau Kami jadikan(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.
c.    نسخ السنة بالقران (Naskh sunnah dengan al- Qur’an) yang secara serentak Jumhur telah meyepakati kebolehannya. Karena telah menjadi fakta bahwa al- Qur’an lebih kuat dibanding sunnah sehingga tidak perlu diragukan keabsahannya.
d.   نسخ السنة بالسنة (Naskh sunnah dengan sunnah). Dalam kategori ini naskh mansukh masih dibagi lagi menjadi empat: (1) naskh mutawatir dengan mutawatir, (2) naskh ahad dengan ahad, (3) naskh ahad dengan mutawatir, (4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh al- Qur’an dengan hadits ahad yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
Selain pembagian naskh secara umum ada juga pembagian naskh secara khusus, yakni pembagian naskh dalam al- Qur’an. Naskh dalam al- Qur’an oleh Abu Nizan dan Manna’ al- Qattan dibagi menjadi tiga macam sebagai berikut:
1)   نسخ التلاوة مع بقاء الحكم (lafadz dihapus, hukum tetap)
Sebagai contoh adalah hukum rajam sampai mati bagi pezina yang mana hukuman tersebut tidak ada di dalam al- Qur’an, tetapi dulu pernah turun ayat al- Qur’an yang memuat hukum rajam sampai mati bagi pezina yang kemudian tulisan/lafadznya dihapus sedangkan hukumnya tetap berlaku. Bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut: الشيخ و الشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكالا من الله و الله عزيز حكيم. (orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.) sedangkan dalam al- Qur’an hukuman bagi pezina adalah “pezina perempuan dan laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali.” Qs. An- nuur: 2.
2)   نسخ الحكم و بقاء التلاوة (hukum dihapus, lafadz tetap)
Hukum suatu ayat telah dihapus, akan tetapi wujud tulisan itu masih ada dalam al- Qur’an hingga sekarang. Contoh: naskh hukum ayat iddah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap.
3)   نسخ التلاوة و الحكم معا (tilawah dan hukum keduanya dihapus )
Ayat ini pernah turun dan hukumnya pun pernah berlaku, namun sekarang tidak lagi. Contoh: “Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim, kemudian (ketentuan) ini di-naskh oleh lima susuan yang maklum. Maka ketika Rosulullah saw wafat, ‘lima susuan’ ini termasuk ayat al- Qur’an yang dibaca.

3.   Hikmah terjadinya Naskh dan Mansukh
Mempelajari, memahami dan mendalami naskh mansukh bukan berarti tidak memberikan faidah dan hikmah, akan tetapi terdapat hikmah yang luar biasa memahaminya, antara lain adalah sebagai berikut:[6]
a)    Memelihara kemaslahatan hamba-hambaNya
b)   Perubahan syari’at yang selalu menuju kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan juga perkembangan hidup manusia
c)    Sebagai ujian bagi manusia, apakah ia akan tunduk pada aturan yang telah ditentukan oleh Allah swt ataukah ia akan melanggarnya
d)   Merupakan kehendak Allah swt untuk memberikan yang terbaik bagi hambaNya sekaligus memberikan kemudahan dalam menjalankannya. Jika hukum naskh memberatkan umatNya, Dia akan memberikan pahala yang lebih besar dan kalaulah dengan hukum ini lebih meringankan, hal itu merupakan keringanan bagi hamba-hambaNya
Selain hikmah yang dijelaskan oleh Abu Nizan di atas, Al- Maroghi[7] menjelaskan bahwa hikmah adanya naskh mansukh dengan menyatakan bahwa: “Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.” Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan dokter kepada pasien. Para Nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.

4.   Contoh Ayat Naskh dan Mansukh
As- Suyuti[8] dalam al- itqan menyebutkan bahwa ada 21 ayat yang dipandang sebagai ayat-ayat mansukh. Diantaranya adalah:
1)  Firman Allah swt Qs. Al- Baqarah: 115
  
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” Yang kemudian di-naskh oleh firmanNya juga Qs. Al- Baqarah: 144
ôs%ÇÊÍÍÈ
“sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” Ayat kedua me-naskh perintah menghadap baitul maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
2)   Firman Allah swt Qs. Al- Baqarah: 184
$YB$­ƒr&
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” yang mana ayat ini di-naskh oleh Qs. Al- Baqarah: 185
ãök  
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al- Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
3)   Firman Allah swt Qs. An- Nisa’: 15-16

Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,  hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” Kedua ayat ini di-naskh oleh Qs. An- Nuur: 2
  
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”



BAB III
KESIMPULAN
Naskh dan mansukh adalah sepasang istilah yang saling melengkapi tak dapat dipisah satu sama lain. Naskh adalah penggantian atau pemindahan suatu ketentuan hukum terdahulu dengan adanya ketentuan hukum yang baru. Sedangkan mansukh adalah suatu ketentuan hukum yang dihapus karena adanya ketentuan baru. Naskh dan mansukh sangat beragam, sebagaimana telah penulis jelaskan di atas, secara umum para ulama’ sepakat membaginya ke dalam empat bagian: 1) naskh Al- Qur’an dengan Al- Qur’an 2) naskh Al- Qur’an dengan sunnah 3) naskh sunnah dengan Al- Qur’an 4) naskh sunnah dengan sunnah. Dan secara khusus ada tiga macam pembagian naskh dalam al- Qur’an, yakni: naskh lafadz hukum tetap, naskh hukum lafadz tetap dan naskh kedua-duanya.
Adanya pembagian naskh mansukh di atas bukan berarti tanpa alasan. Terdapat hikmah-hikmah mengapa naskh dan mansukh ada. Di antara hikmah-hikmah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a)    Memelihara kemaslahatan hamba-hambaNya
b)   Perubahan syari’at yang selalu menuju kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan juga perkembangan hidup manusia
c)    Sebagai ujian bagi manusia, apakah ia akan tunduk pada aturan yang telah ditentukan oleh Allah swt ataukah ia akan melanggarnya
d)   Merupakan kehendak Allah swt untuk memberikan yang terbaik bagi hambaNya sekaligus memberikan kemudahan dalam menjalankannya.





DAFTAR PUSTAKA

Mudzakkir. 1996. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Litera AntarNusa dan Halim Jaya.
Qathan, Manaa’. 1973. مباحث في علوم القران. Surabaya: Al- Hidayah.
Taufik. 2009. Aktif Belajar Fiqh. Klaten: Sinar Mandiri.
Shihab, Quraish. 1994. “Membumikan” Al- Quran.  Bandung: Mizan.
Esack, Farid. 2007. Samudera Al- Qur’an. Jogjakarta: DIVA press.
Nizhan, Abu. 2008. Buku Pintar Al- Qur’an. Jakarta: QultumMedia

Oleh
Tina Siska Hardiansyah (09330031)
Puji Lestari (09330028)
Hani Mahfudzoh (09330034)
 


[1]       Ibnu Manzur, 1994, 3: 624 dalam buku Samudera Al- Qur’an karya Farid Esack, 2007: 229
[2]       Al- Burhan 2: 29 dalam buku Ilmu-ilmu Al- Qur’an
[3]       M. Taufik hal: 52 dalam Aktif Belajar Fiqih
[4]       Abu Nizhan, 39
[5]       Terjemah Manna’ Kholil al- Qottan: 334-335
[6]       ibid
[7]       M. Quraish shihab: 145
[8]      مناع القطان، صفحة: 242-244

0 comments:

Post a Comment